Beda Tradisi Diaspora Lamongan dan Minangkabau

  • A. Fathoni
25 Maret 2025 - 15:02 WIB 0 Comments 170
gb10

Ukuran Font
Kecil Besar

Hari-hari ini, sekira satu minggu sebelum Lebaran Idul Fitri, desa-desa di Lamongan seakan penduduknya tambah membludak. Warga Lamongan yang hidup di perantauan mulai berdatangan, mudik pulang kampung. Dalam kemeriahan Hari Raya Idul Fitri, mereka kembali ke “identitas diri” orang Lamongan; berkumpul bersama keluarga besar, bernostalgia, makan lodeh kutuk, mengenang masa kecil bersama di kampung halaman.

Memang, sejak berpuluh-puluh tahun silam, orang Lamongan memiliki tradisi diaspora (merantau) yang kuat. Mereka menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, dari Jakarta hingga pelosok Nusantara. Berjuang, bergelut di tanah rantau, lalu pulang kampung ke Lamongan menjelang Lebaran. Ada yang setahun sekali, ada yang dua tahun sekali, bahkan ada yang bertahun-tahun baru pulang kampung. Logat bicaranya pun sudah tercampur dengan dialek bahasa tanah di mana mereka merantau.

Orang Lamongan nyaris mirip seperti orang Minangkabau, sama-sama perantau ulung. Bedanya, bagi orang Minangkabau, merantau adalah sebuah kewajiban kultural. Sedang bagi orang Lamongan, tradisi merantau lebih bersifat ekonomi daripada adat.

Di Minangkabau, sistem sosial dibangun di atas dasar sistem matrilineal, di mana garis keturunan dan warisan keluarga diwariskan melalui pihak ibu. Anak laki-laki, dalam sistem ini, tidak memiliki posisi dominan dalam keluarga inti, karena harta diwariskan kepada perempuan.

Maka itu, merantau menjadi semacam “ritual kedewasaan” bagi laki-laki Minangkabau. Mereka diharapkan meninggalkan kampung halaman untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Laki-laki Minang sejak muda telah disiapkan untuk pergi, mencari ilmu, berdagang, atau bekerja, sebelum kembali membawa kebanggaan bagi keluarga.

Jika dibaca dalam perspektif teori fungsionalisme struktural-nya Talcott Parsons, sistem sosial Minangkabau menuntut adanya keseimbangan peran dalam keluarga dan masyarakat. Laki-laki yang pergi merantau berfungsi memperluas jaringan ekonomi dan sosial keluarga, sementara perempuan tetap menjaga rumah, adat, dan harta warisan.

Tradisi laki-laki yang merantau ini, dari sisi historis, juga diperkuat oleh jaringan perdagangan yang telah dibangun sejak abad ke-17, di mana orang Minang sudah dikenal sebagai pedagang ulung yang beroperasi di berbagai wilayah Nusantara, dari Malaka hingga Batavia.

Max Weber, dalam analisisnya tentang etos kerja dan kapitalisme, juga relevan dalam melihat fenomena perantauan Minangkabau. Weber menekankan bahwa nilai-nilai budaya tertentu dapat mendorong kelompok masyarakat untuk sukses dalam ekonomi (Weber, 1905). Orang Minangkabau memiliki budaya perdagangan yang kuat, dan dalam perantauan, mereka dikenal sebagai pengusaha andal di bidang kuliner dan emas. Merantau bagi mereka bukan sekadar mencari pekerjaan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas kultural mereka sebagai pedagang ulung.

Sementara itu, di Lamongan, merantau tidak selalu menjadi keharusan. Sebagai wilayah yang strategis dalam perdagangan maritim, Lamongan telah lama menjadi tempat bagi para pelaut dan pedagang yang menjalin hubungan dengan berbagai daerah lain. Hal ini berkontribusi pada mentalitas terbuka dan daya juang tinggi masyarakatnya di perantauan.

Tidak seperti Minangkabau yang mendorong anak laki-laki untuk merantau karena faktor adat, orang Lamongan lebih dipengaruhi oleh dorongan ekonomi dan semangat berjuang. Orang Lamongan dikenal dengan daya juang yang tinggi, terutama dalam bidang perdagangan dan usaha kuliner. Tak heran jika makanan khas Lamongan tersebar di mana-mana, ada soto Lamongan, ada pula pecel lele Lamongan. Merata, hampir menghiasi setiap sudut kota-kota besar di Nusantara.

Mereka datang ke tanah rantau dengan membawa tekad dan keberanian, serta modal budaya berupa keahlian kuliner yang telah diwariskan turun-temurun. Keberhasilan mereka di perantauan sering kali ditentukan oleh sejauh mana mereka dapat mengadaptasi habitus lokal dengan tetap mempertahankan identitas asalnya. Mereka lebih mengandalkan jaringan personal dan hubungan keluarga dalam mengembangkan usahanya di perantauan.

Satu perantau berhasil dapat memicu saudara atau kerabatnya yang lain untuk mengikuti jejak yang sama, menciptakan rantai ekonomi berbasis komunitas. Mereka lalu berjejaring, saling topang, dan saling memajukan usaha satu sama lain. Lahirlah banyak paguyuban-paguyuban warga Lamongan di tanah rantau. Di Jabodetabek, ada Paguyuban Putra Asli Lamongan (Pualam); di Makassar ada Paguyuban Warga Lamongan (PWLA) Makassar, dll.

Begitulah… Baik orang Minang maupun Lamongan, keduanya sama-sama memiliki tradisi merantau yang kuat. Namun, perbedaannya terletak pada latar belakang budaya yang mendorong praktik ini. Masyarakat Minang merantau sebagai bagian dari struktur adat yang sudah terbangun selama berabad-abad, sedangkan orang Lamongan lebih terdorong oleh faktor ekonomi dan mobilitas sosial.

Dalam konsep sosiologi Clifford Geertz mengenai “agama Jawa” dan “budaya pedagang”, kita dapat melihat bahwa masyarakat Minang cenderung membangun sistem sosial berdasarkan adat dan agama, sementara orang Lamongan lebih berorientasi pada mobilitas ekonomi berbasis perdagangan. Hal ini membuat cara mereka beradaptasi di perantauan berbeda: orang Minang kerap terlibat dalam sektor intelektual, hukum, dan politik, sementara orang Lamongan lebih banyak bergerak di sektor perdagangan dan jasa.

Akan tetapi, apa pun perbedaannya, ada satu kesamaan yang sangat mendasar: merantau bukan berarti melupakan asal-usul. Baik orang Minang maupun Lamongan, mereka selalu memiliki ikatan kuat dengan kampung halaman. Bagi keduanya, perantauan hanyalah jalan untuk kembali dengan membawa cerita, pengalaman, dan kesuksesan yang kelak akan diwariskan, dari generasi ke generasi.

Bagi yang merantau, selamat mudik. Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri di kampung halaman!

TOPIK:

  • A. Fathoni

    Mantan editor senior di beberapa penerbit ternama di Jakarta, di antaranya: Mizan dan Pustaka Alvabet. Sekarang Anggota Fraksi Golkar DPRD Lamongan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *