Resensi Buku “Westerling, Aksi Brutal Sang Jagal”

  • Dewi Sartika
22 September 2025 - 16:14 WIB 0 Comments 67
Sampul Westerling, Aksi Brutal Tukang Jagal
Sampul Westerling, Aksi Brutal Tukang Jagal

Ukuran Font
Kecil Besar

Sewaktu masih bersekolah ketika pelajaran sejarah, saya sempat bertanya-tanya. Mengapa Westerling menamakan kelompok militernya dengan nama Angkatan Perang Ratu Adil? Sebuah nama yang lekat dengan Jawa. Saya sendiri mengingat ‘Ratu Adil’ identik dengan Jayabaya. Padahal, ia sendiri orang Belanda. Apakah Westerling terinspirasi dari Jayabaya? Dan, melalui buku inilah akhirnya saya menemukan jawabannya.

“… Menurut Westerling, nama ini dipakai setelah seorang pribumi membawakannya buku Ramalan jayabaya. Dalam karya yang ditulis pada abad ke-12 itu terdapat kalimat: “… Dan kemudian akan datang Ratu Adil, Pangeran Keadilan, yang akan lahir di Turki.”

Westerling lahir di Turki tepatnya di Istanbul pada 31 Agustus 1919 dari pasangan Paul Westerling dan Sophia Moutzou. Semasa kecil, Westerling suka memelihara ular dan kadal serta sudah menunjukkan ketertarikan terhadap cerita-cerita detektif. Di usia 7 tahun, ia bahkan sudah pandai menembak. Tak hanya ketangkasan fisik, Westerling juga menguasai beberapa bahasa.

Kisah percintaan Westerling juga cukup menarik. Sebagaimana dalam memoarnya, ia pernah menjalin hubungan dengan perempuan Turki. Saat bertugas di Kairo, ia jatuh cinta kepada gadis Mesir yang hendak dinikahinya, tetapi batal pada H-1 karena penugasan. Westeling  kemudian menikah dengan Yvonne Fournier (Indo-Prancis) yang telah memiliki 2 anak dari pernikahan sebelumnya. Dari pernikahan ini, Westerling mempunyai putri bernama Cecilia yang lahir pada 1948.

Sayaangnya, ketidakstabilan ekonomi serta ketergantungan Westerling terhadap alkohol membuat pernikahannya kandas. Westerling lalu menikah dengan Adriana Martina Vleech Dubois di tahun 1972. Untuk menopang perekonomian keluarganya, ia membuka toko buku bekas yang tidak terlalu laku.

Sementara itu, petualangan militer Westerling di Indonesia dimulai di Kota Medan usai berakhirnya Perang Dunia II. Westerling bersama pasukannya bertugas “membuka jalan” bagi pendaratan pasukan sekutu dan melucuti bala tentara Jepang serta mengambil alih wilayah yang dikuasai Jepang. Medan menjadi penugasan militer pertama Westerling. Di Medan, ia melakukan kegiatan kontraspionase dan memburu orang-orang yang dicurigai sebagai pejuang republik. Dalam menjalankan tugasnya, Westerling tak segan menggorok leher gerilyawan hingga putus yang berhasil ia tangkap.

Aksi brutal lelaki yang dijuluki Si Tukang Jagal ini berlanjut ke Sulawesi Selatan sewaktu ia dan pasukannya ditugaskan untuk mempertahankan wilayah ini agar tidak jatuh ke tangan kaum Republik pasca Perundingan Linggarjati. Di sinilah petualangan teror Westerling bersama pasukannya, Depot Sepeciale Troepen (DST) dimulai. Aksi brutal Westerling makin menjadi-jadi. Demi memburu para gerilyawan, Westerling tak segan membantai penduduk desa yang tak bisa diajak bekerja sama. Diperkirakan total korban kekejian Westerling berjumlah 40 ribu jiwa (versi terbanyak) sementara George McTurnan Kahin  (sejarawan) menyebut antara 11.000  warga sipil menjadi korban. Peristiwa kelam ini akhirnya tercium pers internasional sehingga membuat DST angkat kaki dari Sulawesi pada 1947.

Selesai bertugas di Sulawesi, Westerling memasuki masa pensiun dan menjalani kehidupan sebagai warga sipil dengan membuka usaha transportasi hasil pertanian. Bisnis Westerling ini terbilang sukses berkat koneksi serta nama besar yang dimilikinya membuat para bandik tak berani menganggu truk-truk milik Westerling. Namun, status sebagai warga sipil yang disandang Westerling tak berlangsung lama karena ia kembali mendapat panggilan untuk menggoyang pemerintahan Soekarno yang disibukkan dengan pemberontakan PKI Madiun.

Sesudah mendapat persetujuan tak langsung dari mantan atasannya, Jenderal Spoor, Westerling membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dan menjalin aliansi rahasia dengan tokoh-tokoh pro-federasi seperti Sultan Hamid II. Tujuan pendirian APRA sendiri untuk mempertahankan negara federal  dan menuntut tentara sendiri negara-negara bagian RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya, pada 23 Januari 1950, pasukan APRA melakukan penyerbuan ke Bandung dalam rangka melakukan kudeta sebelum berlanjut ke Jakarta. Peristiwa ini mengakibatkan lebih dari 70 orang terbunuh termasuk sejumlah perwira TNI.

Selesai melakukan aksi di Bandung, Westerling kemudian menerima tugas baru dari Sultan Hamid; menyerang sidang Dewan Menteri RIS dalam upaya mengkudeta pemerintahn RIS. Namun, upaya ini gagal karena sidang telah selesai (lebih cepat dari jadwal). Di kemudian hari, diketahui mengenai keterlibatan suami Ratu Juliana, Pangeran Bernhard. Ditengarai, munculnya nama Pangeran Bernhard tak lepas dari motif ekonomi (penyelundupan senjata) dan politik

Upaya kudeta mengalami kegagalan. Hal ini membuat Sultan Hamid ditangkap sementara Westerling berhasil kabur ke Singapura dengan pesawat Catalina milik Al Belanda. Ia sempat tinggal di Belgia setelah pemerintah Belanda menolaknya meski pada akhirnya dideportasi ke negara asal tersebut sekitar tahun 1952.

Tak seperti penjahat perang lainnya, Westerling tak pernah ditangkap apalagi diadili. Meskipun sempat dielu-elukan masyarakat Belanda, tetapi masa senja Westerling amat menyedihkan. Ia menghadapi kesulitan ekonomi  ditambah lagi dengan kegagalan-kegagalan yang dialaminya sepertinya dibubarnya KNIL, kandasnya idealisme menjadikan Indonesia sebagai negara federal dan sederet hal lain.

Namun, yang paling penting dari kisah Westerling, ia tetap tak merasa bersalah atas segala tindak kejahatan perang yang telah ia lakukan di masa lampau. Dalam sebuah wawancara, lelaki yang meninggal dunia pada 1987 itu memang mengaku bertanggung jawab atas  pembantaian di Sulawesi.

“Saya bertanggung jawab pada perbuataan saya, tapi orang harus dapat membedakan antara kejahatan perang dan langkah tegas, konsekuen, serta adil dalam keadaan yang sangat sulit,” kata Westerling. “Sadisme yang tersembunyi dalam diri orang lebih cepat mekar dalam keadaan perang ketimbang dalam situasi normal,” katanya menambahkan.

Hal menarik lainnya dari buku ini adalah minat Westerling terhadap dunia seni. Ini mengingatkan saya akan sosok tukang jagal lainnya, Adolf Hitler. Sebelum mencapai kejayaan sebagai pemimpin Nazi Jerman, Hitler pernah menjadi pelukis amatir dengan menghasilkan sejumlah lukisan. Begitu pula dengan Westerling yang mencoba peruntungan sebagai pemain opera sesudah berhasil melarikan diri dari Indonesia. Senasib dengan Hitler, karier Westerling sebagai pemain opera tak pernah sukses usai para kritikus mengkritik nyanyiannya dan aktingnya yang datar.

Keterangan Buku

Judul                     : Westerling, Aksi Brutal Tukang Jagal

Penulis                 : Tim Historia

Penerbit              : Penerbit Buku Kompas

Tahun                   : 2019

Tebal                     : 182 halaman

ISBN                      : 978-602-412-661-2

TOPIK:

  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *