Sobat Shafa, istilah “jaksa” sebenarnya merupakan pergeseran pelafalan dari istilah “dhyaksa”, loh. Nah, dhyaksa atau adhyaksa sendiri adalah sebutan untuk pejabat pengadilan yang sudah eksis sejak era kerajaan-kerajaan kuno Nusantara. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta [adhyakṣa].
Menurut penelitian sejarawan, di era Jawa Kuno, pejabat dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa atau hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa. Peneliti Belanda, Krom dan Van Vollenhoven, pun menyebut bahwa Patih Gajah Mada juga adalah seorang adhyaksa. [6]
Makanya, nggak heran kalau istilah Adhyaksa Award digunakan untuk penghargaan kepada para jaksa. Istilah ini juga dijelaskan dalam situs resmi Kejaksaan Republik Indonesia, loh. Begitu pula dengan doktrin kejaksaan yang disebut Trikrama Adhyaksa atau Tiga Perilaku Utama Jaksa, yaitu Satya Adhi Wicaksana. Satya berarti kesetiaan yang bersumber dari kejujuran, baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, keluarga, teman, dan sesama manusia. Adhi merujuk pada kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pada rasa tanggung jawab terhadap Tuhan, keluarga, dan sesama manusia. Wicaksana berarti bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, terutama dalam penerapan kekuasaan dan kewenangan. [7]
Nah, Sobat Shafa, ternyata jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, para “jaksa” atau dhyaksa sudah eksis di era kuno. Ini menunjukkan bahwa sistem penegakan hukum sudah dikenal dalam peradaban Nusantara kuno.
Penegakan hukum di masa Jawa Kuno bisa kita telusuri misalnya dari Jayapattra, yaitu prasasti yang berisi catatan kemenangan dalam perkara peradilan. Prasasti-prasasti yang termasuk Jayapattra antara lain Prasasti Guntur (907 M) tentang utang-piutang, Prasasti Wurudu Kidul (922 M) tentang sang Dhanadi yang diragukan kewarganegaraannya, dan Prasasti Tija (929 M) tentang sengketa pajak. [8]
Dilansir historia.id, arkeolog Puslit Arkenas Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menjelaskan pada era Kerajaan Medang hanya ada dua pejabat kehakiman, yaitu samgat i tiruan dan samgat i manghuri. Pada masa Kadiri sampai Majapahit, jumlah pejabat yang bertanggung jawab di bidang hukum semakin banyak.
Prasasti Bendosari (1360 M) dari era Majapahit menjelaskan bahwa para pejabat kehakiman memiliki pertimbangan sebelum memutuskan suatu perkara di pengadilan. Mereka harus mempelajari kitab-kitab sastra, peraturan daerah, hukum adat, pendapat para sesepuh, kitab-kitab hukum, dan meneladani apa yang dilakukan para hakim terdahulu. [9]
Jejak kejaksaan di era Jawa Kuno menunjukkan bagaimana sistem hukum dijalankan pada masa itu. Para dhyaksa bertugas menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan, dan adhyaksa sebagai hakim tertinggi memimpin dan mengawasi para dhyaksa.
Para petugas kehakiman ini menangani perkara pidana maupun perdata dan memutuskan sengketa hukum berdasarkan kitab hukum seperti Kutaramanawa Dharmasastra. Mereka juga bertugas memastikan pelaksanaan hukum sesuai dengan peraturan daerah, hukum adat, dan pendapat para tetua. Di sini kita bisa mengetahui bagaimana hukum pada masa itu dijalankan bukan hanya dengan kitab-kitab hukum, tapi juga dengan kearifan lokal dan petuah leluhur.
[]
Suka mempelajari sejarah, khususnya Jawa Kuno. TikTok: @pustakamega
Leave a Reply