Resensi Buku “Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan”

  • Dewi Sartika
27 Juli 2025 - 19:03 WIB 0 Comments 157
Sampul Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan. (Foto: Dokpri)
Sampul Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan. (Foto: Dokpri)

Ukuran Font
Kecil Besar

“Hanya ada tiga polisi jujur di negeri ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.” (Abdurahman Wahid/Gus Dur)

Sebagai orang yang suka scroll medsos, saya acap kali mengelus dada begitu mendapati pemberitaan negatif mengenai oknum polisi. Iya sih, beritanya memang enggak tiap hari muncul. Namun, sering saya berpikir kenapa citra institusi satu ini yang sudah buruk selalu ketambahan ulah oknumnya sehingga makin bertambah buruk. Tak adakah solusi untuk mengatasi hal ini dari pihak kepolisian?

Maka, membaca buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan seolah menjadi “obat penenang” di tengah pemberitaan oknum-oknum polisi yang tak ada habisnya. Mengenai buku ini, mulanya saya berpikir ini merupakan biografi Hoegeng yang ditulis orang lain. Ternyata saya salah. Buku ini berisi pengalaman maupun kesan mantan sekretaris Hoegeng, Soedharto Martopoespito, terhadap atasannya tersebut.

Bayangkan, Soedharto hanya bekerja bersama Hoegeng selama lima bulan saja, tetapi ada seratus lebih halaman  yang berhasil ditulisnya. Saya pun tidak membayangkan bagaimana seandainya Soedharto bekerja lebih lama lagi dengan lelaki bernama lengkap Hoegeng Iman Santoso ini. Bisa jadi buku ini akan lebih tebal lagi. Soedharto Martopoespito tidak menulis sendiri buku ini. Pengalaman-pengalamannya bersama Hoegeng ditulis orang lain.

Hoegeng sendiri dikenal sebagai sosok ideal seorang polisi. Namanya diabadikan menjadi sebuah penghargaan yang diberikan lembaga kepolisian kepada individu polisi teladan.

Kehidupan Hoegeng

Hoegeng Iman Santoso lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Sejak SD atau HIS (Hollandsch Inlandsche School), ia sudah bercita-cita menjadi polisi. Lulus dari HIS, ia meneruskan pendidikan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) lalu ke Aglemene Middelbare School (AMS) kemudian ke Sekolah Tinggi Hukum. Namun, pendidikannya di sekolah terakhir tak selesai karena Jepang keburu masuk pada 1942.

Ia sempat ikut kursus kepolisian di Pekalongan semasa Jepang berkuasa. Selanjutnya ia masuk ke Sekolah Pendidikan Polisi (SPP) di Jabar, lalu menyelesaikan pendidikan polisi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di tahun 1952. Sesudahnya, kariernya di kepolisian dimulai. Paman dari Kasino (Warkop DKI) ini pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DKPN) di Kepolisian Jawa Timur. Kemudian, ia diangkat menjadi Kepala Ditserse dan Kriminal) Sumatera Utara.

Usai bertugas di Medan, Hoegeng lalu mengemban amanah sebagai Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia pada 1961. Hoegeng kemudian dilantik menjadi Menteri Urusan Iuran Negara tanggal 27 Agustus 1964. Sesudah Orde Lama tumbang, Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng menjadi Kapolri pada 1968. Namun, kemudian diberhentikan pada 2 Oktober 1971 sebelum masa jabatannya berakhir. Hoegeng sempat ditawari jabatan sebagai dubes, tetapi ditolak karena bukan bidangnya. Saat itu, posisi dubes dianggap sebagai cara Soeharto untuk menyingkirkan orang-orang tak disukainya.

Kisah Soedharto tentang Hoegeng

Sebagai sekretaris Hoegeng yang menjabat Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, Soedharto Martopoespita pun membantu tugas-tugas Hoegeng selama menjabat. Hal pertama yang dikisahkan Soedharto adalah bagaimana Hoegeng selalu datang ke kantor mendahului para bawahannya termasuk Soedharto (jam masuk kantor, 07.00). Terkejut dan malu, Soedharto pun tak mau kalah sehingga ia memutuskan berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Merasa dikalahkan anak buahnya, keesokan hari, Hoegeng pun tiba di kantor jam setengah enam pagi. Dari sinilah Soedharto menangkap sosok Hoegeng sebagai sosok dengan disiplin tinggi.

