Jejak yang Terlarang

  • Muhammad Hafid Sukri
5 Agustus 2025 - 04:27 WIB 0 Comments 232
Ilustrasi Jejak yang Terlarang. (Sumber: Dall-E)
Ilustrasi Jejak yang Terlarang. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Banuaju Timur bukanlah desa yang bisa dipahami hanya dengan peta dan angka kependudukan. Di antara kabut pagi dan desiran angin sore, selalu ada cerita yang tak ditulis di buku sejarah. Dan di sanalah Gunung Pekol berdiri. Bukan gunung yang menjulang tinggi, tapi keberadaannya tak bisa diremehkan. Penduduk sekitar menyebutnya tempat pasarean, peristirahatan terakhir seorang wali tua yang namanya bahkan tak lagi dikenal.

Darma, mahasiswa antropologi dari Surabaya, tiba di desa itu dengan niat menulis skripsi tentang mitos lokal. Baginya, kisah-kisah rakyat adalah jendela menuju cara berpikir masyarakat. Ia mencatat, merekam, dan bertanya. Tapi satu nama terus kembali dalam setiap cerita warga: Gunung Pekol.

“Boleh kau datangi pasarean itu, Nak,” kata Pak Kamil, juru kunci makam, sambil memandang langit yang mulai kemerahan. “Asal jangan sentuh landaur—jejak batu itu. Banyak yang tak pulang setelah menyentuhnya.”

Darma mengangguk, meski dalam hatinya muncul rasa ingin tahu yang membara. Ia sudah terlalu sering mendengar larangan seperti itu—dan terlalu sering pula membuktikan bahwa mitos hanyalah cermin ketakutan manusia.

***

Malam Jumat Kliwon. Udara terasa berbeda. Dingin, tapi bukan dingin biasa. Seolah ada sesuatu yang mengawasi dari kejauhan.

Darma berjalan pelan, senter di tangan, menembus semak dan pohon randu yang berdiri seperti penjaga bisu. Di puncak, di dekat pasarean, ia menemukannya: batu lebar berbentuk jejak kaki. Landaur, begitu mereka menyebutnya.

Ia menatapnya lama, lalu, dengan jari gemetar pelan oleh rasa penasaran, ia menyentuh permukaannya.

Dingin. Lalu denyut.

Bukan denyut tangannya, tapi seolah batu itu hidup—berdetak seperti jantung yang bangun dari tidur panjang.

Senter padam. Kabut turun begitu cepat, menutup segala arah. Langkah-langkah berat terdengar. Bukan langkah manusia. Seperti tanah yang diinjak sesuatu yang besar dan tua.

Darma berdiri kaku. Suara berat menyelinap dari belakang kabut.

“Siapa yang berani menyentuh jejakku?”

Ia menoleh. Di hadapannya berdiri sesosok makhluk yang tak mampu dijelaskan akal. Matanya merah menyala, tinggi dan sunyi, kulitnya seperti batu yang menyimpan usia.

Darma mundur, namun kakinya tenggelam dalam tanah basah. Suara-suara dari bumi seperti memanggil namanya, perlahan namun pasti.

Dalam panik, ia melihat cahaya samar di kejauhan. Di situlah pasarean berdiri. Dan di atasnya, seorang lelaki berjubah putih duduk bersila, wajahnya teduh namun tajam.

“Kau belum waktunya menjadi jejak,” ucapnya.

Darma tak sempat menjawab. Dunia gelap.

***

Ia terbangun keesokan harinya, tergeletak di depan pasarean. Pak Kamil dan beberapa warga menolongnya turun, wajah mereka campuran antara lega dan cemas.

“Kau melihat sesuatu, bukan?” tanya Pak Kamil pelan. “Tak semua yang disentuh bisa kembali.”

Darma tak menjawab. Ia hanya menatap telapak tangannya. Di sana, ada bekas lekukan kecil, seperti jejak kaki mungil yang tak akan hilang.

Sejak hari itu, ia tak pernah kembali ke Gunung Pekol. Tapi tiap malam Jumat Kliwon, ia terbangun dengan dada sesak dan mimpi yang sama: berdiri di tengah kabut, batu di depannya, dan suara berat berbisik di telinga—

“Yang mengganggu jejak, akan menjadi jejak berikutnya.”

Warga bercerita, sebulan setelahnya, bentuk batu landaur berubah. Ada satu jejak baru, kecil tapi nyata—seolah bumi menuliskan ulang kisahnya dengan diam.

TOPIK:
  • Muhammad Hafid Sukri

    Penulis muda asal Sumenep, Madura, yang menyuarakan mitos lokal dan misteri daerah lewat cerita-cerita horor yang menyentuh sisi psikologis dan spiritual pembaca. Ia percaya bahwa kisah-kisah dari tanah kelahiran bukan hanya warisan, tetapi juga peringatan. Selain menulis cerpen dan puisi, ia aktif dalam kegiatan literasi dan seni di lingkungannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *