Bu Suri memarkir gerobaknya di bawah pohon glodokan tiang, di antara deretan pohon sejenis yang berdiri di sepanjang tepi jalan kecamatan. Bersama dua bocah perempuannya, Bu Suri duduk di trotoar, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan lengket-basah. Sinar matahari pukul sebelas siang menyuntik tengkuknya dari celah-celah dedaunan. Disekanya butiran keringat di jidatnya yang mengerut kehitaman. Sementara dua buah hatinya mengipas-ngipas wajah dengan sobekan kardus. Pakaian mereka lebih terlihat seperti serbet. Dari jarak satu meter orang pasti bisa mencium baunya yang angit.
Kendaraan berseliweran. Rata-rata berkecepatan tinggi. Bunyi knalpot dan klakson bersekongkol memekakkan telinga. Asap dan debu bergumul di udara. “Sabar dulu, ya, Nduk. Nanti kita makan di warung langganan,” rayu Bu Suri kepada dua anaknya. Bocah yang masing-masing berusia lima dan tujuh tahun itu mengangguk letih, nyaris bersamaan. Bibir mereka merekah. Bu Suri pun tersenyum sembari mengelus-elus rambut ikal si bungsu.
Biasanya mereka makan siang bersama di bawah pohon itu. Sudah lama sekali mereka tidak beli nasi di warung langganan yang Bu Suri maksud. Tepatnya sejak mereka tahu bahwa ada lemari etalase mini di jalan Gedong Kuning, di depan ruko yang pintu harmonikanya ditempeli spanduk “DIKONTRAKKAN” beserta nomor telepon pemilik ruko. Di etalase berukuran 1,7 × 1 meter itu tertulis: Nasi Gratis. Siapa pun Boleh Mengambil. Siapa pun Boleh Mengisi.
Di situlah Bu Suri biasa mengambil tiga bungkus nasi dengan lauk berbeda tiap hari. Kadang kala ia mengambil enam bungkus sekaligus saat diperkirakan tidak ada orang yang memperhatikan perbuatannya. Kemudian ia makan dengan lahap bersama dua anaknya, di tempat yang sama, di trotoar bawah pohon yang kini mereka duduki. Namun, sekarang adalah hari sial bagi mereka. Etalase nasi gratis itu kosong ketika mereka tiba di sana. Bukan karena malaikat tidak mengisinya, melainkan puluhan nasi kotak yang tersedia hari ini tampak istimewa sehingga orang-orang segera berebutan mengambilnya.
Bu Suri kecewa. Hatinya dongkol. Terbayang wajah seorang pegawai SPBU yang kerap berpapasan dengannya di tempat etalase nasi gratis. Lelaki kurus berseragam merah itu selalu mengambil nasi bungkus dalam jumlah banyak. Mungkin sekitar tujuh sampai sepuluh bungkus. Lalu dimasukkannya makanan gratis itu ke dalam kantong plastik 10 literan yang sengaja ia bawa dari tempat kerjanya. Begitu terus-menerus saban hari. Wajar belaka kalau Bu Suri tampak risih pada lelaki tersebut. Bu Suri beranggapan, gara-gara lelaki itulah Bu Suri dan dua anaknya tidak kebagian jatah nasi gratis hari ini.
Barangkali karena pengaruh rasa laparnya, dada Bu Suri menggelegak. Ia benar-benar kesal. Dalam benaknya ia bertanya-tanya, kenapa orang-orang yang kebutuhan hidupnya sudah cukup terpenuhi, atau mereka yang sudah memiliki pekerjaan mapan, masih berambisi mengusik hak orang miskin? Seperti pegawai SPBU itu, pikirnya. Memang, jelas-jelas ada tulisan Siapa pun Boleh Mengambil di etalase mini itu. Bu Suri tidak buta huruf dan karenanya ia paham. Tapi tetap saja ia tidak terima jika ada orang berpenampilan bagus dan rapi ikut-ikutan berebut nasi gratis.
Ternyata orang kota tidak jauh beda dengan orang kampung, gumam Bu Suri. Di kampung Bu Suri di Jawa Timur—di mana dulu ia bekerja sebagai buruh tani—para tetangganya selalu mengoceh setiap kali ada bansos, sedangkan mereka tidak terdata sebagai penerima. Padahal, nyatanya, mereka tergolong masyarakat menengah ke atas.
“Ayo, Bu. Aku lapar sekali,” si bungsu merengek. Mukanya meringis dan tangannya menekan perut.
“Iya, iya. Sebentar lagi, ya,” tanggap Bu Suri, lembut. Suaranya tertindih keriuhan gaung mesin.
Sorot mata Bu Suri menunjukkan rasa prihatin yang mendalam. Batinnya teriris mendengar keluhan si bungsu. Sebenarnya bisa saja ia lekas bangkit menuju warung makan yang ia sebut warung langganan, tetapi ia masih menunggu uluran tangan Tuhan. Biasanya, ada mobil mewah menepi dan berhenti di dekat Bu Suri, meski tidak setiap hari. Tatkala kaca samping mobil terbuka, biasanya penumpang mobil mengulurkan bantuan kepada Bu Suri. Kadang berupa makanan, kadang juga berupa uang.
Seolah melakukan perjanjian dengan Tuhan, tiap hari Bu Suri memang tak pernah lupa untuk istirahat di bawah pohon glodokan tiang itu. Di titik yang sama. Menunggu rezeki tiba dengan sendirinya. Jika rezeki itu tidak datang, hati Bu Suri bakal merutuk. Tak segan-segan ia membatin, Allah tidak adil. Ia memang suka marah-marah tak jelas. Terlebih saat ia mendapati seseorang memberikan uang kepada pengemis. Itu pemandangan yang amat dibencinya. Maka ia langsung naik pitam dan mengumpat tanpa sasaran.
Menulis puisi dan prosa. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah ini bergiat di Komunitas Damar Korong dan Malate Artspace. Kini bermukim di tanah kelahirannya, Sumenep, Madura. Bisa disapa di Instagram: @daviatul.umam.
Leave a Reply