Sound Horeg belakangan ini makin ramai akibat adanya fatwa haram yang diresmikan MUI. Pro-kontra terhadap putusan ini pun bermunculan. Banyak masyarakat yang setuju dengan fatwa tersebut, tapi tak sedikit pula yang menolak keras dan merasa bahwa fatwa itu sangat merugikan. [1]
Nah, kalau fatwa haram itu dilandaskan berdasarkan agama Islam, bagaimana dengan landasan budaya? Karena banyak juga pelaku maupun pencinta Sound Horeg yang menyatakan bahwa Sound Horeg adalah salah satu bentuk budaya yang patut dilestarikan.
Menariknya, dalam Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV, Sound Horeg adalah suatu bentuk kegiatan yang dilarang. Kok, bisa?
Pupuh kinanthi dalam Serat Wulangreh menyebutkan sebagai berikut:
Dadiya lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, suda prayitnaning batin. [2]
Artinya: Jadikan sebagai kebiasaan, kurangi makan dan tidur, jangan gemar berpesta pora, gunakan batasan, jelek tabiat orang yang gemar berpesta pora, berkurang kepekaan batin.
Bait itu menjelaskan agar kita tidak berpesta pora, apalagi secara berlebihan. Kalau ingin bersenang-senang, hendaknya sewajarnya saja. Karena apa? Karena tabiat orang yang suka berpesta pora secara berlebihan itu buruk, bisa menyebabkan berkurangnya kepekaan batin.
Sekarang kita tengok fenomena Sound Horeg. Ketika sound system disetel secara berlebihan sampai jauh melampaui batas desibel yang wajar, ini adalah bentuk pesta pora yang berlebihan. Belum lagi dengan adanya penari yang sering kali tak senonoh, lalu ditambah lagi sambil minum minuman keras. Terus apa lagi? Potensi merusak lingkungan, memecahkan kaca dan meruntuhkan genteng rumah warga. Dan masih banyak lagi dampak dari “pesta pora berlebihan” berwujud Sound Horeg ini, termasuk dampak kesehatan. [3]
Dalam Serat Wulangreh disebutkan bahwa watak dari pesta pora itu buruk dan bisa mengurangi kepekaan batin. Apa yang terjadi kalau kepekaan batin berkurang?
Ada beberapa dampak psikologis maupun sosial yang bisa terjadi jika kepekaan batin berkurang. Dari yang awalnya peka terhadap perasaan orang lain, misalnya, jadi acuh tak acuh. Yang tadinya tepa salira alias senantiasa bertenggang rasa, jadi egois dan mau menang sendiri. Yang sebelumnya ramah dan menghormati hak orang lain, jadi mementingkan kesenangan pribadi dan golongan.
Parahnya, berkurangnya kepekaan batin bisa bikin seseorang gampang terseret arus luar tanpa filter, sulit membedakan yang salah dan benar secara moral maupun agama, gampang emosi, dan kehilangan nilai-nilai kebijaksanaan.
Mereka jadi sulit menerima saran dan masukan dari orang lain, bahkan marah saat diingatkan. Dan ini sering terjadi di kalangan pencinta Sound Horeg, yaitu ketika mereka marah dan bahkan mengintimidasi orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Belum lagi ketika para pencinta Sound Horeg itu menyetel musik dengan volume luar biasa kencang tanpa memedulikan jika ada yang terganggu dengan tindakan mereka. Semua ini benar-benar mewujud dari apa yang disebutkan dalam Serat Wulangreh yang ditulis ratusan tahun lalu, jauh sebelum fenomena Sound Horeg muncul.
[]
Suka mempelajari sejarah, khususnya Jawa Kuno. TikTok: @pustakamega
Leave a Reply