Bato Karang

  • Bintu Assyatthie
16 Maret 2025 - 22:09 WIB 0 Comments 448
gb9

Ukuran Font
Kecil Besar

Di atas Batu Cangga yang curam, Burhan berdiri menatap luas laut Jawa yang tenang. Dua buah pulau, Sepudi dan Ra’as, tampak gagah di timur jauh, disorot matahari senja yang sebentar lagi akan memayungi Pulau Giliyang dengan kelambu merah saga. Beberapa perahu nelayan melintas di bawahnya, juga sebuah kapal Tongkang pengangkut tambang batubara bergerak perlahan di kejauhan.

Sore yang menawan. Kemudian ia mengeluarkan sebuah kenangan. Di sinilah dulu, hidup dan masa depannya menjadi taruhan. Lima tahun silam.

“Jadi, kamu tetap bersikukuh tak mau pergi?” Raudah sedikit merajuk. Ia tak bisa menahan kecewa dengan sikap Burhan yang tak menepati janji.

“Dah, aku minta maaf. Aku tidak bisa meninggalkan pulau kecil ini sebagaimana aku tak bisa meninggalkanmu. Entah, ada sesuatu yang menahan kakiku di sini!”

Bibir kecil Raudah sedikit bergetar. Ada kata-kata yang gagal keluar, kemudian diganti air mata yang meliar. Besok pagi, Raudah sudah harus berangkat ke Bali, tempat merantau mayoritas warga Giliyang. Banyak di antara mereka yang sukses di sana, di antaranya orang tua Raudah dan paman Burhan sendiri.

“Aku akan tetap berharap kamu menyusulku ke Bali. Aku tidak mau pertunangan kita berantakan.” Raudah berlari, ada luka di hatinya. Ia tak menyangka kalau Burhan tak menghiraukannya.

***

Tamu-tamu itu tampak senang, para pejabat negara, satu di antaranya penjabat tinggi dari ibu kota, yang sedang menikmati panorama alam dan budaya pulau Giliyang. Di bawah terang bulan di atas Pantai Ropet, mereka disajikan pagelaran seni yang memukau. Ada gamelan dan mamaca, ada tari tradisonal dan manca’, lagu dan syi’eran Madura, semua dipentaskan oleh anak-anak Komunitas Bato Karang yang dibentuk dan diketuai oleh Burhan.

“Terima kasih, Burhan. Mereka sungguh puas dengan kesenian yang dipentaskan oleh komunitasmu,” ucap Pak Salim, ketua Pokdarwis Giliyang, usai acara. Sebuah amplop disodorkan ke tangan Burhan.

“Bapaklah yang membuat kami seperti ini,” balas Burhan merendah. Mereka duduk di pojok tenggara pantai, di atas gubuk bambu yang agak menyorok ke bibir pantai. Ribuan bintang menyembul di wajah langit yang remang.

“Ternyata kita berhasil melewati berbagai kekhawatiran, setidaknya sampai detik ini,” mata Pak Salim menerang jauh ke tengah lautan.

“Betul, Pak. Tidak ada investasi yang buruk bila dikelola dengan baik.”

Ada banyak sesuatu yang bergelayut di pikiran Burhan. Memang tidak mudah menapaki jalan sendiri, membangun cita-cita yang mandiri. Terutama ketika ia berseberangan dengan orang-orang terdekat. Tapi Burhan sudah bertekad dengan komunitasnya, bersama anak-anak pesisir yang tersisih. Bertahun-tahun ditekuninya dengan sabar. Ia harus seperti batu karang yang tegak menatap gelombang. Meskipun ia harus kehilangan banyak hal dalam hidupnya, tetapi kini ia mendapatkan beberapa hal yang lain.

“Ah, Ka’ Burhan ini ada-ada saja. Mana mungkin orang seperti saya bisa berkesenian. Saya hanya lulus sekolah dasar, Ka’,” ucap Martono saat diajak Burhan masuk komunitas yang baru dibentuknya.

“Mestinya Ka’ Burhan ini menyusul Raudah ke Bali, melanjutkan kuliah dan bikin usaha di sana, lalu menikah. Eh, malah ngurus komunitas yang tak jelas ini,” kata Dahlan. Sudah dua tahun Raudah di Bali, melanjutkan studi S2-nya di Udayana.

Seperti biasa, mereka berkumpul di gardu ronda, main catur dan karambol mulai pagi sampai siang, dari lepas isya sampai tengah malam. Mereka para pemuda yang tersisa, nganggur dan buang-buang usia. Orang-orang seperti itulah yang dirangkul oleh Burhan ke dalam komunitasnya, Komunitas Bato Karang.

“Intinya adalah kemauan dan ketekunan. Kalian bisa menjadi apa pun yang kalian mau, asal tekun dan berani mencoba.” Burhan berusaha membujuk. Berbagai upaya dan pendekatan ia lakukan. Lambat laun, beberapa mulai bergabung dengan komunitasnya.

Mereka tidak hanya belajar kesenian Madura, tapi juga diajari berbagai ekonomi kreatif, mulai kerajinan tangan, daur ulang sampah sampai pada kuliner lokal. Burhan sadar betul, sebagai warga yang hidup di sekitar objek wisata, mereka juga harus bisa menjadi subjek yang aktif. Burhan sedang mempersiapkan itu semua.

“Burhan, kamu sudah bicara dengan pamanmu?” tanya ibunya saat Burhan selesai salat Isya dan bersiap makan malam.

“Belum, Bu!” Wajah Burhan sedikit berubah. Belakangan ini pamannya selalu memaksanya untuk berangkat ke Bali, membantu usaha bisnisnya di sana.

“Pamanmu bilang, kalau kamu tidak mau berangkat, pamanmu akan berhenti berkirim uang kepada kita.”

Halaman
TOPIK:
  • Bintu Assyatthie

    Lahir dan besar di kampung kecil bernama Totale, tepian pesisir paling timur Pulau Madura. Saat ini berdomisili di Lamongan, Jawa Timur. Kecintaannya terhadap dunia literasi, ia tunjukkan dengan membangun rumah pribadi, yaitu: cahayatotale.blogspot.com. Boleh dikunjungi oleh siapa saja yang ingin berkenalan lebih lanjut dengan tulisan-tulisannya. Penulis dapat disapa di Instagram dan Facebook Bintu Assyatthie.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *