Bus Ijo dalam Kenangan

  • Dewi Sartika
30 Juni 2025 - 06:40 WIB 0 Comments 26
Bus Ijo jurusan Surabaya-Paciran di Terminal Osowilangun. (Sumber: Channel Youtube Masiza [Izaz Farras Swastana])
Bus Ijo jurusan Surabaya-Paciran di Terminal Osowilangun. (Sumber: Channel Youtube Masiza [Izaz Farras Swastana])

Ukuran Font
Kecil Besar

Menjelang Lebaran, H-1, suami saya tiba di desa. Sudah menjadi tradisi, untuk Idul Fitri, kami sekeluarga merayakannya di Lamongan, kampung halaman saya. Untuk tahun ini, saya bersama anak-anak mudik duluan, sementara suami menyusul. Masih banyak pekerjaan, alasannya.

Mengingat harga travel yang naik ketika musim mudik, saya memutuskan menggunakan bus yang membuat si sulung protes. Selain alasan harga, saya memang tak ingin membiasakannya selalu mendapatkan kenyamanan dan berusaha melatihnya untuk “bersusah-susah” juga. Salah satunya dengan menaiki bus.

Kembali ke suami. Setibanya di rumah, ia dengan antusias bercerita mengenai perjalanannya ke Lamongan.

“Tadi aku naik trans. Murah banget, cuma bayar lima ribu dari Terminal Bungurasih sampai Paciran. Di Terminal Bunder sudah nggak bayar lagi. Pokoknya selama kita naik dari Bungur ke Bunder, terus Bunder ke Paciran, jarak waktunya nggak lebih dari dua jam, kita bisa pakai karcis terusan,” terangnya.

Saya mengangguk-angguk saja karena memang baru tahu. Kemudian, ia juga bercerita kalau perjalanannya termasuk cepat karena tidak sering berhenti di halte, mengingat puncak arus mudik sudah lewat.

“Enak wis kalau ke sini, naik trans saja. Murah meriah.” Ia melanjutkan cerita dengan wajah semringah. Saya mengiyakan saja dengan sedikit rasa iri. Maklum saja, harapan untuk mengajak anak-anak naik trans dua kali pupus karena harus berdesak-desakan dan menunggu lama. Belum lagi, barang bawaan kami yang lumayan banyak membuat saya khawatir dengan kondisi mereka berdua. Setidaknya, kami bertiga sudah dua kali gagal menaiki trans ketika musim libur sekolah.

“Eh, bus ijo masih ada nggak, ya?” tanya saya secara spontan.

“Nggak kelihatan tuh, sepanjang aku naik trans.”

Seketika, gambaran tentang bus dengan kapasitas sekitar tiga puluh kursi itu mengisi benak saya. Bus ijo (hijau), begitulah biasanya orang-orang menyebutnya, karena memang warnanya dominan hijau. Meskipun ada tulisan “Armada” di badan bus, tetapi lebih sering disebut bus ijo. Dahulu, bus ini menjadi transportasi andalan orang-orang pesisir yang berada di Lamongan dan Gresik pergi ke Surabaya.

Bus ini sendiri, seingat saya, sudah ada sejak saya SMP, antara tahun 1997 dan 1998. Saya masih ingat saat pertama kali menaikinya. Tahun 1999, sewaktu hendak pergi ke Malang untuk melanjutkan SMU di kota tersebut, saya bersama ibu naik bus ijo di Tanjung Kodok yang menjadi tempat pemberangkatan menuju Surabaya. Tentu saja, jangan dibayangkan Tanjung Kodok seindah seperti sekarang. Ketika itu, tempat ini masih belum menjadi resor dan tempat wisata yang apa adanya. Tiket Paciran-Surabaya hanya Rp1.700 saat itu.

Selama di Malang untuk menempuh pendidikan terutama saat kuliah, bus ijo pun menjadi transportasi andalan, baik saat pulang kampung maupun balik. Dari Malang naik bus jurusan Surabaya (Bungurasih) dilanjutkan dengan bus kota Damri arah Osowilangun, kemudian baru naik bus ijo jurusan Paciran yang melewati beberapa wilayah di Gresik.

Kendati banyak kerabat yang bilang, pulang naik bus ijo, perjalanan lebih lama dan muter dibanding kalau naik bus jurusan Semarang lewat Lamongan dan Tuban, tetapi saya lebih suka naik bus ijo.

Sebenarnya nggak hanya perjalanan lebih lama, salah satu ciri khas bus ini yang bisa jadi membuat banyak orang sebal termasuk saya adalah suka ngetem. Ngetem-nya pun tak tanggung-tanggung. Hal ini pula yang suka dikeluhkan suami sehingga ia lebih memilih melewati Tuban.

Pernah saya mengalami, bus ijo yang saya tumpangi ngetem satu jam-an. Namun, dengan segala kekurangannya tersebut, saya masih setia memakainya, setidaknya hingga anak pertama saya mulai gede.

Kenangan lain tentang bus ijo yang paling membekas ini, tak lain tak bukan saat saya harus menginap di Terminal Osowilangun gara-gara jam berangkat bus ijo telah lewat.

Ceritanya, di tahun 2009 silam, saya pernah memaksakan diri berangkat dari Malang sore hari (sekitar pukul lima) untuk bisa merayakan Idul Adha di kampung. Sampai di terminal sekitar pukul tujuh malam, padahal bus ijo paling akhir berangkat jam enam. Saat itu, saya ogah menaiki bus Semarang yang melewati Tuban.

Mau tak mau, saya pun akhirnya melewatkan malam di terminal dengan tidur di mushala. Untung saja, saya tidak sendiri. Esok hari, meski Idul Adha, masih ada bus ijo di terminal. Saya masih ingat, kira-kira pukul enam pagi berangkat, kemudian tiba di Paciran pukul delapan.

Semenjak punya anak kedua dan anak saya ini mulai tumbuh, saya hampir tidak pernah lagi naik bus ijo, mengingat kursi bus ini hanya memiliki dua tempat sementara anak pertama tidak mau duduknya terpisah dengan saya. Belum lagi, ukuran kursinya juga termasuk kecil seandainya harus ada yang dipangku.

Yang jelas, saya tak tahu persis, bagaimana nasib bus ini sejak trans jatim jurusan Gresik-Paciran beroperasi. Bisa jadi memang trayek yang diambil bus ijo ini sudah mati mengingat harga karcis antar keduanya beda jauh. Dengan naik bus trans, cukup bayar Rp10 ribu dengan rute Surabaya-Paciran, sementara dengan trayek yang sama, harga karcis bus ijo mencapai Rp25 ribu.

TOPIK:
  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *