AI di Sekitar Kita: Kawan atau Lawan?

  • Mega Yohana
30 Juli 2025 - 11:06 WIB 0 Comments 212
Ilustrasi berdiskusi dengan AI. (Sumber: Dall-E)
Ilustrasi berdiskusi dengan AI. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Dua puluh tahun yang lalu, kita mungkin nggak nyangka kalau hanya dalam dua dekade, teknologi sudah berkembang begitu pesat. Ketika dulu teknologi Infrared dan Bluetooth sudah dianggap canggih, sekarang malah ada NearLink yang diberitakan 6X lebih cepat daripada Bluetooth. [1]

Waktu saya SMA dulu, ponsel dengan jaringan internet GPRS dan Edge dianggap sudah wah, apalagi saat muncul jaringan 3G yang jauh lebih cepat. Maju sedikit lagi ke masa-masa kuliah, muncul ponsel-ponsel dengan teknologi Android yang mengguncang dunia perponselan. Kita tentu ingat bagaimana ponsel Android, khususnya Samsung, menggeser Nokia yang dulu merajai pasaran. [2] [3]

Sekarang di tahun 2025, jaringan internet sudah merambah ke 5G, dan teknologi kecerdasan buatan pun berkembang semakin pesat. Sekarang di mana-mana serba AI. Nggak cuma menghitung seperti kalkulator atau menerjemahkan, AI sekarang bisa menciptakan gambar, membuat video pendek, bahkan menulis cerita.

Sewaktu AI yang bisa menciptakan gambar dari prompt mulai bermunculan, protes berdatangan dari kawan-kawan ilustrator. Mereka merasa bahwa keberadaan AI image generator ini tidak menghargai seni yang sesungguhnya. Apalagi cara melatih AI ini adalah dengan memasukkan gambar-gambar original karya para seniman tanpa izin, yang dianggap sebagai “mencuri gaya menggambar” oleh para seniman. Dan dengan Wapres kita yang pro-AI, wah … makin ramailah para pekerja seni gambar ini menyuarakan keberatan mereka. [4] [5] [6]

Begitu pula ketika AI merambah ke dunia tulis menulis. Ketika oknum-oknum penulis mulai memanfaatkan AI untuk membuat tulisan (dan mengakui itu sebagai karya mereka), dunia kepenulisan pun geger. Banyak protes bermunculan dari para penulis yang merasa bahwa tindakan itu adalah sebuah kecurangan. Apalagi saat diketahui bahwa karya-karya original para penulislah yang dijadikan bahan untuk melatih AI menulis. [7]

Meski dengan banyaknya pro-kontra, AI tetap berkembang. Dari sekadar menyelesaikan soal matematika, merangkum informasi dari internet, menciptakan gambar, menulis cerita, sampai membuat lagu dan video pendek.

Saya sendiri tidak anti-AI, tapi juga tidak membenarkan tindakan yang menyalahgunakan AI. Saya menggunakan AI generated image untuk ilustrasi artikel atau konten media sosial. Saya menggunakan AI untuk mengubah teks dalam naskah Jawa Kuno menjadi lagu, yang saya share di TikTok dengan tetap mencantumkan credit bahwa lagu itu dibuat dengan AI. Saya juga menggunakan AI untuk mendiskusikan ide-ide konten atau artikel. Namun, untuk mengembangkan ide-ide itu menjadi tulisan utuh, tentu saja saya lakukan sendiri. [8]

Menurut saya, itu bukan musuh. AI adalah alat yang bisa memudahkan pekerjaan kita, selama kita menggunakannya dengan batasan dan tanggung jawab.

Sebagai alat, AI nggak beda dengan pisau yang bisa dipakai untuk memasak makanan yang lezat, atau dipakai untuk melukai. Kitalah yang seharusnya memegang kendali, bukan sebaliknya. Nah, kalau kita memasrahkan semuanya pada AI, dari menulis, menghitung, hingga berpikir kreatif … lantas apa yang tersisa untuk kita jika semuanya dikerjakan mesin?

Ya, kan? Tinggal tanya, tinggal klik, semuanya beres. Kita jadi nggak menjalani proses berpikir, nggak tahu bagaimana ini bisa jadi begini atau kenapa itu begitu. Kita serahkan semuanya pada AI tanpa berpikir ulang. Dari urusan kerja sampai curhat pribadi, semua dipasrahkan ke AI. Ini yang menurut saya bahaya.

Coba kita bayangkan kalau AI digunakan tanpa batasan: anak sekolah menyalin jawaban dari AI tanpa paham isinya, penulis minta AI bikin novel atau bikin artikel lalu tinggal unggah, bahkan ada loh, yang lebih suka curhat ke AI daripada teman atau keluarga.

Banyak kasus orang curhat ke AI soal depresi, hubungan yang rusak, sampai keinginan bunuh diri. Malah beberapa waktu lalu ada berita tentang remaja depresi dan curhat ke AI, terus AI-nya justru mendorong dia buat bunuh diri. [9]

AI memang pintar. Namanya juga Artificial Intelligence alias kecerdasan buatan, jelas dia pintar. Tapi kita harus tetap ingat bahwa dia bukan manusia. Dia adalah alat, mesin yang nggak paham konsep benar dan salah. Kelihatannya, sih, AI bisa merespons dengan empati. Tapi nyatanya, AI tuh nggak punya hati. Dia nggak bisa memahami perasaan manusia yang sebenarnya, meskipun mungkin dia bilang, “Aku paham perasaanmu.”

Terus gimana supaya penggunaan AI ini nggak kebablasan?

Ya, kita mesti ingat bahwa AI hanyalah alat. Bisa saja kita pakai AI sebagai alat buat brainstorming ide, misalnya, atau alat refleksi. Tapi keputusan harus tetap di tangan kita. Jangan menggantungkan pada AI.

Selain itu, saat bertanya pada AI, kasih konteks yang jelas. Tambahkan “beri jawaban netral sesuai fakta tanpa berusaha menyenangkan saya” supaya jawaban yang diberikan AI tidak bias. Karena memang kadang-kadang jawaban AI bisa sangat bias dan tampak “manusiawi”, yang bisa bikin kita lupa bahwa bagaimanapun dia tetaplah mesin yang nggak punya hati.

Saran selanjutnya yang nggak kalah penting: jangan andalkan AI untuk urusan kesehatan mental. Kalau curhat ringan, sih, oke. Sekadar iseng, mungkin. Tapi kalau untuk masalah serius, plis jangan pasrah ke AI. Tetap cari pertolongan manusia. Bagus kalau bisa curhat ke teman atau keluarga, dan lebih bagus lagi kalau bisa minta bantuan profesional.

Kesimpulannya, AI memang bukan musuh kita. AI bisa bantu kita menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. AI bisa jadi kawan brainstorming ide yang asyik, bahkan bisa diajak tebak-tebakan seru. Tapi kalau semuanya diserahkan ke AI, kita perlahan bisa kehilangan daya nalar, kreativitas, dan empati. Kalau apa-apa langsung klik dan langsung terjawab, lama-lama kita juga bisa jadi malas mikir.

Jadi, ya, silakan gunakan AI, tapi tetap dengan batasan dan tanggung jawab. Dan jangan lupa, AI adalah alat. Kitalah yang memegang kendali.

[]

TOPIK:
  • Mega Yohana

    Suka mempelajari sejarah, khususnya Jawa Kuno. TikTok: @pustakamega

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *