Jalan yang membentang di depan rumah kami (Desa Sedayulawas) sebagaimana layaknya jalan pada umumnya. Seiring waktu, ukuran jalan makin melebar. Maklum saja, jalan ini menjadi rute alternatif Pantura selain melewati Kota Lamongan.
Di masa kecil, di jalan ini pula, saya pernah nyaris tertabrak. Beberapa tahun kemudian, anak pertama saya saat berusia dua tahun hampir mengalami hal serupa. Ketika magrib, rupanya ia diam-diam keluar rumah tanpa sepengetahuan kami karena hendak mengikuti kakeknya. Ya, posisi anak saya sudah di tengah jalan. Untung saja, saat itu truk berjalan lambat. Tak ayal, ayah saya pun kena omel Ibu.
Tak ada yang istimewa dari jalan ini. Setidaknya itu dulu, beberapa tahun sebelum saya beranjak dewasa. Ibu pernah bilang, jalan ini dulunya dibangun dengan mengorbankan banyak nyawa. Orang-orang yang meninggal dikuburkan langsung di tepi jalan ini. Itu saja yang dikatakan Ibu. Gara-gara itu, tiap kali mau menyeberang jalan ini, saya menyempatkan berdoa dulu.
Baru saya ketahui di kemudian hari bahwa jalan di depan rumah kami ini merupakan Jalan Daendels yang legendaris. Jalan ini membentang mulai dari Anyer hingga Panarukan dengan panjang 1.000 kilometer. Sesuai namanya, pembangunan jalan yang dikenal dengan nama lain, Jalan Raya Pos ini dicetuskan Herman Willem Daendels.
Lahir pada 21 Oktober 1762 di Hattem (Belanda), Daendels memulai karier sebagai pengacara di kota kelahirannya sebelum ambil bagian dalam pemberontakan melawan Pangeran Willem V di tahun 1786. Ia sempat melarikan diri ke Prancis serta menjadi saksi Revolusi Prancis. Usai Kaum Patriot (oposisi Raja Willem V) dibantu pasukan Prancis berhasil menguasai sebagian wilayah penting di Belanda yang kemudian membentuk Republik Bataf, Daendels ikut serta mengurus penyusunan Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama.
Usai Napoleon Bonaparte mengubah sistem pemerintahan Belanda dari republik menjadi kerajaan, ia lalu mengangkat adik kandungnya, Louis (Lodewijk) Bonaparte menjadi Raja Belanda. Pada 1807, atas saran Napoleon, Louis Bonaparte kemudian mengirim Daendels ke Hindia Belanda sebagai gubernur jenderal. Salah satu tugasnya, mempertahankan kekuasaan Prancis di Jawa dari Inggris.
Pada awal 1808, kapal yang ditumpangi Daendels tiba di Anyer sesudah berhasil melalui blokade Inggris di lautan. Ia datang dengan semangat nilai-nilai Revolusi Prancis. Meskipun demikian, nyatanya masa kekuasaannya dilakukan dengan tangan besi. Salah satu kebijakannya paling menonjol adalah pembangunan Jalan Raya Pos. Gagasan mengenai pembuatan jalan ini bermula saat Daendels melakukan perjalanan darat dari Bogor ke Semarang kemudian Oosthoek (Jawa Timur).
Alasan pembangunan jalan ini sendiri dimaksudkan untuk mempermudah mobilisasi tentara seandainya Inggris menyerang. Namun, alasan utamanya lebih kepada kepentingan ekonomi. Dengan adanya jalan ini, akan membantu penduduk untuk mengangkut hasil pertanian ke gudang pemerintahan atau pelabuhan. Selain itu, adanya Jalan Raya Pos ini juga untuk mempersingkat waktu pengiriman surat-surat maupun dokumen.
Jalan Raya Pos berawal dari Anyer sebagai titik nol, kemudian melewati Banten, Tangerang, Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara), Buitenzorg (Bogor), Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Kendal, Semarang, Demak, Rembang, Lasem, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Panarukan yang menjadi titik akhir. Alasan dipilihnya Panarukan sebagai titik akhir dan bukan Banyuwangi karena Panarukan lebih menjanjikan secara ekonomi (lumbung gula di Besuki), sementara Banyuwangi tidak berpotensi sebagai pelabuhan ekspor.
Demi mewujudkan proyek mercusuar ini, Daendels mengumpulkan para bupati dari seluruh Pulau Jawa pada 5 Mei 1808. Ia melibatkan penguasa lokal agar menyediakan tenaga kerja untuk pembangunan Jalan Raya Pos. Para pekerja ini dibayar sesuai dengan beratnya lokasi yang dikerjakan. Tak hanya upah, para pekerja juga mendapatkan beras dan garam. Untuk pengerjaan, tenaga kerja juga didatangkan dari luar daerah.
Daendels sendiri sebenarnya tidak benar-benar membangun Jalan Raya Pos ini dari nol. Ada juga jalan-jalan yang sudah ada sebelum Daendels datang seperti ruas Demak-Kudus yang telah ada sejak abad 15-16an semasa penyebaran Islam. Sementara di Anyer, Daendels memperbaiki jalan lama sehingga perjalanan Anyer-Batavia yang semula ditempuh empat hari kemudian menjadi sehari. Begitu pula dari Rembang ke arah Timur menuju Gresik, Daendels memberi perintah pelebaran dan pengerasan jalan.
De Groote Postweg, nama lain Jalan Raya Pos yang dimulai warsa 1808 selesai di tahun 1809. Daendels yang juga dijuluki Tuan Besar Guntur ini lalu mengeluarkan tiga peraturan. Pertama mengenai pemanfaatan jalan raya, penginapan, dan segala hal yang berhubungan dengan kereta pos serta dinas pos. Kedua, penyempurnaan jalan dan pengaturan tenaga pengangkut pos beserta gerobaknya. Terakhir, pemakaian pedati baik untuk pengangkutan barang milik pemerintah dan swasta.
Durasi waktu pembuatan Jalan Raya Pos yang terbilang spektakuler karena hanya membutuhkan waktu setahun ini ternyata meminta “tumbal” dengan jumlah kematian para pekerja yang sangat banyak. Berdasarkan dari sumber Inggris yang dipublikasikan beberapa tahun setelah kejadian, ada sekitar 12.000 tenaga kerja yang meninggal karena kelelahan, kelaparan atau terkena malaria. Mereka kemudian dikubur di sepanjang Jalan Raya Pos.
Banyak korban dalam pembangunan Jalan Raya Pos membuat Pramoedya Ananta Toer menyebut peristiwa ini sebagai salah satu genosida dalam sejarah kolonialisme di negeri ini, di samping peristiwa pembantaian orang-orang Banda pada 1621 dan pembunuhan yang dilakukan pasukan Westerling di Sulawesi Selatan di tahun 1947.
Kini, setiap kali saya melintas di jalan itu, ada yang bergetar dalam hati. Jalan ini bukan sekadar aspal dan debu. Ia menyimpan jejak sejarah, keringat, bahkan darah ribuan orang yang tak sempat dikenal. Bagi saya, Jalan Daendels bukan hanya infrastruktur kolonial. Ia adalah nisan panjang yang membentang dari Anyer hingga Panarukan—melewati rumah kami di Sedayulawas.
Sumber Referensi
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply