Sound Horeg – Fenomena atau Budaya?

  • Mega Yohana
18 Juli 2025 - 19:48 WIB 0 Comments 256
Sound Horeg
Ilustrasi Sound Horeg (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Mendekati bulan Agustus, pembicaraan mengenai rencana perayaan peringatan kemerdekaan Indonesia mulai marak. Jika beberapa tahun belakangan ini Sound Horeg hampir tidak pernah absen dari acara perayaan, tahun ini agaknya terjadi horeg atau guncangan di kalangan pencinta Sound Horeg. Lebih-lebih dengan adanya fatwa haram terhadap hiburan yang khas dengan suara keras menggelegar ini. [1] [2]

Sound Horeg – Makin Pecah Makin Bagus?

Sound Horeg sebenarnya adalah istilah populer untuk sound system portabel yang volumenya sangat keras, biasanya melebihi batas desibel yang wajar. Sound system ini biasanya dipasang di truk atau kendaraan lain dengan hiasan lampu LED yang meriah.

Sebenarnya, kalau kita menelaah, sound system semacam ini sudah ada sejak dulu. Hanya saja dulu masih dalam batas wajar. Sound system yang semula baik-baik saja ini lantas berubah jadi ajang jor-joran. Inilah yang kemudian melahirkan istilah horeg yang secara harfiah artinya berguncang. Bahkan ada loh yang katanya makin bisa ngehancurin kaca atau genteng, itu makin bagus dan mereka (para pencinta Sound Horeg itu) bakal makin bangga. Menurut mereka, itu justru sebuah prestasi. [3]

Kata mereka biasanya, “Toh kerusakan itu juga kami ganti.”

Padahal kalau dipikir-pikir, jika yang rusak adalah gendang telinga, atau seseorang mengalami serangan jantung akibat terpicu suara menggelegar dari Sound Horeg, bagaimana cara untuk menggantinya?

Sound Horeg – Fenomena atau Budaya?

Banyak pencinta Sound Horeg yang menyatakan bahwa Sound Horeg adalah budaya. Dan melestarikan Sound Horeg sama dengan melestarikan budaya. Benarkah demikian?

Dari segi bentuknya saja kita bisa tahu bahwa Sound Horeg bukan berasal dari tradisi lokal, melainkan tren baru yang muncul seiring perkembangan teknologi audio. Apa bedanya dengan budaya?

Budaya adalah hasil olah cipta, rasa, karsa, yang diwariskan dan memiliki nilai simbolis, estetika, dan fungsi sosial. Budaya dari bahasa Sanskerta buddhayah, bentuk jamak dari buddhi atau akhlak, yaitu alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. [4] [5]

Sound Horeg yang menyetel musik dengan volume melebihi batas wajar tak hanya mengganggu orang lain, tapi juga membahayakan kesehatan orang lain. Dentuman yang terdengar sampai berkilo-kilometer ini berpotensi merusak pendengaran dan memicu mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung. Belum lagi potensi bangunan dan rumah-rumah warga yang rusak, yang kacanya pecah atau gentengnya berjatuhan, atau atapnya sengaja dibongkar hanya agar truk yang memuat Sound Horeg bisa lewat.

Dengan ciri khasnya tersebut, Sound Horeg cenderung merupakan sebuah fenomena alih-alih budaya. Sound Horeg mencerminkan gaya hidup kontemporer tanpa landasan historis atau nilai simbolik. Tak ada rekam jejak historis tentang budaya Jawa, Sunda, atau etnis Nusantara lain yang menjadikan kebisingan sebagai nilai budaya.

Dalam budaya musik tradisional seperti gamelan, angklung, atau bahkan keroncong yang lahir dari akulturasi budaya Portugis dan Indonesia, semuanya mengutamakan harmoni, bukan volume ekstrem sebagaimana Sound Horeg. [6]

Sound Horeg – Kebebasan Berekspresi yang Kebablasan?

Banyak pencinta Sound Horeg yang berdalih bahwa ini adalah kebebasan berekspresi. Padahal dalam kerangka hukum dan budaya, ekspresi memiliki batasan, yaitu dengan tidak melanggar hak orang lain untuk hidup tenang.

Budaya tidak boleh melanggar hak publik. Ada batas antara ekspresi budaya dan gangguan terhadap ketertiban umum. Namun, Sound Horeg tampaknya melanggar semua batasan ini. Bukan hanya dengan volume yang jor-joran, tapi juga tindakan semena-mena dan terkadang sampai mengintimidasi mereka yang memiliki pendapat berbeda.

Bandingkan dengan komunitas musik jalanan, misalnya. Atau pertunjukan akustik, atau pawai budaya yang tidak merusak lingkungan. Ini membuktikan bahwa seharusnya kebebasan berekspresi tidak lantas membuat seseorang (atau sekelompok orang) menjadi invasif dan destruktif. Singkatnya: berekspresi boleh, kebablasan jangan.

Sound Horeg – Bukan Budaya, Tapi …?

Sound Horeg bukan budaya, tapi ekspresi yang kebablasan, yang mengabaikan hak-hak orang lain demi kepuasan pribadi dan golongan. Ini adalah kegagalan dalam membedakan hak dan kewajiban, atau antara budaya dan tren yang menggerus budaya.

Padahal kalau bicara budaya, dalam Serat Wulang Reh karya Pakubuwana IV jelas disebutkan tentang larangan berpesta pora secara berlebihan. Dalam pupuh kinanthi disebutkan: “Dadiya lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lan aja sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watrake wong suka, nyuda prayitnaning batin.” [7]

Artinya, bahwa pesta pora yang berlebihan itu buruk karena dapat mengurangi kepekaan batin. Lebih-lebih kalau ini dilakukan dengan adanya tarian tak senonoh dan minum minuman keras seperti yang sering mengiringi Sound Horeg.

Apa yang terjadi jika kepekaan batin berkurang?

Yang dulunya peka terhadap perasaan orang lain, tepa salira, dan mengikuti nilai-nilai moral, jadi mudah terseret arus luar tanpa filter dari dalam dirinya. Sulit membedakan yang benar atau salah secara moral, gampang emosi, egois, dan kehilangan nilai-nilai kebijaksanaan. Akibatnya, mereka akan sulit menerima saran dan masukan dari orang lain, bahkan marah saat diingatkan. Mereka juga akan sulit merasakan empati terhadap orang lain dan cenderung mau menang sendiri.

[]

TOPIK:
  • Mega Yohana

    Suka mempelajari sejarah, khususnya Jawa Kuno. TikTok: @pustakamega

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *