Dulu, di masa sekolah di madrasah, saya sudah diperkenalkan dengan tiga kata: Iman, Islam, dan Ihsan. Kalau tidak salah, itu pembahasan di mata pelajaran “Aqidah-Akhlak”. Tiga kata yang kita hafalkan definisinya dan hal-hal dasar yang menyangkut tiga kata tersebut, sekadar untuk bisa menjawab ujian saat mengikuti Tes Hasil Belajar (THB).
Lama waktu berjalan, usia juga bertambah dewasa, bertemu dengan bermacam riak hingga gelombang kehidupan, saya merasakan tiga kata tersebut bukan sekadar teori dalam buku agama, tetapi jejak-jejak cahaya yang kini menjadi fondasi spiritual dalam hidup saya.
Iman: Keyakinan yang Tumbuh dari Dalam
“Iman itu di hati,” kata guru saya waktu itu. Maka, “jagalah hati,” kata lagunya Aa’ Gym. Iya, benar, iman itu di hati, dan terpatri dalam sikap hidup sehari-hari. Ia bukan sekadar kata, tapi napas yang menghidupkan makna. Ia adalah akar, yang mengukuhkan, meski angin menggoyahkan cabang dan ranting kehidupan anak manusia.
Iman, dalam Islam, bukan hanya percaya kepada Allah, tetapi juga enam rukun: Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir. Iman ini disebut dalam Hadis Jibril yang sangat terkenal, ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad Saw dalam rupa manusia dan bertanya:
Beritahukan aku tentang iman.”
Rasulullah menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun buruk.” (H.R. Muslim No. 8)
Namun, iman bukan benda mati. Ia hidup. Kadang naik, kadang turun. Imam Al-Ghazali menggambarkan bahwa iman adalah cahaya dalam hati yang bisa dipelihara dengan ilmu, amal, dan zikir. Iman bukan sekadar lisan, tapi pancaran keyakinan yang menghidupkan.
Bagi saya, iman adalah pelabuhan jiwa. Ia tak selalu logis bagi nalar, tapi selalu masuk akal bagi hati yang gelisah. Ketika dunia tak memberi jawaban, Iman membisikkan harapan bahwa Allah Mahatahu, dan itu cukup.
Islam: Jalan Hidup yang Terbuka untuk Semua
Jika Iman adalah akar, maka Islam adalah batang pohon kehidupan—kokoh, tampak nyata, tempat cabang dan buah tumbuh. Islam bukan hanya identitas di KTP, tapi cara hidup. Ia mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablum minallah), juga dengan sesama (hablum minannas).
Islam secara etimologis berarti “penyerahan diri” dan “kedamaian”. Seorang Muslim adalah dia yang tunduk kepada kehendak Allah, bukan karena terpaksa, tapi karena sadar bahwa ketaatan adalah bentuk tertinggi dari kebebasan.
Dalam hadis yang sama, ketika Jibril bertanya, “Beritahukan aku tentang Islam,” Nabi Saw menjawab:
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu.”
(H.R. Muslim No. 8)
Rukun Islam lima itu seperti fondasi rumah. Tanpa salah satunya, bangunan akan goyah. Tapi Islam lebih luas dari itu. Ia bukan hanya ibadah, tapi juga muamalah, akhlak, bahkan etika sosial. Islam mencakup keadilan dalam berdagang, kejujuran dalam berbicara, dan kelembutan dalam bersikap.
Ihsan: Dimensi Ruhani yang Menghidupkan Amal
Namun, ada satu tingkat yang lebih halus, lebih dalam—dan sering kali luput: Ihsan. Ihsan berasal dari akar kata “ahsana” yang berarti “berbuat baik”, “menjadi terbaik”. Tapi dalam hadis Jibril, definisi Ihsan sangat filosofis:
“Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu.”
(H.R. Muslim No. 8)
Ihsan adalah ruh dari segala ibadah. Tanpa ihsan, shalat bisa menjadi rutinitas tanpa rasa. Tanpa ihsan, puasa hanya diet tahunan. Ihsan mengubah amal menjadi pengalaman spiritual. Ia menjadikan kita hadir sepenuh hati saat sujud, bukan hanya tubuh yang membungkuk.
Dalam kehidupan sehari-hari, ihsan terlihat dalam kesantunan, dalam kepedulian kepada sesama, dalam kerja yang jujur meski tak diawasi. Ihsan membuat kita berbuat bukan karena ingin dipuji manusia, tapi karena ingin dicintai Allah. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 195:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.”
Harmoni Tiga Pilar: Jalan Menuju Kehidupan Seimbang
Kini, di tengah riuhnya kehidupan modern, dengan kecanggihan teknologi yang kian mengharu biru, tiga pilar ini harus kita anut dan tanamkan dalam diri dan jiwa kita. Mungkin kita tidak selalu berhasil. Kadang iman kita melemah, kadang Islam kita sekadar formalitas, kadang kita lupa untuk bersikap ihsan. Tapi percayalah, selama kita sadar dan terus berusaha, Allah akan membimbing kita kembali ke jalan-Nya.
Iman, Islam, dan Ihsan harus menjadi pilar yang berpadu padan. Tak bisa kita lepaskan satu dengan lainnya. Iman, Islam, dan Ihsan bukan sekadar urutan dalam hierarki kaku, tapi harmoni yang saling melengkapi. Iman memberi arah kepada hati; Islam mengarahkan langkah-langkah fisik kita; dan Ihsan menyempurnakan keduanya dengan keindahan rasa dan kehadiran jiwa. Tanpa iman, Islam menjadi ritual kosong. Tanpa Islam, iman sulit mewujud dalam tindakan. Dan tanpa ihsan, keduanya bisa kehilangan ruhnya.
Tiga pilar ini bukan hanya bimbingan untuk menjadi Muslim yang baik, tapi juga manusia yang utuh. Tiga-tiganya bukan jalan singkat menuju surga, tapi kompas dalam hidup: agar langkah tak tersesat, agar hati tak kosong, dan agar amal tak sia-sia.
Akhirnya, tiga pilar ini bukan hanya konsep teologis. Ketiganya adalah jalan pulang menuju cahaya—menuju Allah yang selalu ada, bahkan ketika kita menjauh.
Mantan editor senior di beberapa penerbit ternama di Jakarta, di antaranya: Mizan dan Pustaka Alvabet. Sekarang Anggota Fraksi Golkar DPRD Lamongan.
Leave a Reply