Kakus

  • Diana Rustam
14 April 2025 - 01:04 WIB 0 Comments 406
Ilustrasi Kakus. (Sumber: Dall-E)
Ilustrasi Kakus. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Ini adalah mimpi besar Tjok, sebuah kakus. Sudah sejak lama Tjok merancang sebuah kakus dalam pikirannya, satu kali satu meter di dalam rumahnya yang hanya empat kali lima meter. Mimpi itu berusaha Tjok tularkan kepada istrinya, yang tidak begitu peduli pada kakus karena boleh numpang buang hajat di rumah Saripa, seorang janda pensiun guru sekolah dasar.

Tetapi Tjok merasa sungkan menumpang di kakus Saripa, sebab bisa mengundang omongan tetangga. Lagi pula, menurut pandangan Tjok, sebuah rumah tidaklah bisa disebut rumah apabila tidak punya kakus.

Pernah istrinya mengajukan protes atas mimpi Tjok yang menggebu itu, sebab Tjok tidak berhenti menggambar sebuah kakus di atas kertas dan menyiapkan separuh sore untuk memikirkan tentang kakus. “Yang penting ada rumah tempat berteduh, biarpun tidak punya kakus.”

“Jika tak punya kakus, maka tempat tinggal itu lebih layak dikatakan sebuah gua, dan penghuninya adalah purba,” jawab Tjok sengit.

Ia kemudian bicara dalam dialog yang panjang, seperti sebuah monolog, sangat serius, “Manusia bersembunyi dari pandangan manusia lain,  atau hewan sekalipun, saat buang hajat adalah bukti bahwa manusia memiliki rasa malu. Malu adalah sifat yang membedakan antara manusia dengan binatang. Manusia bermartabat dengan adanya rasa malu. Kakus adalah lambang peradaban modern. Sebuah kemajuan manusia dalam berpikir. Benar, tho?”

“Ya, tapi, jangan terlalu serius memikirkan kakus, Pak.”

“Harus serius, sungguh-sungguh. Malu harus tetap ditumbuhkan dan dijaga. Kita bukan anjing yang berak di sembarangan tempat.”

Karena serangan pikiran Tjok yang ditembakkan setiap hari padanya, istri Tjok akhirnya menjadi insaf dari anggapan biasa untuk orang yang tidak punya kakus. Ia menjadi maklum pada perasaan Tjok yang pernah kepergok warga pada suatu siang saat buang hajat di sungai. Ya, sejak Tjok menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang harus buang kotoran, Tjok menjawab kebutuhan itu dengan melakukannya di sungai belakang rumah.

Dahulu, bapak-ibunya juga melakukan hal yang sama. Tjok kebagian tugas untuk berjaga. Apabila ada orang yang datang, Tjok akan bersiul. Sampai saat ini, sangat repot untuk Tjok apabila hasrat buang hajat itu datang di siang hari, karena anak-anak kerap main di sungai atau ada saja warga yang tiba-tiba buang sampah. Tjok belum memiliki anak untuk disuruh berjaga seperti dirinya dulu. Dan jika demikian keadaannya, terpaksa Tjok harus menahan hasrat itu sampai mandi keringat dan rasanya nyaris mampus. Apabila sudah betul-betul tidak tahan, Tjok bersembunyi di bawah jembatan dan membungkus seluruh badannya dengan sarung sehingga ia kelihatan seperti sebuah buntalan.

“Sudah sampai mana, Pak?” tegur istrinya suatu sore. Tjok sedang duduk di depan pintu sembari menggoyang-goyangkan badan ke kiri dan ke kanan. Istrinya meletakkan segelas kopi hitam pahit di sebelah Tjok.

“Penampungan airnya, Bu!” jawab Tjok mantap.

“Kecil saja.”

“Di sebelah kanan. Kita pakai ember besar untuk penampungan air. Sedikit di atas ember itu, kita buat lubang tembus tembok untuk saluran air. Air dari sumur bisa kita masukkan dari sisi luar tembok lewat celah itu yang kita beri semacam talang dari seng.”

Tjok memang belum punya air PDAM. Selama ini, keperluan air bersih diambil dari sumur umum yang diangkut Tjok setiap pagi dengan ember.

“Loh, apa tidak lebih bagus kalau pakai bak penampungan dari semen, Pak! Sekalian dipasangi tegel biar rapi, persis punya Bu Saripa.”

“Biayanya banyak, Bu.”

Istri Tjok menarik napas. “Ya sudah, terserah Bapak saja. Asalkan kita punya kakus.”

Setiap hari, setiap sore, setelah Tjok pulang kerja, Tjok dan istrinya akan duduk di depan pintu rumah untuk merancang kakus mereka. Tjok adalah tukang sapu jalan, yang punya rumah sepetak warisan dari bapaknya. Di dalam rumah yang hanya punya satu ruang itulah, Tjok melakukan semua urusan hidup rumah tangganya, mulai dari masak, makan, tidur, dan lain-lain hal. Hingga suatu saat, ia memikirkan satu yang kurang dari rumah mereka, yaitu kakus.

Satu-satunya tempat untuk kakus itu, menurut rencana Tjok—dan memang tidak ada pilihan—adalah di samping dapur dan tempat tidur. Mereka memulai dengan dinding kakus yang menurut istri Tjok lebih baik dengan tembok semen semua, tetapi Tjok memberi ide dengan separuh tembok dan separuh tripleks.

Halaman
TOPIK:
  • Diana Rustam

    Lahir di Kolonodale, Sulawesi Tengah. Saat ini tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa puisi dan cerita pendeknya telah dimuat di berbagai media, baik lokal maupun nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *