Yes, Sobat Shafa, kalian nggak salah baca judulnya. Sriwijaya memang pernah menjadi pusat pendidikan internasional. Kalau Oxford berbasis agama Kristen (dengan biara-biaranya) dan Al-Qarawiyyin berbasis agama Islam, pendidikan di Sriwijaya berbasis agama Buddha.
Dari abad ke-7 sampai awal abad ke-11, Sriwijaya bisa dibilang merupakan pusat pendidikan agama Buddha di Asia Tenggara. Bahkan saking terkenalnya pendidikan di Sriwijaya, sampai-sampai para biksu dari berbagai wilayah di Asia datang untuk belajar di sana. Ini dibuktikan dengan ditemukannya catatan I-Tsing yang menyebutkan bahwa pada tahun 671‒672 M, dia tinggal di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa Sanskerta dan Melayu.
I-Tsing adalah seorang biksu dari China. Dia mampir ke Sriwijaya dalam perjalanannya ke India. Kemudian pada tahun 687 M setelah dari India, dia kembali ke Sriwijaya dan tinggal di sana selama dua tahun. Selama masa ini, I-Tsing menerjemahkan kitab suci Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Mandarin. Dalam catatannya, I-Tsing juga memuji perkembangan agama Buddha di Sriwijaya dan bahkan menyarankan para biksu dari negerinya untuk belajar di Sriwijaya sebelum pergi ke Nalanda di India.
Selain catatan I-Tsing, ada temuan dari Prasasti Talang Tuo yang menyebutkan bahwa Dapunta Hyang Sri Jayanaga memiliki visi menjadikan Sriwijaya sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, dan pusat pengajaran agama Buddha di tingkat perguruan tinggi. Jadi, ketika Oxford baru menerima murid internasionalnya yang pertama di abad ke-12, Sriwijaya sudah menerima banyak murid internasional di abad ke-7. Sayangnya, ketika Oxford semakin besar seiring waktu, Sriwijaya justru tergerus oleh waktu.
Sobat Shafa, Universitas Nalanda di India dan pusat pendidikan di Sriwijaya ini adalah bukti lain bahwa jauh sebelum Oxford ada, di belahan bumi lain juga ada “universitas”. Malah kalau ngomongin pusat pendidikan di China dan India, itu jauh lebih kuno lagi, dari sejak sebelum Masehi pun sudah ada. Cuma karena kita menyebutnya dengan istilah berbeda, kita jadi mengira itu berbeda, padahal fungsinya sama.
Oke, sebelumnya kita sudah membahas tentang sistem pendidikan kuno yang jika kita perhatikan, rata-rata berbasis agama tertentu. Ada yang berbasis agama Hindu, berbasis agama Kristen, berbasis agama Buddha, agama Islam, Konfusius, dan lain-lain. Meskipun sebenarnya selain agama, di pusat pengajaran itu juga diajarkan berbagai ilmu pengetahuan umum. Misalnya saja di “sekolah”-nya Ken Arok, nih.
Di Pararaton disebutkan bahwa Ken Arok bersama temannya yang bernama Tuan Tita pergi berguru pada sang Janggan di Sagenggeng. Di sana, mereka belajar banyak hal, dari tata tulis hingga kepemimpinan.
Untuk permulaan, mereka belajar wujud-wujud aksara dan aturan penulisannya. Aksara yang dimaksud di sini sudah pasti aksara Kawi yang terbagi menjadi konsonan, vokal, serta pengembangannya seperti sandhangan, pasangan, dan sandi atau perubahan bunyi.
Suka mempelajari sejarah, khususnya Jawa Kuno. TikTok: @pustakamega
Leave a Reply