Langit kemerahan mewarnai Kota Balugashi, semerah wajah Baginda Ratu yang menahan amarah kepada Putra Mahkota. Sebab di atas singgasana, sebuah hukuman mati telah Baginda putuskan untuk pewaris takhtanya sendiri. Saya tahu persis, ketika pedang keadilan telah terangkat, maka pantang bagi Baginda Ratu untuk mencabutnya kembali.
Saya nelangsa melihat Putra Mahkota yang pucat pasi. Ia tertunduk lemas tidak berdaya, apalagi untuk merengek belas kasihan kepada Baginda Ratu, sungguh ia tidak memiliki nyali meski sedikit saja. Keputusan Baginda saat itu adalah bagian dari sejarah emas yang tercatat sepanjang kepemimpinan Baginda Ratu di Pantai Utara Jawa. Setelah hari itu, saya melihat mendung menggelayuti wajah Baginda Ratu.
Saya menduga pasti terkait dengan keputusan hukuman mati yang Baginda telah putuskan untuk Putra Mahkota. Saya mengabdi kepada Baginda Ratu telah lama. Sehingga bahagia dan duka Baginda Ratu, saya pun ikut merasakannya. Ada rasa pedih dan sesak yang juga menjalari dada saya.
Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah keputusan Baginda menjatuhkan hukuman mati kepada Pangeran sudah tidak bisa ditawar lagi? Padahal dari kabar yang saya dengar, kesalahan Pangeran hanyalah sebuah kesalahan ringan. Pangeran tanpa sengaja tersandung sekantung emas yang tidak diketahui asal-usulnya. Kantung emas itu tergeletak di perbatasan Kota Balugashi.
Kemarin pagi, ketika saya tengah menyeduh rimpang di kamar Baginda, tanpa sengaja pandangan ini melihat keadaan Baginda yang berbeda dari biasanya. Bukan karena tanpa mahkota dan rambutnya yang tergerai, tetapi ada pemandangan yang terasa lain di wajahnya. Guratan duka itu masih jelas terpancar. Matanya kehilangan cahaya.
Lantas cepat saya menundukkan wajah dan segera menyeduh rimpang pada cangkir tembikar. Setelah selesai dengan tugas itu, saya kembali mohon diri. Tiada kalimat terucap apa-apa dari Baginda Ratu. Sesungguhnya saya pun tidak mampu menahan air mata. Seandainya itu bukan seorang ratu, niscaya sudah saya peluk erat. Barangkali pelukan hangat bisa meringankan beban hatinya.
Selama saya mengabdi di kerajaan ini, sesungguhnya Baginda adalah panutan saya. Bukan hanya karena kiprahnya sebagai pemimpin, namun sebagai seorang ibu, Baginda selalu memiliki waktu khusus bersama anak-anaknya.
Semua kalimat yang keluar dari Baginda adalah perkataan mulia untuk buah hatinya. Maka tidak heran ketika terjadi prahara hari itu, Baginda seolah mendapatkan pukulan keras dari Pangeran. Baginda menganggap kesalahan Pangeran bukanlah sebuah ketidaksengajaan, tetapi kecerobohan dan kelalaian. Kedua sifat itu berbahaya bagi kesejahteraan suatu negeri.
Saya paham, kesejahteraan negeri ini bergantung kepadanya. Maka apa lagi yang akan dipegang jika seorang ratu sepertinya menodai sumpah dan janjinya sendiri?
Sejak hari pertama Baginda menduduki singgasana, tidak ada janji manis yang diberikan kepada rakyatnya. Namun saat itu, dengan pedang terhunus ke langit dan wajah terdongak tegak, Baginda Ratu bersumpah; bahwa pedang keadilanmu tidak akan tumpul sebelah. Sumpah itu menjadi getaran yang terasa hebat bagi langit, bumi, dan segala isinya.
Langkah Baginda Ratu tepat. Keadilan membawa kesejahteraan hingga kejayaan bagi negeri ini. Kekayaan negeri ini berserakan di daratan, terpendam di dalam bumi, tersimpan di lautan, dan keindahannya bertaburan di langit-langitnya. Seluruh rakyat negeri ini makmur dengan emas dan perak.
Perempuan menjadi makhluk paling gemerlap di negeri ini. Kecantikan, kemolekan, serta daya tarik sensualitas mereka masyhur dibicarakan penduduk dari berbagai penjuru negeri. Mereka perpaduan cantik, sensual, tapi berbisa. Sembarangan bercinta dengan mereka, sama saja dengan menyerahkan nyawa.
Baginda bukan hanya seorang ratu dari sebuah kerajaan, tetapi juga seorang maharani dengan dua puluh delapan kerajaan taklukan yang juga Baginda sejahterakan. Gaung keadilan membahana di seluruh penjuru negeri. Tidak peduli itu sanak atau keluarga, hukum akan ia tegakkan. Meski hari ini, ia diuji dengan sumpahnya sendiri.
Padahal, saya mendengar kabar bahwa putusan hukuman mati untuk Pangeran mendapatkan banyak protes dari Dewan Menteri. Mereka meminta keringanan dari kesalahan Pangeran. Kemudian atas desakan Dewan Menteri, Baginda akhirnya bersedia meringankan hukuman mati menjadi hukum potong kaki. Tetapi rupanya masih saja ada pejabat kerajaan yang bersaksi bahwa hanya ibu jari Pangeran saja yang terkena kantung emas itu. Ia memohon agar Baginda sudi untuk meringankan menjadi potong ibu jari saja.
Akhirnya, permohonan Dewan Menteri dikabulkan oleh Baginda. Tetapi hukuman itu sudah tidak dapat diringankan lagi. Itulah hukuman seringan-ringannya untuk Putra Mahkota. Setidaknya saya lega, kehilangan jari kaki, masih lebih baik ketimbang kehilangan sebelah kaki atau bahkan nyawa.
Syahdan, begitulah keadilan berbicara di negeri ini. Hari-hari selanjutnya, nama Ratu Shima semakin masyhur di seluruh penjuru negeri hingga ke negeri nun jauh di sana.
Tetapi muncul keresahan di kepala saya. Akankah keadilan yang Baginda Ratu telah tancapkan tetap tegak hingga zaman berganti? Seketika saya teringat firasat Baginda Ratu yang pernah ia katakan kepada saya. Bahwa kelak kabut pekat akan menyelimuti keadilan di sebuah zaman yang kekayaannya berserakan di mana-mana. []
Sleman, Mei 2025
Lulusan Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Menulis novel Elang dan Bidadari (Republika, 2012), Beo Zelga (Prudencia, 2020), Splash Love in Seoul (Prudencia, 2021), Joko Klobot dan Nyi Kemretek (NAD Publishing, 2023). Kegiatan saat ini adalah aktif menulis di komunitas Nulis Aja Dulu, Terus Saja Tulis, dan Opinia. Penulis bisa dihubungi di Facebook: Puput Sekar, IG: @puputsekar_putse, dan email: puputsekarkustanti@gmail.com.
Leave a Reply