Ganjuran: Tradisi Pihak Perempuan Meminang Laki-laki di Lamongan

  • Dewi Sartika
31 Juli 2025 - 12:57 WIB 0 Comments 184
Ganjuran merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Lamongan di mana, pihak perempuan melamar laki-laki
Proses lamaran di Lamongan. (Foto: Endang)

Ukuran Font
Kecil Besar

Suatu saat di tahun 2014, ibu saya datang membawa beberapa jenis kue basah ke rumah. Kue-kue tersebut ditaruh piring. Ada ketan salak, jenang, dan kue lainnya yang tak saya ingat namanya. Sudah menjadi kebiasaan, jika ada yang membawa berbagai macam kue berarti baru saja ada hajatan. Saya kemudian bertanya kepada ibu dari mana datangnya makanan yang baru saja ia bawa.

“Ini semua dari keluarganya Fina. Helmi baru saja dilamar,” jawab Ibu sambil meletakkan piring di meja. Helmi adalah adik sepupu saya yang tinggal di Sedayulawas.

Mendengar jawaban Ibu, saya sedikit tercengang. Pikiran saya melayang ke beberapa tahun silam, teringat kembali akan sebuah cerita. Dulu pernah ada yang memberitahu saya bahwa di Lamongan, bukan pihak laki-laki yang melamar perempuan, tetapi sebaliknya. Saat itu saya tidak begitu percaya  dan mengabaikannya begitu saja. Saya hanya membatin, ah, masak sih? Kok bisa perempuan yang melamar, seharusnya kan pihak laki-laki. Demikianlah pikiran saya ketika itu sembari dalam hati saya bersiteguh bahwa seandainya saya menikah kelak, saya tidak mau melamar calon suami saya.

Ganjuran. Itulah nama tradisi saat keluarga pihak perempuan melamar pihak laki-laki. Sebenarnya, saya baru mengerti nama istilah ini juga baru-baru saja sesudah mencari tahu. Yang jelas, Ganjuran menjadi tradisi unik di Lamongan. Saya tidak tahu persis apakah di daerah lain ada tradisi semacam ini juga. Unik, karena biasanya laki-laki yang melamar perempuan, di Lamongan justru sebaliknya.

Lalu, bagaimana tradisi ini bermula? Berdasarkan kisah turun-temurun, tradisi Ganjuran dimulai sewaktu Lamongan dipimpin Bupati Lamongan ketiga, Tumenggung Raden Puspakusuma yang masih mempunyai garis keturunan Kerajaan Majapahit. Raden Puspakusuma memiliki dua anak laki-laki kembar rupawan, bernama Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris. Berita ketampanan keduanya menyebar ke seluruh daerah, sehingga banyak perempuan yang berkeinginan menjadi istri  dari Raden Panji Laras ataupun Raden Panji Liris.

Paras rupawaan dua laki-laki kembar tersebut juga sampai ke telinga sepasang putri kembar bernama Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi dari Kerajaan Kediri. Keduanya lantas pergi ke Lamongan untuk meminang Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris meski adat yang berlaku saat itu seharusnya pihak laki-laki yang melamar perempuan. Dalam perjalanan dari Kediri menuju Lamongan, dua putri tersebut melintasi sebuah sungai sehingga membuat keduanya harus menyingkap gaunnya ke atas agar tidak basah.

Bersamaan dengan itu, baik Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris  yang bermaksud menjemput kedua putri itu di perbatasan Lamongan melihat kaki  sang putri yang dipenuhi bulu layaknya laki-laki. Hal ini pun membuat ilfil  dua pangeran tersebut sehingga menolak lamaran dari Kerajaan Kediri. Pada akhirnya, penolakan ini mengakibatkan terjadinya peperangan antara Lamongan dan Kediri yang berujung pada kematian Raden Panji Laras, Raden Panji Liris, Raden Puspakusuma, dan Dewi Andansari serta Dewi Andanwangi.

Kisah inilah yang kemudian melahirkan tradisi yang mengharuskan pihak perempuanlah yang harus meminang pihak laki-laki di Lamongan, kemudian masih dilestarikan hingga kini. Ganjuran hanya berlaku jika perempuan berasal dari Lamongan. Tradisi ini juga menggambarkan nilai-nilai kesetaraan serta keberanian atau keseriusan perempuan dalam menuju hubungan yang sah.

Sebagai kearifan lokal Lamongan, Ganjuran juga dipandang memiliki nilai filosofis religius yaitu menyerupai kisah Siti Khadijah yang melamar Nabi Muhammad SAW. Hal ini sesuai dengan keyakinan yang mendominasi masyarakat Lamongan, Islam. Selain itu, tradisi ini sebagai simbol penghargaan sekaligus penghormatan bagi harga diri perempuan

Ada sejumlah tahapan dalam tradisi Ganjuran. Pihak perempuan berinisiatif terlebih dahulu, dengan membuka komunikasi ke pihak laki-laki melalui perwakilan yang telah ditunjuk. Perwakilan ini lalu akan mengunjungi keluarga pihak laki-laki untuk menyampaikan lamaran. Jika lamaran diterima, perwakilan akan memberi tahu keluarga perempuan.

Setelah disepakati waktu pertemuan antara keluarga pihak laki-laki dan perempuan, kemudian diadakan pertemuan dengan tujuan melamar. Pihak keluarga perempuan membawa seserahan berupa kue-kue basah. Usai acara, kue-kue ini selanjutnya dibagi-bagi ke tetangga sekitar dengan maksud memberi tahu bahwa baru saja terjadi lamaran. Terakhir, keluarga pihak laki-laki mendatangi pihak perempuan untuk menentukan hari baik pernikahan dan hal-hal lain terkait rencana pernikahan.

Demikianlah tradisi Ganjuran Lamongan. Sebagaimana adat-istiadat tradisional lainnya di daerah lain, tradisi yang telah dijalankan turun-temurun ini juga mempunyai tantangan yang harus dihadapi seiring perkembangan zaman. Tentunya, sebagai orang yang berasal dari Lamongan, saya pribadi sangat berharap tradisi ini tetap hidup dan lestari sebagai salah satu bentuk kearifan lokal di Lamongan.

Referensi

  • Vina Tri Agustiningrum & Sukarman Sukarman, (2024), “Tradisi Ganjuran di Desa Ngambeg Kecamatan Pucuk Kabupaten Lamongan (Teori Folklor)”, Morfologi: Jurnal Ilmu Pendidikan, Bahasa, Sastra dan Budaya, 2 (5), 123-127.
  • Cintya Ratnaduhita & Edi Dwi Riyanto, (2025), Ganjuran: Refleksi Spiritualitas Masyarakat dan Identitas Budaya Lamongan, Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial dan Budaya, 8 (1), 23-24.

TOPIK:
  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *