Pepe yang Sunyi vs Demo yang Ricuh: Dua Wajah Protes Rakyat Indonesia

  • Mega Yohana
24 September 2025 - 10:47 WIB 0 Comments 162
Ilustrasi pepe masyarakat Jawa. (Sumber: Dall-E)
Ilustrasi pepe masyarakat Jawa. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Agustus 2025 mungkin menjadi salah satu momen peringatan kemerdekaan Indonesia paling gelap dalam sejarah. Demo terjadi di hampir seluruh pelosok Indonesia. Demo yang diwarnai dengan kekerasan, pembakaran, dan penjarahan ini mengingatkan kita pada kelamnya peristiwa ‘98 dan runtuhnya rezim Orde Baru.

Demo sebagai bentuk protes rakyat menggelora tak hanya di Indonesia, tapi juga di Nepal, Prancis, Filipina, dan Peru. [1] [2] Ketidakpuasan terhadap pemerintah menjadi penyebabnya. Rakyat menuntut. Rakyat menginginkan suara mereka didengar.

Di Indonesia sendiri, dengan sejarah panjang Nusantara, rakyat selalu punya cara untuk menyuarakan ketidakpuasan kepada negara. Bedanya, pada zaman dulu rakyat menyampaikan tuntutannya dengan jalan sunyi yang mengedepankan penghormatan terhadap hierarki.

Pepe vs Demo: Serupa tapi Tak Sama

Di Jawa, dikenal sebuah tradisi bernama pepe, yang secara harfiah berarti berjemur. Dalam pepe, rakyat duduk berjemur di bawah terik matahari di alun-alun yang terletak di depan keraton. Dengan memakai pakaian putih sederhana dan ikat kepala putih, mereka duduk di bawah beringin di alun-alun tanpa teriak, apalagi merusak. Diam mereka adalah bentuk protes. Mereka menunggu di sana hingga Sultan atau Raja datang untuk mendengarkan keluhan. [3]

Di era modern ini kita mengenalnya dengan istilah demonstrasi atau demo. Bedanya, dalam demo massa turun ke jalan, terkadang membawa poster berisi tuntutan atau kecaman terhadap pemerintah. Mereka berorasi dengan lantang menuntut perubahan kebijakan, kadang diiringi caci maki karena ketidakpuasan. Media sosial lantas memperbesar gaungnya, liputan media membuatnya jadi sorotan publik. Tapi, sering kali demonstrasi yang diawali damai berubah ricuh, vandalisme terjadi, bentrokan dengan aparat penegak hukum, hingga pengrusakan fasilitas umum. [4]

Kita tentu tahu dari berbagai video di media sosial maupun portal berita, tentang penjarahan dan pengrusakan yang terjadi di museum. Tentang bagaimana benda-benda bersejarah yang tak terhitung harganya itu raib. [5] Rumah-rumah pejabat diserang dan dijarah. Demo yang seharusnya menjadi ajang menyuarakan tuntutan rakyat berubah menjadi ajang aji mumpung dengan menjarah dan merusak di sana sini.

Sejatinya, pepe dan demo memiliki inti yang sama: rakyat menuntut didengar.

Tapi dalam penyelenggaraannya, pepe dan demo sangat jauh berbeda. Dalam pepe, tubuh dijadikan simbol penderitaan. Protes dilakukan dengan jalan sunyi dan laku prihatin, menunggu penguasa tersentuh hatinya dan mengambil langkah bijaksana untuk rakyatnya.

Dalam demo, suara kolektif massa menjadi senjata. Demonstrasi yang berasal dari bahasa Latin, demonstrare, memiliki arti harfiah menunjukkan. [6] Maka nggak heran kalau protes dilakukan dengan menunjukkan: orasi, poster, long march, kadang diiringi teriakan massa.

Pepe dilakukan di alun-alun yang menjadi simbol pusat kekuasaan dalam tradisi Jawa. Mereka duduk di bawah beringin yang melambangkan pengayoman. [7] Sunyi dan sabar. Pesannya kuat justru karena diam di bawah terik matahari, tanpa kekerasan.

Demo dilakukan di berbagai ruang publik seperti di depan gedung DPR, jalan protokol, atau kantor pemerintahan. Sifatnya ramai, ekspresif, dan penuh suara. Efeknya jauh lebih cepat, tapi juga berpotensi terjadi chaos bila tidak terkendali.

Momen Sultan dan Jejak Pepe yang Muncul di Tengah Demonstrasi

Menariknya, kearifan tradisi pepe kadang masih hadir di masa kini. Seperti saat Sri Sultan Hamengku Buwono X turun langsung menemui demonstran di Yogyakarta beberapa waktu lalu. [8] Suasana yang awalnya ricuh mendadak hening begitu Sultan hadir diiringi gamelan. [9] Momen ini seakan mengingatkan kita pada satu hal: rakyat Jawa masih menyimpan memori budaya bahwa penguasa adalah pelindung, dan suara gamelan menandai hadirnya wibawa sekaligus keteduhan.

Momen itu seperti jembatan antara pepe dan demo, simbol budaya yang meredam gejolak modern. Pencinta One Piece (yang mengibarkan Jolly Roger SHP) mungkin bakal berkata, “Itu Haoshoku Haki.” [10] Tapi jika kita mengingat bagaimana tradisi kita dahulu … mungkin saja itu sebenarnya adalah wujud sejarah masa lalu yang masih tertanam dan mengalir di dalam darah kita.

Dari Ricuh ke Damai, Kita Belajar Kearifan Budaya

Fenomena Sultan dan demo yang menjadi hening itu menyiratkan pesan penting kepada kita bahwa protes tidak harus selalu destruktif. Kita bisa belajar dari pepe, bahwa untuk menyampaikan aspirasi tidak harus dilakukan dengan merusak. Di sisi lain, pemerintah juga perlu belajar dari Sultan, yaitu hadir langsung dan mendengar dengan hati, alih-alih hanya mengirim aparat atau menulis pernyataan di media sosial.

Di tengah gejolak politik dan sosial yang makin kompleks ini, mungkin sudah saatnya kita meramu ulang kearifan lama dengan realitas baru. Menjaga hak rakyat untuk bersuara, sekaligus menjaga agar suara itu tidak berubah jadi bara yang membakar. Karena pada akhirnya, baik pepe maupun demo memiliki tujuan yang sama: agar penguasa mau mendengar rakyatnya.

[]

TOPIK:
  • Mega Yohana

    Suka mempelajari sejarah, khususnya Jawa Kuno. TikTok: @pustakamega

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *