Makan Siang Gratis

  • Daviatul Umam
28 April 2025 - 02:38 WIB 0 Comments 291
Ilustrasi Makan Siang Gratis. (Sumber: Dall-E)
Ilustrasi Makan Siang Gratis. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Setelah menunggu selama tak kurang dari 30 menit, Bu Suri akhirnya menyerah. Tentu saja hatinya bersungut-sungut. Ia mengajak kedua anaknya untuk melanjutkan perjalanan ke warung langganan. Disebut warung langganan karena warung itulah satu-satunya warung makan paling murah yang mereka tahu, sehingga mereka tak pernah mencari warung makan lain. Itu pun jika Bu Suri sedang punya uang lebih sebagai sisa dari jatah beli beras.

Bu Suri menaikkan kedua anaknya ke atas gerobak yang berisi tumpukan limbah botol dan gelas plastik serta kaleng-kaleng bekas. Lantas ia tarik gerobak itu sekuat tenaga, seraya berjalan menyusuri tepian jalan raya. Matahari yang beringas mencakar-cakar kulit mereka dengan gemas. Lalu-lalang kendaraan tiada putus. Angin berembus kasar. Tak henti-hentinya debu menerpa tubuh mereka. Baru beberapa menit berjalan membawa gerobaknya, Bu Suri sudah bersimbah peluh. Kausnya yang kumal tampak lebih terang warnanya di bagian punggung lantaran kuyup.

Di tengah perjalanannya yang berat dan panas, Bu Suri dicengkeram rasa cemas. Di saku celananya cuma ada uang sejumlah 20.000 rupiah. Usai dipotong beli nasi dua porsi nanti, otomatis akan tersisa 8.000 rupiah. Itu artinya, jatah untuk beli beras kurang 7.000 rupiah. Mau berutang ke toko kelontong Madura di ujung gang gubuknya pasti tidak akan dikasih. Catatan utang Bu Suri sudah menumpuk di toko itu. Mau tidak mau, satu-satunya cara ia harus beli satu porsi nasi saja untuk makan siang kedua anaknya. Ia sendiri mesti menahan rasa lapar sampai nanti malam.

Lagi-lagi Bu Suri menggerutu. Sejak harga beras naik drastis selepas pemilu, Bu Suri merasa harus lebih giat bekerja. Tiap azan subuh ia bangun, berangkat lebih awal dan pulang lebih lambat dari biasanya. Tak jarang kedua anaknya ia bawa dalam kondisi tidur di atas gerobak. Seandainya Bu Suri tahu bahwa ia termasuk korban dari gencarnya bagi-bagi bansos menjelang pemilu kemarin, sedangkan Bu Suri sendiri tidak kebagian bansos itu, pasti ia selalu meracau di sepanjang jalan seperti orang gila yang tak pernah kehabisan kata-kata.

Ketika langkah Bu Suri hampir sampai di persimpangan menuju warung langganan, sontak Bu Suri berubah pikiran. Ia mengembuskan napas lega begitu melihat beberapa pengendara motor memakai kopiah dan bersandang sajadah. Ia baru ingat kalau hari ini hari Jumat. Ada satu tempat yang rajin ia datangi saban Jumat: Rumah Makan Masakan Padang, di Sorowajan. Rumah makan itu biasa menyediakan nasi gratis setiap Jumat dan terbuka bagi siapa saja.

Maka urunglah Bu Suri untuk mampir ke warung langganannya. Alih-alih berbelok, ia terus berjalan lurus sambil mempercepat langkah. Butuh 800 meter atau 9 menit lagi untuk sampai ke tujuan. “Mau ke mana, sih, Bu?” si sulung menuntut kejelasan. Raut mukanya tak kalah kusut dari adiknya yang menahan lapar sejak tadi.

“Ke warung Padang.”

“Wah… Horeee!” Paras si sulung mendadak semringah. Paha ayam goreng terbayang sempurna di kepalanya. Berbeda dengan si bungsu yang tetap cemberut dan menyedihkan. Perutnya berdenyut-denyut perih.

Setibanya di lokasi Rumah Makan Masakan Padang, tampak orang-orang sudah mengular. Pengamen, pengemis, ojol, orang bengkel, mahasiswa, bocah-bocah, semua berbaris tertib, menunggu giliran untuk mendapatkan nasi gratis. Bu Suri pun lekas-lekas ambil posisi sesudah memarkir gerobaknya di seberang jalan. Sedang kedua anaknya ia biarkan menunggu di atas gerobak.

Barisan orang-orang itu tak ada habisnya. Malah bertambah panjang seiring laju waktu. Satu orang pergi membawa sebungkus nasi, dua atau tiga orang yang lain datang mengulur ekor antrean. Begitu Bu Suri berdiri tepat di depan etalase lauk—yang ditempeli kertas folio bertuliskan Jumat Berkah, Cukup Dibayar dengan Doa—tiba-tiba penjaga warung bersuara lantang bahwa persediaan nasi gratis sudah habis. Serempak barisan itu bubar. Gurat kecewa, kesal, malu, tergambar jelas di wajah mereka masing-masing. Tak terkecuali Bu Suri yang merasa sangat terpukul.

Dengan suasana hati yang kacau-balau, Bu Suri menyeberang jalan. Di waktu yang bersamaan, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kanan. Sangat kencang. “Awas!” teriak pemilik bengkel di samping Rumah Makan Padang. Tuuuuuttt…! Klakson mobil mewah itu menjerit panjang. Bu Suri terperanjat, spontan berlari cepat. Jantungnya berdegup kasar. Setelah agak tenang, ia berupaya menenangkan kedua putrinya, “Nasinya habis, Nduk. Kita makan di warung langganan saja, ya.” Tak ada yang menyahut. Mereka tampak lebih muram dari sebelumnya.

Kemudian Bu Suri menarik kembali gerobaknya dan berbalik arah. Ia hendak menuju warung langganannya. “Lain kali hati-hati, Bu,” tegur pemilik bengkel kepada Bu Suri dengan nada sinis. “Hampir saja sampean mati.” Bu Suri tak menghiraukan. Kepalanya terlalu sumpek. Perasaannya tidak karuan seperti benang awut-awutan yang sulit terurai.

Matahari semakin menyengat. Ingar-bingar suara kendaraan mempertebal rasa gerah dan gelisah. Bu Suri mengomel persis racauan manusia yang kehilangan akal sehatnya. Namun tak jelas juga siapa yang ia marahi. Bahkan kata-kata yang keluar dari mulutnya tak mungkin bisa dicerna oleh siapa pun. Apalagi deru mesin jauh lebih keras dari ocehan itu. Di atas gerobak, si bungsu menangis sesenggukan. Si sulung memeluknya sembari juga terisak-isak.

Lalu, muncullah di hadapan mereka, ratusan mahasiswa berkendara motor yang kesemuanya berboncengan, memenuhi jalan raya. Akibatnya kemacetan tak bisa dihindari. Bunyi knalpot rombongan itu meraung-raung, seolah mewakili kegeraman rakyat terhadap pemerintah yang kian korup, nepotis, dan otoriter. Di tangan pemuda-pemuda itu terdapat tiang bambu kecil yang mengibarkan spanduk-spanduk di ujungnya. Dengan bibir gemetar, Bu Suri mengeja sebuah tulisan besar di salah satu spanduk itu: TAK ADA MAKAN SIANG GRATIS!

Halaman
TOPIK:
  • Daviatul Umam

    Menulis puisi dan prosa. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah ini bergiat di Komunitas Damar Korong dan Malate Artspace. Kini bermukim di tanah kelahirannya, Sumenep, Madura. Bisa disapa di Instagram: @daviatul.umam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *