Liburan sekolah Juli lalu, saya membawa anak-anak untuk berlibur ke kampung halaman di Lamongan. Kedua anak saya memang sangat bersemangat diajak ke rumah neneknya. Rencananya, kami hanya seminggu saja di sana. Untuk menuju ke Desa Sedayulawas tepatnya, saya memutuskan untuk naik transportasi umum meski ibu saya menyarankan untuk memesan travel saja. Bus memang menjadi andalan kami saat pulang kampung.
“Mas, pokoknya besok harus berangkat pagi. Kalau bisa, sebelum jam enam kita sudah berangkat.” Saya mewanti-wanti suami sambil memasukkan baju ke dalam tas.
Suami hanya terdiam sembari memberi kode setuju. Bagi saya, berangkat pagi-pagi menjadi solusi yang mungkin terbaik. Mengapa? Ceritanya, saya ingin mengajak anak-anak naik trans Jatim. Jika dulu bus ijo menjadi andalan menuju Paciran, maka kali ini kami harus naik trans Jatim karena bus ijo sudah tidak ada lagi. Nah, sudah dua kali sewaktu mau pulang ke desa, saya dan anak-anak gagal menaiki transportasi ini karena banyak orang berjubel antri.
Saya pun bertekad seandainya lain waktu saya pulang kampung, saya harus berangkat lebih pagi lagi supaya bisa naik trans Jatim. Maka, anak-anak pun sudah saya ingatkan supaya tidur lebih awal dengan tujuan tidak sulit bangun keesokan harinya. Keinginan saya tersebut akhirnya terpenuhi. Berangkatlah kami menuju Terminal Arjosari menaiki sepeda motor.
Perjalanan ke Surabaya yang biasanya memakan waktu sekitar dua jam, hari itu lebih cepat setengah jam. Begitu turun dari bus “Bagong”, dalam hati saya berdoa semoga saja di koridor trans jatim dengan rute Terminal Bunder Gresik tidak antri seperti yang sudah-sudah. Maklum saja, halte Bungurusih bukanlah titik awal pemberangkatan melainkan salah satu halte yang dilewati setelah trans Jatim berangkat dari Porong, Sidoarjo. Setibanya di koridor, saya lega karena tak ada antrian seperti yang saya takutkan.
Dengan ditemani suami yang rencananya mengantar hingga Bunder, kami tak menunggu lama untuk naik trans Jatim. Bus “Raden Wijaya” tiba. Di dalamnya hanya ada ada tiga penumpang. Kami berempat naik lalu duduk. Cukup membayar lima ribu rupiah saja per orang. Perjalanan ke Terminal Bunder memakan waktu kira-kira 45 menit. Dan, di sinilah, ‘perjuangan’ menaiki trans Jatim jurusan Paciran dimulai.
Saya langsung lemas begitu mendapati antrian calon penumpang trans Jatim yang lumayan banyak. Sempat terpikir untuk naik bus jurusan Semarang saja yang juga berhenti sebentar di terminal ini. Namun, suami menyakinkan saya untuk tetap naik trans. Agak lama, kami menunggu hingga akhirnya trans Jatim tiba. Calon penumpang mulai berdesak-desakan untuk segera naik. Saya menggandeng si bungsu, sementara si sulung saya suruh tak jauh-jauh dari saya.
Sayangnya, begitu masuk ke trans, kami harus berdiri karena tak kebagian kursi. Saya melihat ke arah si sulung. Wajahnya agak merengut karena tak bisa duduk. Saya memberitahunya kalau nanti bisa duduk saat penumpang bus sudah berkurang. Trans Jatim “Jaka Tingkir” melaju membelah jalanan melewati jalan tol hingga akhirnya masuk ke wilayah Gresik.
Makin lama penumpang makin menumpuk. Di tiap halte, sudah menunggu para calon penumpang. Saat itu yang saya temui kebanyakan adalah ibu-ibu yang membawa anak-anak. Mereka pun terpaksa berdiri. Dengan kondisi bus penuh sesak sebenarnya transportasi ini kurang ideal digunakan untuk keluarga, tetapi, mau bagaimana lagi, trans Jatim “Jaka Tingkir” saat ini menjadi satu-satunya transportasi dari Surabaya ke wilayah pesisir Gresik dan Lamongan.
Oh ya, saya tak perlu membayar lagi sewaktu naik karena tiket trans Jatim yang pertama masih bisa digunakan selama tidak lebih dari dua jam sejak pemakaian pertama. Jadi, dari Malang ke Paciran, tiap orang cuma bayar 25 ribu rupiah saja. Sangat murah karena dulu, saat terakhir naik bus ijo sekitar dua tahun lalu dari Surabaya (Osowilangun) ke Paciran harus bayar 25 ribu Rupiah.
Saya dan anak-anak serta beberapa penumpang lainnya masih berdiri ketika bus trans mendekati Sidayu (Gresik). Wajah si sulung masih tertekuk.
“Sabar, bentar lagi bisa duduk,” ucap saya berusaha membesarkan hatinya. Sementara si bungsu meski sempat rewel karena capek berdiri, tetapi masih bisa saya atasi. Beberapa saat kemudian, barulah ada penumpang dekat saya berdiri karena mau turun. Lekas saya menyuruh si sulung untuk duduk. Lega rasanya karena anak saya bisa duduk meski satu kursi harus dipakai dua orang.
Saya sendiri berdiri lebih dari satu jam lalu baru duduk sewaktu bus mendekati Desa Weru (Lamongan). Satu demi satu penumpang turun hingga hanya tersisa sekitar enam orang saja termasuk saya dan anak-anak. Kami pun tiba di Terminal Paciran menjelang jam satu siang.
Ketika hendak balik ke Malang, saya masih menggunakan transportasi ini meski sempat diprotes anak-anak. Karena kami berangkat dari Paciran, kami pun bisa duduk. Saat itu kursi nyaris terisi semua. Sebagaimana di perjalanan pertama, di pertengahan, trans Jatim mulai disesaki para penumpang termasuk ibu-ibu yang membawa anak-anak. Mereka pun terpaksa berdiri. Agak kasihan juga sebenarnya melihat anak-anak tidak bisa duduk.
Mungkin inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Dinas Perhubungan Jatim untuk menyediakan transportasi yang lebih layak lagi bagi keluarga atau manula. Bagaimanapun, trans Jatim sudah menjadi angkutan keluarga sekaligus satu-satunya andalan bagi warga pesisir untuk bepergian karena ongkosnya yang murah meriah.
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply