Burhan sedikit terkejut dengan omongan ibunya. Mereka hanya tinggal berdua. Ayah Burhan tenggelam di laut saat Burhan masih kelas dua sekolah dasar.
Dua bulan dari kejadian itu, Musal, adik Ibu Burhan, karena tuntutan keluarga berangkat ke Bali bersama istri dan anaknya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membantu kakak kandungnya, Ibu Burhan, melunasi hutang suaminya, membiayai sekolah Burhan dan kebutuhan sehari-hari.
Musal ternyata sukses dan niatnya ditepati. Sampai Burhan lulus fakultas kesenian di salah satu universitas di Jogja, bahkan sampai ia duduk di meja makan bersama Ibunya, pamannya terus berkirim uang setiap bulan.
“Maaf Bu, saya tidak bisa meninggalkan kampung ini, saya sudah bertekad.” Pelan sekali Burhan bicara.
“Iya sudah. Biar nanti Ibu yang bicara kalau dia menelpon lagi. Soal rejeki, Tuhan yang ngatur.” Hati Burhan terasa damai dengan jawaban Ibu. Dan sejak itu, Paman Burhan tidak berkirim uang lagi. Bukan hanya itu, Paman Burhan juga menyampaikan bahwa Raudah memutuskan tali pertunangan. Dada Burhan terasa sesak, padahal sudah tinggal tujuh bulan lagi pernikahan digelar. Tapi Ibu Burhan selalu memberinya semangat. Rejeki dan jodoh sama-sama rahasia Tuhan.
Di tengah ia sedang terlunta bersama Ibu dan komunitasnya, Pak Salim datang menemuinya.
“Burhan, ada investasi besar yang dikelola Kementerian Investasi/BKPM untuk mengembangkan wisata di sini. Menurutmu bagaimana?”
Memang, tiga tahun terakhir pulau Giliyang ramai jadi perbincangan setelah ditetapkan sebagai pulau oksigen terbaik kedua di dunia.
“Bagus, Pak. Asal rakyat setempat dilibatkan dalam pengelolaan dengan tetap memperhatikan kearifan lokal yang ada.”
“Tentu, saya kemarin di panggil Bupati ke kabupaten, di situ ada juga kepala dinas dan pejabat dari provinsi. Siapapun boleh membangun Giliyang, tapi jangan membangun di Giliyang. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan dengan komunitasmu itu.” Wajah Pak Salim tampak penuh semangat. Burhan mengerti, dan memang itu yang diinginkannya selama ini.
Pertemuan Burhan dengan Pak Salim menambah semangat baru. Semangat menatap masa depan yang membuat luka di dadanya sedikit berkurang. Sebagai warga yang tinggal di sekitar objek wisata, ia dan warga-warga yang lain diberi ruang yang cukup untuk berpartisipasi dalam pariwisata.
Burhan meminta agar disedikan ruang khusus untuk pagelaran seni, juga kedai kerajinan tangan dan kuliner untuk warga. Soal penginapan, bisa memanfaatkan rumah warga. Bahkan, komunitas Burhan juga menyediakan jasa sepeda onthel untuk para wisatawan. Pantai Ropet, Batu Cangga, spot oksigen terbaik, goa-goa, semua dibangun dengan melibatkan warga. Giliyang tampak lebih eksotik. Namanya mulai terkenal ke berbagai kota.
Sekarang, Burhan sudah mulai bisa bernapas lega. Terlebih acara semalam di Pantai Ropet, ia dan komunitasnya mendapatkan apresiasi yang luar biasa. Beberapa hari kemudian, satu dua temannya sudah mulai ada yang pulang dari perantauan.
Mestinya Burhan bahagia dengan segala usaha dan hasilnya, tapi di kedalaman batinnya, lukanya belum sembuh benar. Setiap luka itu memerih, ia selalu membawanya ke atas Batu Cangga. Ternyata sulit sekali melepas rindu dan kenangan. Ia berhasil membuat senang banyak orang, tapi tidak dengan dirinya sendiri.
“Sekarang aku mengerti, mengapa dulu kau bersikukuh tak mau pergi,” selembut suara berkelebat dari belakang. Burhan menoleh. Sekuntum manis wajah Raudah dengan sesungging senyum di bibirnya.
“Kau?”
“Ya, semoga kepulanganku masih belum terlambat!”
Raudah mendekat, Burhan tergeregap. Setelah lima tahun pergi meninggalkan luka, kini ia kembali untuk merajut asa.
Totale, Januari 2025
Lahir dan besar di kampung kecil bernama Totale, tepian pesisir paling timur Pulau Madura. Saat ini berdomisili di Lamongan, Jawa Timur. Kecintaannya terhadap dunia literasi, ia tunjukkan dengan membangun rumah pribadi, yaitu: cahayatotale.blogspot.com. Boleh dikunjungi oleh siapa saja yang ingin berkenalan lebih lanjut dengan tulisan-tulisannya. Penulis dapat disapa di Instagram dan Facebook Bintu Assyatthie.
Leave a Reply