Papi memercayai seseorang dari ketepatan waktu yang dijanjikannya. Sebab, dari ketepatan waktu, semua orang bisa memulai sesuatu dengan baik. Jika orang tidak menepati waktu, sulit untuk melakukan sesuatu, apalagi memercayai omongannya.” (Didit, anak Hoegeng)

Selama mengabdi, Soedharto juga melihat Hoegeng sebagai sosok terbuka. Keduanya bekerja di ruangan sama tanpa penyekat, sehingga Soedharto bisa melihat dan mendengar dengan jelas apa yang dikerjakan atasannya itu, termasuk saat menerima tamu. Hoegeng tak pernah menerima tamunya di luar kantor.  Begitu pula menyangkut dokumen-dokumen penting dari Presiden Soekarno, Hoegeng selalu menyuruh Soedharto membacanya terlebih dahulu agar paham kalau bekerja.

Hoegeng juga dikenal sebagai sosok tegas. Pernah Soedharto dimarahi atasannya tersebut karena dianggap memengaruhi istri Hoegeng, Meri. Ceritanya, Soedharto menyarankan Hoegeng untuk membeli mobil dinas yang pernah digunakan Hoegeng dengan harga sangat murah karena nantinya sudah ada pembeli yang tertarik dengan mobil tersebut. Apalagi selisih harga yang didapat juga sangat besar, tetapi Hoegeng menolak. Soedharto pun berinisiatif menyampaikan tawaran ini ke Meri supaya Hoegeng berubah pikiran.

Selama hidupnya, Hoegeng senantiasa memegang prinsip kebenaran. Terkait hal ini, ia pernah memberi nasihat kepada Soedharto.

Meski demikian Mas Dharto, janganlah menjadi orang yang selalu kebenaran atau kebetulan, tetapi jadilah orang yang benar. Karena selain kebeneran itu hanya sesaat, juga adakalanya berdampak negatif di kemudian hari bagi orang tersebut. Kebeneran itu belum tentu kebenaran.”

Tolak Fasilitas dan Aji Mumpung

Sebagai pejabat negara, Hoegeng seharusnya mendapatkan fasilitas yang disediakan negara seperti pengawalan. Alasannya, kematian bisa datang kapan saja. Tak hanya menolak dikawal, ia juga menolak tambahan mobil yang seharusnya ia dapat karena sudah punya satu mobil dinas dan satu mobil pribadi. Untuk mobil dinas, selama menjadi pejabat negara, baik saat masih di Polri maupun kementerian, Hoegeng juga memasang tulisan “Mobil Dinas, Tidak Boleh Dipinjam”. Ia juga menolak pemberian mobil oleh Dasaad Musin Concern (perusahaan pribumi terkenal) ketika menjabat menteri. Mobil tersebut malah diberikan kepada temannya.

Ketika menjabat Kapolri, Hoegeng juga menolak sejumlah pemberian hadiah. Sebagaimana dikisahkan Didit, Hoegeng pernah mendapat kiriman dua motor merk “Lambretta”  yang terkenal saat itu. Didit pun berharap ayahnya tak menolak pemberian tersebut. Sayangnya, Didit harus gigit jari sewaktu Hoegeng menyuruh bawahannya untuk mengembalikan hadiah itu. Hoegeng juga menolak jatah tanah kavling seluas 2.000 meter persegi dan lebih memilih tinggal di rumah sewaan.

Tidak cukup itu saja, Hoegeng juga menolak menempati rumah dinas ketika mengemban jabatan menteri negara. Alasannya, ekonomi negara sedang morat-marit, sehingga akan membuat keuangan negara makin boros. Selama menjabat menteri, Hoegeng hanya menerima fasilitas mobil. Hoegeng juga menolak memberikan surat izin orangtua sewaktu diam-diam Didit mendaftar di AKABRI lalu dinyatakan lulus. Dengan memberikan tanda tangan untuk surat izin yang diminta Didit, Hoegeng beranggapan akan memberikan kemudahan bagi Didit mengingat jabatannya saat itu sebagai Kapolri. Tidak hanya Didit saja yang merasakan ketegasan Hoegeng, Reni, anak Hoegeng yang lain juga pernah meminta sang ayah membuat surat katabelece agar Reni bisa masuk ke ITB meski bukan warga Jawa Barat (saat itu ada ketentuan bahwa ITB hanya untuk warga Jabar).

Jauh sebelum diangkat menjadi Kapolri, Hoegeng pernah bertugas di Medan sebagai Kepala Ditserse dan Kriminal Kepolisian Sumatera Utara. Ia juga menolak pemberian hadiah oleh seorang pengusaha keturunan China, termasuk beberapa perabot untuk rumah dinasnya. Dikenal sebagai sosok tanpa kompromi selama bertugas di kepolisian, Hoegeng juga pernah menjadi sasaran sniper dan mendapatkan ancaman pembunuhan.

Sosok Polisi Anti-Kompromi

Dikenal sebagai polisi lurus dan anti-korupsi, Hoegeng juga pernah dibuat kecewa ketika hendak menghadap Presiden Soeharto kala itu. Hoegeng merasa terpukul sewaktu mendapati Robby Tjahjadi, ternyata sudah berada di Jalan Cendana. Hoegeng pun langsung balik badan. Robby Tjahjadi sendiri terlibat kasus penyelundupan mobil mewah yang pernah ditanganinya. Menurut Hoegeng, memberantas korupsi harus dimulai dari tingkat atas terlebih dahulu kemudian turun ke bawah.

Hal ini pula yang mendasari Hoegeng untuk menolak pemberian dalam bentuk apa pun yang diyakininya bisa memengaruhi sikapnya dalam bekerja. Ia juga terkenal sebagai sosok yang tak mau aji mumpung. Hoegeng pernah menyuruh Meri untuk menutup toko kembangnya karena takut terkena conflict of interest.

Ketegasannya saat bertugas sebagai Kapolri  juga terlihat dari kiprah Hoegeng menangani kasus pemerkosaan Sum Kuning di Yogyakarta tahun 1970-an. Hoegeng berusaha menangani kasus ini secara transparan yang mana melibatkan anak-anak pejabat serta kasus penembakan mahasiswa ITB oleh mahasiswa AKABRI. Selain itu, Hoegeng juga memerintahkan para pejabat kepolisian untuk mendaftarkan kekayaannya, sehingga membuat gerah banyak kalangan termasuk Presiden Soeharto.

Sebagai sosok yang dikenal anti-kompromi, Didit juga pernah merasakan kemarahan sang ayah. Berawal dari ketika Didit meminjam mobil dinas ayahnya untuk belajar bersama teman-temannya. Hoegeng mengizinkan dengan syarat mobil harus balik sebelum pukul 24.00. Karena ketiduran, Didit pun baru pulang jam 2 dini hari sehingga membuat ayahnya marah.

Terlibat Petisi 50

Sejak tidak bekerja lagi dengan Hoegeng, hubungan Soedharto dengan mantan atasannya tersebut seakan “terputus”. Apalagi sejak Hoegeng terlibat dalam kelompok Petisi 50 yang terdiri dari para mantan tokoh nasional yang selalu mengkritisi jalannya pemerintahan Presiden Soeharto. Oleh pemerintah, kelompok ini masuk dalam daftar hitam yang berimbas dalam kehidupan masing-masing tokoh serta keluarganya termasuk keluarga Hoegeng sendiri.

Didit pun bercerita bahwa anak-anak dari para tokoh yang terlibat dalam kelompok ini dipersulit untuk mendapatkan pinjaman perbankan. Hoegeng juga turut menjadi korban saat acara musiknya di TVRI, “The Hawaiian Seniors” dihentikan dengan alasan musiknya bukan musik asli Indonesia.

Sementara itu, karier Soedharto di pemerintahan makin melejit. Akibat situasi politik yang tidak mendukung, membuat ia harus menjaga jarak dengan Hoegeng, sehingga tak bersilaturahmi dan menelepon Hoegeng lagi. Bahkan ia juga tidak mengetahui saat Hoegeng mengembuskan napas terakhirnya pada 14 Juli 2004 di usia 83 tahun.

Keterangan Buku

Judul                    : Hoegeng, Polisi dan Meneteri Teladan

Penulis                 : Suhartono

Penerbit              : PT Kompas Media Nusantara

Tahun                   : 2013

Tebal                    : 142 halaman

ISBN                      : 978-979-709-769-1

TOPIK:
  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *