Resensi Novel Paul Sussman, “Labirin Osiris”

  • Dewi Sartika
10 Juli 2025 - 09:28 WIB 0 Comments 148
Sampul Labirin Osiris. (Sumber: Dokpri)
Sampul Labirin Osiris. (Sumber: Dokpri)

Ukuran Font
Kecil Besar

Usai menuntaskan “Labirin Osiris”, saya baru sadar, karya-karya Paul Sussman lebih mengasyikkan dibanding Dan Brown. Ya, ini cuma penilaian subjektif saya, boleh setuju boleh juga tidak.

Dulu, saya masih mikir-mikir untuk beli tiap kali tahu ada novel Dan Brown meski sejak awal saya sudah terkesima dengan The Da Vinci Code dan Angels & Demons. Hingga saat ini, saya cuma punya satu novel Dan Brown saja.

Berbeda dengan Paul Sussman. Ketika sebuah penerbit memberi diskon cukup besar di marketplace, saya pun tak ragu langsung memborong dua novel Paul Sussman sekaligus. Saat ini, sudah 3 novel karya Paul Sussman yang saya punya, tinggal Hidden Oasis yang belum.

Seperti biasa, novel karya lelaki yang berprofesi sebagai arkeolog ini diawali dengan peristiwa di masa lampau. Berbeda dengan Misteri Pasukan Cambyses, kali ini Paul Sussman mengambil latar tahun 1930-an untuk mengawali kisah. Seorang anak lelaki 10 tahun menjumpai anak sekampungnya, Iman El-Badri, sedang bersama Samuel Pinsker, lelaki Inggris dengan cacat di wajah. Anak lelaki tersebut mengira Iman disakiti Pinsker sehingga melaporkannya kepada keluarga Iman. Kisah kemudian beranjak ke tahun 1970-an, saat seorang perempuan Inggris yang sedang berbulan madu ke Mesir tanpa sengaja terperosok ke sebuah lubang lalu menemukan mayat yang terawetkan.

Memasuki masa kini, terjadi pembunuhan terhadap wartawan investigasi, Rivka Kleinberg, di gereja Armenia di Kota Lama, Yerusalem. Petugas kepolisian Israel, Arieh Ben-Roi, ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini. Setelah melakukan penyelidikan ke rumah Rivka, Ben-Roi menemukan sejumlah petunjuk terutama mengenai kasus yang hendak diungkap Rivka. Ternyata Rivka sedang melakukan investigasi perdagangan manusia. Petunjuk-petunjuk yang Ben-Roi temukan akhirnya membawa lelaki itu ke potongan berita kematian Samuel Pinsker dan penemuan mayatnya oleh perempuan Inggris.

Menemui jalan buntu, Ben-Roi memutuskan untuk meminta pertolongan detektif kepolisian Luxor yang dikenalnya, Yusuf Khalifa. Khalifa yang sebenarnya sedang menyelidiki sumur milik orang Koptik yang terkontaminasi racun, mengiyakan permintaan Ben-Roi. Ia pun mencari tahu tentang Samuel Pinsker dengan mewawancarai sejumlah narasumber. Penyelidikan Yusuf membawa lelaki itu kepada Iman El-Badri yang masih hidup dan sudah berusia 100 tahun lebih. Melalui buku milik Pinsker, Khalifa berhasil menemukan bekas pertambangan di masa Mesir Kuno yang disebut “Labirin Osiris”.

Sementara itu, ada organisasi anti-kapitalis bernama Nemesis yang hendak mengungkap borok perusahaan multinasional pimpinan Nathaniel Barren, Barren Corporation. Keberadaan Nemesis diketahui Ben-Roi sesudah ia tanpa sengaja bertemu dengan para anggotanya saat melakukan penyelidikan.

Khalifa melaporkan penyelidikannya kepada Ben-Roi mengenai keterkaitan Labirin Osiris dan Barren Corporation, sedangkan Ben-Roi sendiri menemukan benang merah antara pembunuhan Rivka, perdagangan manusia, dan Labirin Osiris. Namun, di tengah-tengah pembicaraan keduanya, salah seorang anggota Nemesis Agenda berhasil menyadap jaringan komunikasi milik Ben-Roi, lalu memerintahkan Khalifa untuk pergi bersama mereka menghadang Barren Corporation. Didorong rasa balas dendam atas kematian anaknya, Khalifa memutuskan mengikuti perintah Nemesis Agenda meski sudah dicegah Ben-Roi. Menyadari bahaya yang akan menimpa Khalifa, Ben-Roi pun menyusul ke Mesir.

***

Saya memutuskan membaca novel ini karena sebelumnya sudah membaca beberapa nonfiksi. Sayangnya, sewaktu memutuskan membaca novel Paul Sussman ini, saya memilih secara random Labirin Osiris di antara dua judul (satunya, The Last Secret of the Temple) yang ternyata menjadi pamungkas dari trilogi novel Paul Sussman yang meninggal tahun 2012 lalu.

Seharusnya saya membaca The Last Secret of the Temple terlebih dahulu. Pantas saja, saya sempat bingung saat membaca novel ini, terutama terkait hubungan Khalifa dan Ben-Roi. Untung saja, kebingungan saya tidak berlama-lama, karena ada sedikit penjelasan mengenai sejarah pertemanan mereka berdua.

Sejak awal membaca novel ini, saya sempat dibuat bingung dengan beberapa peristiwa yang disajikan di awal hingga bertanya-tanya hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Seperti novel terdahulu yang saya baca, Misteri Pasukan Cambyses, saya baru mendapatkan penjelasan secara gamblang keterkaitan antarperistiwa setelah membaca 200 lebih halaman. Melelahkan. Selama itu pula, pembaca akan diajak menyaksikan penyelidikan Ben-Roi dan Khalifa.

Saat bersama Ben-Roi, pembaca akan diajak berkeliling mengunjungi wilayah-wilayah Israel termasuk kawasan merah di Tel Aviv, Neve Sha’nan. Saking lamanya untuk tahu benang merah antarperistiwa, saya tidak sabar lalu meloncati beberapa halaman walau nantinya saya baca lagi.

Dibandingkan Misteri Pasukan Cambyses, entahlah, saya merasa keberadaan Labirin Osiris ini hanya sebagai pelengkap saja. Ketika saya mencoba googling mengenai hal ini, saya tidak menemukan artikel yang membahas Labirin Osiris lebih lanjut. Namun, seandainya ditanya bagaimana “rasa” thriller dari novel ini, saya merasa Labirin Osiris lebih mantul ketimbang Misteri Pasukan Cambyses. Saya jadi membayangkan seandainya novel ini dibuat film, mungkin lebih mengasyikkan.

Terkait isi cerita sendiri, bagi saya, Paul Sussman sukses menjalin kisah yang cukup menegangkan serta menghubungkan antarperistiwa hingga bermuara ke satu hal yang besar. Jangan lupakan juga kejutan di novel ini yang bisa jadi tak disangka-sangka, termasuk oleh saya sendiri.

Secara umum, Labirin Osiris masih bisa dinikmati isinya meski muatan sejarahnya tak banyak. Bagi yang suka thrillers, rasa-rasanya wajib baca novel ini.

Keterangan Buku

Judul : Labirin Osiris
Judul asli : The Labyrinth of Osiris
Penulis : Paul Sussman
Penerjemah : Adi Toha
Penerbit : PT Pustaka Alvabet
Tahun : 2018
Tebal : 640 halaman
ISBN : 978-602-6577-34-4

TOPIK:
  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *