Kasman duduk di batu tanggul yang ada di tepian pantai. Ia menatap jauh ke horizon. Semburat senja menerpa wajahnya yang legam. Air pasang-surut yang menjilat lidah pantai terus menciptakan gedebur, membuat kampung nelayan itu tak pernah benar-benar hening. Di sekitar Kasman ada perahu nelayan lain yang sedang tertambat. Kasman sendiri baru saja usai membersihkan teritip yang menempel di perahunya.
“Mikirin apa, Kas? Serius sekali rupanya?” tanya Nurdin, rekan sesama nelayan yang sedang memeriksa mesin perahunya.
“Hanya duduk saja, Bang,” ucap Kasman berbohong.
“Hasil tangkapan makin hari makin sedikit saja, ya, Kas.” Nurdin berbicara tanpa melihat ke arah Kasman. Dia tetap berjibaku dengan mesin perahunya.
“Iya, Bang.”
Nurdin seperti bisa membaca pikiran Kasman. Isi kepala pemuda itu sedang kacau. Ia memikirkan kemungkinan untuk berhenti melaut. Ide gila itu meracuni pikirannya setidaknya selama setahun belakangan. Gila menurutnya, karena laut adalah satu-satunya sumber kehidupan mereka selama ini. Hasil tangkapan ikannya tak lagi memuaskan. Dia sering kali kembali ke darat mendulang kecewa. Hidup semakin susah, ikan tak bisa ditukar dengan banyak hal, termasuk dengan biaya sekolah dan obat-obat adiknya yang tak ditanggung jaminan kesehatan.
“Kalau tak melaut, Kas mau ngapain, Mak?” tanya Kasman suatu kali kepada Rusna, mamaknya, yang berulang kali mengeluh pada lembaran rupiah yang dibawanya pulang. Mamaknya lalu berceloteh ini-itu, seolah-olah mendapat pekerjaan hanya masalah kemauan saja.
Tak ada keahlian lain yang Kasman bisa selain melaut, takdirnya seperti saling berkelindan dengan aroma garam. Saat kecil, Kasman pernah punya angan yang tinggi, tetapi karena terus menemani bapaknya mengarungi lautan, dia jadi tak punya waktu untuk bermimpi. Kasman menjadi nelayan biologis, putra-putri kandung samudra. Dia seperti berkasih dengan segara, hingga laut membuatnya bisa memberi makan mamak dan tiga adiknya, setelah bapaknya meninggal saat Kasman baru saja lulus SMA. Meski hasil laut kadang pasang-surut, tapi setidaknya ia dan keluarganya bisa hidup dengan baik selama ini.
Kasman tak ingin adiknya bernasib seperti dirinya yang harus menambatkan cita-cita untuk kuliah. Itulah kenapa, tak pernah dia halang-halangi adiknya untuk sekolah dengan baik. Dia menanggung kebutuhan keluarga seorang diri.
Namun, bukan hidup kalau tidak punya kejutan. Setelah beberapa tahun terbiasa mengarungi lautan, kapal-kapal besar mulai sering hilir-mudik di sekitar pulau kecil itu. Kapal-kapal besar itu kemudian memuntahkan isinya di dermaga yang mereka bangun sendiri: truk tronton, alat berat, manusia berhelm, sampai polisi dan tentara. Memang pernah ramai ada kabar kalau di tengah pulau akan dibangun sebuah tambang, tapi Kasman tak mengira kalau kampungnya akan ramai kedatangan tamu dari luar.
“Kas, besok jadi demo lagi di kantor bupati?” Nurdin sudah selesai mengecek mesin kapalnya dan ikut duduk di samping Kasman.
“Rencananya begitu. Abang ikut?”
“Buat apa, Kas? Lebih baik pergi melaut saja. Sudah beberapa kali ikut demo juga tidak ada hasilnya.” Nurdin mengembus napas beratnya.
Kasman tak menjawab pertanyaan Nurdin. Dia juga tidak tahu ujung dari perjuangan yang dilakukan oleh dirinya dan teman-temannya. Tak ada tanda-tanda kalau keluhan mereka akan ditanggapi. Yang ada, tambang itu justru semakin gencar melakukan pengerukan. Andaikan mereka tinggal menyerbu dan merusaknya, maka semuanya akan mudah. Namun, jangankan menyerbu, mendekat saja tak bisa. Tentara dan polisi berjaga berganti-ganti.
Mereka berdua menatap hamparan laut di depan mata. Sudah banyak yang berubah dibanding saat mereka kecil dulu. Hujan yang terjadi sehari sebelumnya telah membuat air laut berubah warna jadi merah kecokelatan. Bukan air hujannya yang salah, tetapi aliran air hujan dari sungai telah membawa limbah bekas penambangan nikel menjorok ke laut. Jika musim kering tiba, air memang kembali jernih, tapi lumpur telah mengendap jadi sedimen, dan menutup batu karang tempat ikan-ikan bersarang. Pesisir mengalami pendangkalan, ikan-ikan merasa diusir dari tempat tinggal mereka.
“Besok aku mau bawa Murni ke dokter. Doakan, ya, Kas. Semoga Murni tidak kenapa-kenapa, repot nyari duitnya. Juragan sudah nggak ngasih utangan.” Giliran Nurdin yang mengembuskan napas kali ini.
“Memang Murni sakit apa, Bang?”
“Aku nggak ngerti dokter bilang apa, Kas. Katanya Murni itu ada kelainan. Sudah mau dua tahun belum bisa jalan.”
Kasman menatap simpati kepada Nurdin. Meminjam uang di Juragan Mardi sering kali jadi jalan pintas mereka saat kesusahan melanda. Tidak hanya Kasman dan Nurdin, tetapi juga nelayan lainnya. Pemilik TPI itu memang murah hati saat meminjamkan uangnya, tetapi bunganya juga lumayan. Mau tidak mau, hasil penjualan ikan mereka harus sering kena potongan. Seperti lingkaran setan, cicilan itu tak ada putus-putusnya.
Kasman pulang setelah berpisah dengan Nurdin, hendak salat dan makan sebelum dia berangkat melakukan persiapan demo esok harinya. Sesampainya di rumah, ditemukan mamaknya sedang menonton berita di televisi yang sudah ketinggalan zaman. Suara pembawa berita yang mengabarkan tentang gandrungnya minat masyarakat pada mobil listrik terdengar hingga ke dapur. Senyum Kasman kecut mendengar berita itu.
“Kas…! Makan di sini, Mak mau bicara,” panggil Rusna dari ruang depan. Dia bergegas menuju sumber suara, membawa piringnya yang isinya masih tersisa setengah.
“Temani Mamak ke rumah Bahar, Kas.”
“Kapan?” tanya Kasman.
“Malam ini.”
“Malam ini aku ada kerjaan, Mak.”
“Nggak usah dulu, ini penting.”
“Mak mau ngapain ke rumah Bang Bahar?”
“Mak mau titip kamu di Bang Bahar, biar kamu bisa masuk di proyek itu.”
“Mak ….”
“Sudahlah, Kas. Kamu nurut aja.”
Kasman tahu proyek apa yang dimaksud Rusna. Kasman terdiam. Nasi yang masih dikunyahnya terasa pahit. Dia tidak ingin ada percekcokan lagi antara mereka malam itu, pikiran di otaknya sudah terlalu banyak. Sudah berulang kali perempuan yang mengandungnya itu mengeluh tentang kesulitan ekonomi yang mereka rasakan, dan mungkin Rusna begitu greget kepadanya yang dianggap terlalu lamban. Dia akan menyusul teman-temannya setelah selesai dari rumah Bahar.
Usai menghabiskan nasi dan ikan asin yang ada di piringnya, Kasman menemani Rusna melewati jalanan kampung nelayan itu. Rumah Bahar ada di pinggir jalan raya, dua lantai, berdiri gagah, terlihat jomplang jika dibanding dengan rumah nelayan di sekitarnya. Kasman tak ada niat lain selain menyenangkan hati mamaknya. Tidak ada niat mengemis pekerjaan kepada Bahar.
Pembangunan SMELTER di lokasi sekitar pertambangan memang sedang jadi topik hangat di kampung mereka. Menurut kabar, lebih dari seribu tenaga kerja lokal yang dicari. Meski semua informasi seputar perekrutan itu terbuka lebar, Kasman bukan tak tahu kalau itu semua hanya formalitas, masuk ke sana tetap butuh orang dalam. Bahar sebagai satu-satunya aleg di kampung mereka pasti kebagian jatah.
“Memang Bang Bahar mau bantu kita, Mak?”
“Jangan salah, Kas. Dulu bapaknya Bahar pernah jual perahu sama bapakmu karena butuh uang buat biaya kuliah Bahar.”
Kasman mencebik. Mereka pasti bukan satu-satunya orang yang bertamu ke rumah Bahar untuk mencari pekerjaan. Dan mungkin, seharusnya mereka tidak datang dengan tangan kosong.
Rusna terbengong sedikit ketika masuk ke rumah Bahar. Bagian dalamnya sangat terang hingga membuat malam sedikit silau. Mereka dipersilakan duduk di ruang tamu. Tak lama setelah itu, Bahar menemui mereka. Wajahnya terlihat segar seperti baru selesai mandi. Kasman merasa sungkan meski Bahar menerima mereka dengan ramah. Rusna bercerita ini-itu, termasuk tentang perahu yang dulu dijual oleh Bapak Bahar kepada mereka. Tak lupa Rusna mengeluh, seperti keluhan yang biasa Kasman dengar di rumah. Semua pembicaraan itu berakhir pada permintaan untuk mencarikan Kasman posisi di proyek SMELTER itu. Kasman tahu kalau Bahar pasti sudah menebak arah pembicaraan.
“Dibawa saja berkas yang saya bilang tadi ke kantor besok, ya, Kas,” ucap Bahar.
Rusna semringah. Kasman mengangguk-angguk, merasa bahwa ucapan Bahar hanya untuk menyenangkan hati mereka, sama sepertinya yang datang ke sana cuma untuk menyenangkan hati mamaknya.
Mereka berdua pulang diiringi celoteh-celoteh si perempuan tua. Kasman izin berbelok arah ke rumah temannya ketika mereka berada di persimpangan jalan.
Esoknya, Rusna membangunkan anaknya pagi-pagi sekali. Menyuruh segera bersiap dan berangkat untuk mengurus berkas yang masih kurang.
Di kota kabupaten, Kasman mondar-mandir di persimpangan jalan, dia hendak mengekor teman-temannya yang sedang demo di depan kantor bupati, tetapi bayangan mamaknya tak bisa dia hilangkan. Tangannya meremas amplop cokelat berisi berkas yang ada di genggamannya.
Seteluk, 25 Oktober 2022
Lahir, tumbuh, dan membangun idealisme di Lombok, lulusan Fakultas Pendidikan Universitas Mataram. Menulis cerpen, resensi buku, dan menjadi copywriter untuk media online. Dapat disapa di Instagram @_zuuuua.
Leave a Reply