Ngeri! Ini Hukuman untuk Koruptor di Era Majapahit Menurut Kutaramanawa Dharmasastra

  • Mega Yohana
25 Juli 2025 - 18:45 WIB 0 Comments 221
Ilustrasi pengadilan
Ilustrasi pengadilan di era Majapahit. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Korupsi menurut KBBI adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Orang yang melakukan korupsi disebut koruptor. [1] [2]

Kenapa seseorang bisa menjadi koruptor? Sebab, di mana pun dan kapan pun, hasrat manusia untuk memiliki sesuatu kerap kali tak terbendung.

Hasrat dan ketamakan adalah bagian dari dosa yang dimiliki setiap manusia. Yang menghalangi manusia untuk mengikuti hasrat buruk ini adalah darma dan moral. Ajaran tentang baik buruk setiap perbuatan, sikap dan kewajiban, budi pekerti, dan susila adalah pagar yang menahan manusia supaya tidak mengikuti hasrat duniawi, salah satunya ketamakan.

Namun, tentu saja pada beberapa orang, ketamakan lebih kuat daripada moralitas. Orang-orang yang jatuh pada perangkap dosa ini akan berani melakukan hal-hal yang secara moral dianggap buruk. Menjadi pejabat korup, misalnya.

Pejabat korup tentu ada di hampir setiap masa. Begitu pula di era Majapahit. Oleh karena itu, pemerintahan Majapahit memiliki kitab undang-undang untuk mengatur ketenteraman negara. Tak hanya mengatur masyarakat bawah, kitab hukum ini juga mengatur para pejabat negara. Salah satunya jika ada pejabat korup.

Kitab Jawa Kuno yang dimaksud adalah Kutaramanawa Dharmasastra. [3]

Kutaramanawa Dharmasastra mengatur tak hanya tingkah laku masyarakat, tetapi juga pejabat pemerintahan. Kitab ini dibuat untuk memastikan pemerintahan bisa berjalan dengan baik, serta memastikan keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat. [4]

Sebagai kitab undang-undang hukum kerajaan, salah satu pasal dalam Kutaramanawa Dharmasastra mengatur tentang pejabat korup. Begini bunyi pasalnya:

// kawula nira sang ratu, mantriya, yen ulah ning duṣṭa denlakokĕn makādi ulahe ātatāyi, muwah angulahakĕn corah, angiloni maling gawene, yen hana kawula ning mantri mangkana, yen pinaten de ning wong, tan wnang yen wicaranĕn kapatine, apan doṣa ning duṣṭa, doṣa ning ātatāyi, doṣa ning maling, katlu iku, doṣa pati, āgamane de nira sang amawa bhumi //

Artinya:

“Hamba raja, meski ia menteri sekalipun, jika ia menjalankan duṣṭa, supaya diperlakukan seperti pelaku tatāyi. Jika ia melakukan corah, perbuatannya mengikuti perbuatan pencuri. Jika ada hamba raja yang berbuat demikian, atau jika ada hamba menteri yang demikian itu, apabila ia dibunuh orang, pembunuhan itu tidak akan digugat. Karena memang perbuatan duṣṭa, tatāyi, dan corah, ketiga kejahatan itu dikenai hukum mati. Demikian bunyi undang-undang yang dikeluarkan oleh sang amawa bhumi.” [5]

Yang dimaksud duṣṭa di kitab Jawa Kuno ini adalah perbuatan jahat seperti membunuh, menganiaya, dan sebagainya. Sedangkan tatāyi secara harfiah berarti kejahatan, dan corah artinya curi atau pencurian.

Corah dalam istilah modern serupa dengan korupsi, karena menyelewengkan atau menyalahgunakan uang negara. Menurut pasal dalam Kutaramanawa Dharmasastra, pejabat pemerintah yang melakukan corah alias korupsi, dia pantas dihukum mati. Jika dia dibunuh, keluarganya tidak berhak menggugat pembunuhan tersebut karena memang hukuman untuk pelaku duṣṭa, tatāyi, dan corah adalah hukuman mati.

Itulah hukuman untuk koruptor di era Majapahit, yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan tegas dalam memberantas korupsi.

[]

TOPIK:
  • Mega Yohana

    Suka mempelajari sejarah, khususnya Jawa Kuno. TikTok: @pustakamega

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *