Resensi Buku “Kenikmatan dalam Minuman: Bir di Batavia 1900-1942”

  • Dewi Sartika
23 Juni 2025 - 09:10 WIB 0 Comments 147
Sampul Kenikmatan dalam Minuman: Bir di Batavia 1900-1942. (Foto: Dokpri)
Sampul Kenikmatan dalam Minuman: Bir di Batavia 1900-1942. (Foto: Dokpri)

Ukuran Font
Kecil Besar

Sebenarnya sudah agak lama tahu buku ini dan ada ketertarikan untuk membelinya. Sekadar tertarik saja, bukan dalam tahap ngebet banget, karena bayangan saya akan menambah tumpukan buku yang belum dibaca.

Namun, apa daya, gara-gara iseng buka aplikasi marketplace dan ada diskon lumayan besar untuk produk buku-buku, mau nggak mau saya pun tergoda lalu membeli tiga buku. Salah satunya, Kenikmatan dalam Minuman: Bir di Batavia 1900-1942.

Berbeda dengan Politik Film di Hindia Belanda yang dengan jelas menerangkan bahwa buku tersebut berdasarkan skripsi, tak ada keterangan serupa dalam buku ini. Saya baru menyadari bahwa buku ini berasal dari skripsi sesudah membaca daftar. Namun, hal menarik bagi saya tentu saja bukan hal ini, tetapi bagaimana penulis mendapatkan ide pembahasan untuk skripsi. Makin menyakinkan saya bahwa ide memang bisa datang dari mana saja atau dari hal tak terduga.

Pada bagian pertama buku ini berupa latar belakang, penulis membuka tulisan dengan kisah mengenai kebiasaan orang-orang Tionghoa yang tiba di Batavia usai mengarungi lautan dengan menaiki jung. Mereka mengadakan pertunjukan wayang dan menjamu orang-orang terkemuka dengan bir.

Sejarah bir sendiri tak bisa dipisahkan dari bangsa Sumeria yang menemukan minuman ini, lalu menjadi bagian dari ritual kebudayaan bangsa Mesir. Seiring waktu, bir kemudian mencapai Eropa. Tak lupa, saat orang-orang Belanda mengarungi samudra demi mendapatkan rempah-rempah, mereka turut menyertakan ke dalam kapal.

Mulanya, mengonsumsi minuman beralkohol dari Eropa merupakan lambang prestise status sosial dalam masyarakat. Namun, munculnya Politik Etis yang memunculkan kaum pribumi terdidik, mau tak mau membuat bir juga dikenal di kalangan pribumi. Kendati demikian, keberadaan bir sendiri menimbulkan pro dan kontra di kalangan orang-orang Betawi dan Arab.

Kehadiran bir juga mulai menggeser minuman-minuman beralkohol yang telah lama ada di Nusantara seperti tuak dan arak. Di Batavia sendiri, bir segera menjadi minuman favorit orang-orang Eropa sehingga konsumsi bir terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah menjamurnya rijstaffel di berbagai hotel mewah di Batavia. Selesai makan, biasanya orang Belanda akan minum bir supaya nasi cepat larut.

Selanjutnya, di bagian kedua, sebelum membahas “minuman beralkohol di Batavia”, penulis menjelaskan tentang Kota Batavia yang didirikan Jan Pieterszoon Coen. Kota ini terdiri atas Oud Batavia (kota lama) dan Nieuw Batavia yang merujuk pada wilayah Weltevreden (di luar kota lama). Selain orang-orang Belanda sendiri, penduduk Batavia terdiri dari orang-orang berdarah campuran Eropa, Asia, dan Afrika. Ada juga golongan Timur Asing (Asia Timur dan Arab) serta pribumi.

Dengan pembagian strata sosial tersebut, tentu saja bir tak bisa dinikmati golongan pribumi rendahan meski harga bir lebih murah dibandingkan minuman beralkohol lainnya semisal vodka, jenever maupun cognac. Hal inilah yang mendasari munculnya “bir pletok” yang dibuat kaum pribumi demi bisa merasakan sensasi minuman beralkohol. Sementara elite pribumi pun tak ketinggalan untuk ikut mengonsumsi minuman beralkohol supaya merasa setara dengan orang-orang Eropa.

Pada bagian ini pula dibahas mengenai minuman beralkohol lokal dan impor. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa, arak merupakan salah satu produk minuman beralkohol lokal. Kandungan arak sangat tinggi mencapai 60 persen dibanding minuman beralkohol impor. Batavia sendiri dikenal sebagai kota penghasil arak karena banyaknya pabrik arak milik orang Tionghoa.

Sebagai minuman beralkohol dari luar, kehadiran bir menjadi pilihan bagi kalangan menengah ke atas di Batavia mengingat kandungan alkoholnya yang rendah serta harganya yang terjangkau. Kemunculan pabrik es batu juga membuat konsumsi bir meningkat, karena orang-orang mencampur bir dengan es sebagai pelepas dahaga.

Berikutnya, di bagian ketiga, penulis menjelaskan bagaimana meningkatnya konsumsi bir membuat perusahaan-perusahaan importir makin menjamur. Di Batavia sendiri jumlah impor bir mencapai setengah dari total keseluruhan bir yang diimpor di kota-kota besar lainnya di Hindia Belanda. Bir impor dari Eropa mendapatkan saingan bir dari Jepang yang harganya lebih murah.

Kendati pemerintah kolonial telah membuka keran impor bir demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, nyatanya konsumsi bir yang terus meningkat membuat pemerintah kolonial membangun pabrik bir di Batavia dan Surabaya di awal tahun 1930-an, agar harga bir makin murah. Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran terhadap meningkatnya konsumsi bir di kalangan pribumi.

Demi melindungi industri bir lokal, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan Crisis Bier Invoerverordening terkait persaingan dengan bir dari Jepang. Walaupun diberlakukan pembatasan kuota terhadap bir Jepang, tetapi kebijakan ini mengalami kegagalan karena impor bir dari Jepang makin meningkat yang disebabkan belum maksimalnya produksi bir lokal. Hal ini membuat pemerintah kolonial menghentikan sementara impor bir sampai batas waktu tak ditentukan.

Kebijakan ini membuat permintaan bir lokal meningkat, sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pajak bir. Namun, hal ini tidak berpengaruh terhadap konsumsi bir terutama di Batavia. Penjualan bir terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga memberikan pendapatan besar bagi pemerintah.

Meningkatnya konsumsi bir tak lepas dari mudahnya mendapatkan bir di Batavia mulai dari Harmonie dan Concordia untuk kalangan elite hingga Waterlooplein dan Vinkpasser untuk tentara kelas bawah dan masyarakat umum serta “Suihan” milik orang-orang Tionghoa. Memasuki abad ke-20, minum bir menjadi sebuah tren. Iklan-iklan bir juga turut menghiasi media cetak.

Maraknya penyalahgunaan minuman beralkohol di kalangan pribumi memicu protes Sarekat Islam dan Muhammdiyah. Kedua organisasi tersebut sampai mengirim surat kepada gubernur jenderal agar melarang penjualan minuman beralkohol di kalangan pribumi.

Pemerintah kolonial menindaklanjuti permintaan tersebut dengan membentuk Komisi Pemberantasan Alkohol pada 1918, yang bertugas menyelidiki konsumsi minuman beralkohol di kalangan pribumi serta melakukan razia ke warung-warung yang menjual minuman beralkohol secara ilegal.

Meskipun didukung pemerintah kolonial, kampanye anti-minuman beralkohol mengalami kegagalan. Penyebabnya, petugas polisi yang bisa disuap serta Komisi Pemberantasan Alkohol yang lebih sering menyasar minuman alkohol lokal sehingga melenceng dari tujuan awal untuk menekan angka konsumsi minuman beralkohol di masyarakat. Berbagai kebijakan tersebut pada akhirnya menemui kegagalan mengingat produksi, konsumsi, dan impor bir di Batavia tetap tinggi.

Keterangan
Judul buku : Kenikmatan dalam Minuman: Bir di Batavia 1900-1942
Penulis : Duma Destri Antoro
Penerbit : Kendi
Tahun terbit : 2021
Tebal : 100 halaman

TOPIK:
  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *