Mangrove Center Sedayulawas (MCS), Nasibmu Kini …

  • Dewi Sartika
11 September 2025 - 16:58 WIB 0 Comments 103
Sokib sedang menyiram bibit tanaman bakau. (Foto: Sokib)
Sokib sedang menyiram bibit tanaman bakau. (Foto: Sokib)

Ukuran Font
Kecil Besar

Awal September lalu, saya pulang kampung. Kesempatan libur Maulud Nabi, saya manfaatkan untuk menjenguk tante yang terkena stroke. Mulanya, saya merencanakan balik ke Malang pada Hari Minggu. Namun, karena suatu hal, rencana tersebut mundur lalu baru bisa terlaksana Hari Senin. Seperti yang sudah-sudah, tiap kali pulang ke kampung saya manfaatkan untuk mencari bahan tulisan. Kali ini saya hendak menemui seorang teman semasa SD dulu.

Saya mengirim pesan WA ke Sokib bermaksud mengajaknya bertemu. Bisa dibilang Sokib ini seorang pegiat lingkungan hidup. Ia pegiat tanaman bakau di desa kami, Sedayulawas. Sebenarnya sudah-jauh hari saya tertarik untuk menulis tentang kegiatannya. Hanya saja, kesempatan itu baru datang akhir-akhir ini. Kami pun janjian ketemuan jam 10 pagi keesokan hari. Semula, si bungsu ngotot ikut. Saya lalu ‘menyogoknya’ dengan membelikannya jajan. Jalan terakhir yang terpaksa saya lakukan  karena seandainya dia ikut, saya tidak bisa mewawancarainya narasumber dengan maksimal seperti yang sudah-sudah.

Saya meminta Sokib mengirim sherlok, tempat kami bertemu. Usai menerima posisi Sokib, saya bergegas menuju ke sana. Ternyata tak jauh dari rumah dan hanya memakan waktu satu menit saja. Saya sempat kebingungan menemukan tempatnya lalu menghubungi Sokib. Setelah memutar balik motor kemudian bergerak ke petunjuk yang Sokib berikan, tak butuh  waktu lama, saya bertemu dengannya. Rasa-rasanya inilah pertemuan pertama kami setelah 20 tahun lebih mungkin. Sokib muncul dari balik tanggul yang membentang sepanjang Kanal Bengawan Solo menuju Dusun Mencorek.

Saya mengikuti Sokib dari belakang. Saya agak terperanjat mendapati di balik tanggul ternyata ada hutan bakau mini, setidaknya itulah sebutan yang saya sematkan untuk tempat pertemuan kami. Sesudah memarkir motor saya berjalan di belakang Sokib  memasuki hutan bakau mini yang dirintisnya secara swadaya bersama teman-temannya. Resminya, tempat ini bernama Mangrove Center Sedayulawas (MCS).

Berdiri tepat di tepi Kanal Bengawan Solo, MCS hanya seluas 100 meter persegi saja. Maka, untuk mengelilingi tempat ini kira-kira hanya membutuhkan waktu tak sampai 10 menit. Saya dan Sokib berjalan menyusuri jembatan kayu di bawah naungan pepohonan. Sebenarnya tak hanya tanaman bakau saja, di hutan mini ini juga terdapat jenis tanaman lain yang tak saya ketahui namanya.

“Tempat ini buka tahun 2023. Alasan kenapa buka tempat ini karena ingin meninggalkan kenang-kenangan buat anak-anak  atau bahasanya, generasi ke depan. Selain itu, biar masyarakat sekitar juga ada pekerjaan. Tiap kali ada kegiatan tanam bakau, saya selalu mengajak kaum perempuan, anak-anak muda semisal mengisi polibag yang tiap polibagnya dihargai dua ratus Rupiah,” jelas ayah dua anak ini memulai pembicaraan.

Sokib mengaku selalu menyisihkan uang dari program kegiatan yang pernah ia ikuti untuk dibelikan bibit bakau meski aslinya sebenarnya bibit tanaman ini bisa dicari. Secara keseluruhan, untuk membangun MCS ini, ia bersama teman-temannya sudah menggelontorkan dana sekitar 30 juta Rupiah.

Sayangnya, tempat yang semula ramai menjadi tempat tujuan sejumlah komunitas di Lamongan dan sekitarnya serta menjadi tempat wisata edukasi bagi anak-anak sekolah ini tak terurus lagi. Sejauh mata memandang saat berjalan di jembatan, daun-daun berserakan di sepanjang ruas jembatan, menunggu untuk disapu. MCS ini saat ini lebih mirip rumah yang tak ditinggali lagi.

“Mulai enggak terurus itu tahun 2025, ya mulai kampanye pilkada lalu. Padahal sewaktu kampanye ada cawabup Lamongan yang datang ke sini dan menjanjikan akan memberi bantuan. Tapi sampai saat ini bantuan enggak turun-turun. Padahal saat kampanye lalu saya juga membantu. Ini yang membuat saya down. Saya sendiri sudah enggak mampu mengingat secara pribadi ada tanggungan yaitu istri dan anak yang harus dihidupi,” terangnya.

Saya mendengarkan ucapan Sokib dengan perasaan getir sembari merutuki penyakit para pejabat Indonesia dari tingkat pusat hingga terbawah yang selalu tak bisa menghargai karya anak bangsa. Yang membuat saya makin kesal, cawabup terpilih yang pernah mendatangi tempat ini adalah putra asli Sedayulawas.

Agar hutan mini bakau yang dirintisnya tetap hidup, Sokib juga telah mengajukan proposal ke sejumlah instansi terkait di Lamongan. Lagi-lagi, lelaki yang berprofesi sebagai nelayan ini harus menelan kekecewaan karena tak satu pun proposal yang ia ajukan bisa tembus. Belum lagi tidak adanya dukungan sama sekali dari perangkat Desa Sedayulawas dalam hal ini kepala desa juga membuat Sokib makin nelangsa.

“Ya, kalau kita undang, kepala desa tidak pernah datang. Padahal kalau tempat ini dikenal banyak orang, kan, nama dia juga ikut terangkat. Pengennya, kalau ada dana bikin semacam kafe di tengah-tengah ini soalnya tempatnya ini kan kecil. Kalau pengunjung datang ke sini enggak hanya lihat-lihat saja. Kalau ke sini, memang pengunjung tidak kami pungut biaya,” tutur Sokib. Telunjuknya tertuju pada tumpukan kayu atau bambu yang berada di tengah-tengah. MCS  ini bentuknya memang menyerupai lingkaran.

Kami tak lama berada di hutan bakau mini. Sebelum keluar, Saya dan Sokib berdiri di depan baliho besar berisi jenis-jenis  pohon mangrove (bakau). Saya sangat terperanjat begitu ia menjelaskan kegunaan tanaman ini. Selain sebagai penahan gelombang air laut, beberapa bagian dari tanaman bakau serta sejumlah jenis tanaman lain di hutan ini bisa diolah menjadi produk dengan nilai ekonomis.

Pembicaraan kami berdua tak berhenti di hutan bakau mini saja, Sokib lalu mengajak saya ngopi di food court yang berada tepat di sebelah hutan bakau. Sebelum pergi, saya memandangi lekat baliho yang dipasang horizontal dengan gambar kunjungan anak-anak sekolah, kaum perempuan yang sedang mengisi polibag serta sejumlah kegiatan lainnya. Ya, dulu, tempat ini pernah hidup. Bisa jadi, sekarang MCS  sedang menunggu tangan Sokib dan rekan-rekannya untuk menghidupkannya kembali meski entah kapan.

TOPIK:
  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *