Perpustakaan yang Sunyi dan Hilangnya Minat Membaca – Kenapa?

  • Mega Yohana
28 Juli 2025 - 13:13 WIB 0 Comments 244
Membaca Buku
Ilustrasi seorang anak sedang membaca buku. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

“Buku adalah jendela dunia,” katanya. Dan di zaman digital seperti ini, buku tidak lagi melulu berwujud lembaran-lembaran kertas. Buku di era sekarang tidak hanya bisa diakses di perpustakaan kota, tapi bisa di mana saja.

Mirisnya, dengan semakin terbukanya dunia terhadap akses internet dan kemudahan dalam mengakses bacaan, agaknya minat membaca anak-anak di Indonesia tidak bertambah naik.

Indonesia memiliki Perpustakaan Nasional yang diakui sebagai gedung perpustakaan tertinggi di dunia, lebih tinggi dari Shanghai Library di Tiongkok. Namun, laporan UNESCO menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, hanya satu dari seribu orang yang benar-benar gemar membaca secara aktif. Miris sekali, bukan? [1] [2]

Bahkan kalau kita bandingkan saat berkunjung ke perpustakaan daerah atau ke museum daerah, misalnya. Saya sendiri mengalami saat berkunjung ke Museum Penataran yang terletak di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Pada saat itu benar-benar sepi. Hanya ada saya, suami, dan Anak Lanang di sana, bersama satu orang resepsionis. [3]

Hal yang hampir sama saat berkunjung ke Kompleks Perpustakaan dan Makam Bung Karno yang terletak di Kota Blitar. Meskipun ini tergolong tempat wisata dan ziarah yang cenderung ramai, tapi di dalam perpustakaannya sendiri atau di museumnya bisa dibilang sepi pengunjung. Dan meskipun kami sering berkunjung setidaknya sebulan atau dua bulan sekali, jumlah rata-rata pengunjung yang membaca di dalam perpustakaannya terbilang sedikit. [4]

Era Digital dan Peran Orang Tua dalam Membentuk Minat Baca Anak

Kalau kita menengok ke belakang, dulu membaca buku adalah kemewahan. Banyak pemikir hebat Indonesia yang lahir dari anak-anak yang gemar membaca buku. Meskipun kehidupan pada zaman dulu serba sulit, nyatanya itu tidak meluruhkan minat mereka terhadap buku.

Sebaliknya, di masa kini dengan segala kemudahan komunikasi, membaca justru sering dianggap sebagai hal yang membosankan dan buang-buang waktu. Kenapa?

Bisa jadi karena dominasi gadget dan konten visual. Anak-anak sekarang lebih sering terpapar video pendek seperti YouTube Shorts, TikTok, Reels, dan sebagainya. Konten-konten itu membentuk preferensi mereka terhadap gambar bergerak, sehingga ketika dihadapkan pada teks panjang atau imajinasi visual dari bacaan, mereka tidak terbiasa. Belum lagi berbagai platform nonton seperti YouTube, Netflix, Disney+ Hotstar, dan lain sebagainya yang menawarkan berbagai tontonan–yang terkadang tidak difilter. [5] [6]

Sering loh, saya dapati orang tua membiarkan anak mereka yang masih di bawah 3 tahun … saya ulangi: anak di bawah 3 tahun … diberi tontonan YouTube Shorts dan TikTok! [7]

Padahal kita tahu algoritmanya random. Dan kalau itu bercampur dengan tontonan orang tua, wah … bisa makin random video-video yang muncul.

Padahal, kalau orang tua mau sedikit memperhatikan, ada loh aplikasi YouTube Kids. Ada Netflix Kids. Ada Disney Kids. Dan masih banyak aplikasi yang lebih ramah anak, yang tontonan yang ditampilkan disesuaikan dengan usia anak. Tapi sayangnya, kebanyakan orang tua merasa itu terlalu merepotkan.

“Udah biasa nonton video pendek, bisa scroll-scroll,” kata mereka acap kali.

Itu, ditambah dengan kurangnya role model di rumah, jadilah membikin anak-anak makin jauh dari kebiasaan membaca.

Robert Fulghum berkata, “Nggak usah cemas kalau anak-anak nggak mendengarkan Anda. Cemaslah bahwa mereka selalu mengawasi Anda.” [8]

Ya, anak-anak adalah peniru ulung. Mereka umumnya menirukan apa yang mereka tangkap dari lingkungan sekitar mereka. Dan dalam hal minat membaca, misalnya, kalau kita saja sebagai orang tua nggak ngasih contoh, bagaimana mereka bisa mengembangkan minat itu?

Peran Guru dan Perpustakaan Sekolah dalam Mengajarkan Pentingnya Membaca

Suatu hari saya mendengar dari Anak Lanang bahwa di sekolahnya dibangun gedung baru untuk perpustakaan. Namun, saat buku-buku di perpustakaan itu sudah tersedia, yang saya dengar dari Anak Lanang cukup miris. Tidak ada yang membaca di sana, katanya. Saat dia membaca, teman-temannya hanya tertarik untuk bermain. Dan saat mereka memasuki perpustakaan pun, itu bukan untuk membaca buku-buku yang ada di sana, tapi untuk bermain. Akhirnya Anak Lanang pun kehilangan minat membaca di sana dan ikut bermain juga.

“Lagi pula buku-buku di sana nggak terlalu menarik,” kata Anak Lanang. “Kebanyakan cuma buku pelajaran.”

Hm … mungkinkah keengganan anak-anak untuk membaca buku di perpustakaan sekolah sebenarnya bukan karena mereka malas membaca, tapi karena belum ada bacaan yang menarik minat mereka? Atau, belum ada dorongan signifikan yang membuat mereka bergerak untuk membaca di perpustakaan sekolah?

Saya jadi teringat salah satu episode di serial animasi asal Negeri Jiran, Upin & Ipin. Pada salah satu episodenya, ditunjukkan tentang adanya perpustakaan keliling yang dijaga oleh Abang Saleh. Dan anak-anak di Tadika Mesra masing-masing diberi kartu peminjaman buku, dan mereka didorong untuk meminjam buku. [9]

Itu terkesan sepele. Tapi saya rasa jika ini diterapkan di sekolah-sekolah, khususnya di daerah dengan minat baca rendah, mungkin bisa menjadi jalan untuk mendorong anak-anak supaya membaca. Tidak usah muluk-muluk mengharapkan setiap anak bakal langsung membaca, tapi pertama-tama adalah membuat mereka tahu bahwa di sekolah mereka tersedia buku-buku bacaan yang menarik dan bisa dipinjam. Mungkin di awal mereka akan hanya meliriknya. Siapa tahu pelan-pelan mereka akan benar-benar tertarik untuk membaca. Apalagi jika ini dicontohkan oleh guru-guru di sekolah.

Ingat: anak-anak adalah peniru ulung. Dalam arti positif dan negatif. Contohnya saya alami sendiri. Anak Lanang mengikuti jejak saya suka membaca. Sekaligus juga mengikuti kebiasaan buruk saya yang suka menaruh buku sembarangan–di meja komputer, di kasur lantai, numpuk di dalam kamar–padahal ada rak buku. Ini kebiasaan buruk, sih, sebaiknya tidak ditiru, hehehe.

Eniwei, jika guru-guru di sekolah turut mendorong anak untuk gemar membaca–bukan hanya membaca LKS, saya rasa anak-anak juga akan termotivasi untuk membaca. Tapi, ya, kita tahu bahwa di zaman sekarang ini tugas guru nggak cuma mengajar di kelas, tapi juga ada beban-beban administratif dan sebagainya yang harus dikerjakan. Yang mungkin saja, ini membikin para guru terlalu sibuk dan terlalu lelah untuk kegiatan lain di luar pelajaran kelas. [10]

Lingkungan dan Kiat Menumbuhkan Minat Membaca pada Anak

Saya pernah membaca di suatu tempat, saya lupa sumbernya. Katanya untuk membuat anak tertarik pada buku, pertama-tama biarkan anak-anak merasa familier dengan buku-buku itu.

Jika di rumah, bisa dengan meletakkan buku bacaan di meja, di bufet, di kamar, di mana saja yang “terlihat” oleh anak. Setelah terbiasa melihat buku-buku itu, mereka akan penasaran. Mungkin awalnya mereka akan membolak-balik saja halamannya, melihat gambar yang ada di dalamnya, lalu menaruhnya lagi.

Dan itu nggak apa-apa. Karena dengan mengambil buku itu, artinya mereka sudah penasaran. Nanti, saat mereka sudah melihat gambar-gambarnya, bisa jadi mereka ganti penasaran dengan isinya, dan akhirnya benar-benar membaca buku itu.

Saya sendiri kurang tahu apakah metode itu bisa berhasil. Tapi, tidak ada salahnya untuk mencoba, kan?

Kenapa saya bilang nggak tahu, karena membaca sudah menjadi bagian dari hidup saya sejak awal. Sedari kecil saya suka membaca, yang ini diturunkan dari almarhum Kakek yang gemar membaca. Saat hamil Anak Lanang, hampir tiap malam saya bacakan buku meski dia masih berada di dalam kandungan. Saat dia bayi dan saat baru belajar merangkak, dia terbiasa dengan sekian banyaknya anak-anak yang datang ke rumah untuk belajar. Ya, pada saat itu kami masih tinggal di rumah orang tua saya, dan saya masih mengajar les anak-anak.

Begitulah, Anak Lanang sudah terpapar oleh buku-buku bacaan sejak bayi. Dan sudah terbiasa mendengarkan saya membacakan buku untuknya sebelum tidur. Sekarang Anak Lanang sudah kelas 4 SD. Dia sudah terbiasa membaca melalui beberapa cara: membaca buku-buku di rumah, pergi ke perpustakaan, atau membaca buku digital di aplikasi iPusnas, Google Play Book, dan Amazon Kindle. Entah itu komik, novel anak, ensiklopedia, dan pengetahuan umum. Entah itu dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Dan, meski sudah kelas 4 SD, kebiasaan untuk dibacakan buku sebelum tidur itu masih berlanjut.

Sementara itu, di keluarga lain yang memang dari awal kurang familier dengan kegiatan membaca, mungkin menumbuhkan minat baca pada anak tidak semudah yang terjadi di keluarga kami. Mungkin, perlu usaha lebih dan konsistensi.

Sering orang-orang bertanya, bagaimana saya membuat Anak Lanang gemar membaca. Dan sejujurnya, ini adalah pertanyaan yang sulit saya jawab. Sebab, bagaimana anak bisa gemar membaca jika orang tuanya tidak memberi contoh?

Banyak orang tua mengharapkan anak-anak mereka suka membaca, tapi mereka sendiri enggan membaca. Sementara di sekolah, belum tentu juga sekolah menyediakan fasilitas bagi anak-anak untuk menumbuhkan minat baca. Belum lagi lingkungan sekitar yang tidak mendukung. Membaca di era digital ini memang bisa dilakukan di mana saja, tapi selama hal-hal itu tidak diatasi, saya rasa sulit menumbuhkan minat baca pada anak.

[]

TOPIK:
  • Mega Yohana

    Suka mempelajari sejarah, khususnya Jawa Kuno. TikTok: @pustakamega

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *