Pria Jangkung yang Kerap Tersandung

  • jaringshafa
05 March 2025 0 Comments 1
ilustrasi-cerpen_169

Jakarta – Sinar lembayung menerobos melewati pintu kayu yang terbuka lebar, memancarkan suasana hangat sore itu. Pagar berkarat diselimuti tumbuhan merambat kering, celana dalam tergeletak miris, jatuh dari balkon yang dijadikan tempat penjemuran. Aku menghirup rakus udara yang bercampur aroma apek pakaian, sampah di samping kontrakan, dan bau terasi dari rumah tetangga mengganggu penciuman. Rambut keritingku berkibar malu, sorak-sorai para bocah yang berlarian sambil memegang bola sepak menuju halaman masjid semakin merusak keselarasan lembayung dengan suara burung gereja berkicau di hamparan persawahan dalam khayalan.
Suara eraman kecil dari dalam perut mengagetkanku. Bau terasi yang sebelumnya tak sedap tiba-tiba menggelitik lidah menuju lambung, meminta untuk segera diisi. Di rumah hanya terdapat sisa nasi sarapan dan sebungkus kecil kerupuk kulit kembalian warung kemarin, sekejap rasa menggelitik berubah menjadi nyeri disudut perut hingga mencapai paha atas. Kaki kasarku mencari-cari alas pencegah ludah dan kencing mengenai kaki, melangkah perlahan menuju tempat pengobatan nyeri perut ini. Langkahku terhenti di depan sebuah warung kecil penuh suara kelakar yang memekakkan telinga. Mpok Sutri, wanita pemilik warung itu, memanggilku. Dengan kaku aku menunjuk kaca berisi banyak makanan penuh bumbu.

“Oi, Ganden! Sini kau!” Aku terkejut sejenak, menolehkan kepala mencari si pemanggil. Mataku menangkap sekumpulan tukang ojek pengkolan yang sering melebihkan ongkos melambaikan tangan ke arahku. Aku berjalan pelan menuju meja yang dipenuhi bapak-bapak berbau keringat dan rokok itu.

“Wah, lihat siapa ini, Pak, lama kali kau berjalan ke sini hah? Enggankah kau kemari Ganden!” suara lantang bergandeng dengan tawa menggelegar memekakkan telingaku. Bau rokok, jengkol, petai, sambal terasi, dan rendang bercampur dengan oksigen yang kuhirup sedikit demi sedikit. Bau sekali, sialan!

“Rambut dan kulitmu warnanya hampir sama, Nden, tidakkah kau ingin mengubah salah satunya agar kami bisa membedakan?” Mereka tertawa kembali, kali ini telingaku sudah panas luar biasa, badanku rasanya sangat gerah sampai mulutku ingin memaki-maki.

Alunan nada tak tentu itu akhirnya berhenti saat Mpok Sutri memanggil namaku. Pesanan nasi hangat dengan siraman bumbu gulai langsung memenuhi kepala, merangsang mulut memproduksi banyak ludah. Aku berdiri bersiap pergi meninggalkan sumber suara nista menyesakkan jiwa.

“Sudah mau pergi kau? Salam dululah kau ini.” Kutatap mereka sejenak, kuturuti perintahnya. Mulut penuh ludah kupaksa berbicara, assalamualaikum, namun mereka kembali tertawa.

***

Suara terompet kecil memenuhi pendengaranku. Seonggok daging berkulit ini terasa gatal, kakiku sudah mati rasa, nyeri jika digerakkan, kesemutan. Mataku terasa berat, menguap berkali-kali sampai berair seperti menangis. Kusudahi kegiatanku mengotak-atik kulkas rongsokan, sudah sangat reot dan perlu beli baru, mau diperbaiki macam apapun pasti akan rusak kembali. Jikalau pemilik kulkas ini kaya, pasti tak sudi mengambil jasaku yang dia bayar murah ini. Rakyat miskin memang saling menguntungkan.

Decitan pintu mengalihkan atensiku. Seseorang pria jangkung berkemeja dengan wajah lelah tengah berdiri di sana. Tiap langkah kaus kaki baunya diiringi napas berat yang amat berat, entah berapa banyak batu yang menyandungnya hari ini. Jejak bau kaos kakinya membuatku semakin penasaran.

Kuintip kamar gelap gulita itu, samar-samar terlihat kaos kaki putih menggantung di tepian kasur. Kuketuk pintu itu pelan sambil menyalakan lampu kamar. Pria itu tidur tengkurap mencium seprai berjamurnya. Kutepuk punggung itu agar dia bersedia memperbaiki posisi tidurnya. Lebih baik jika dia sekalian mandi, sungguh bau keringat yang bercampur parfum murahan sangat tidak enak.

“Ada apa?” tanyanya setengah bergumam. Mata sayu itu menatapku.

Mandilah dan tidur dengan benar. Dia mengalihkan wajahnya, melanjutkan tidur buruk yang tertunda.

Sudahlah, kubiarkan saja dia seperti ini, kumatikan lampu, dan bersiap menutup pintu, “Kau sudah salat?” dia bertanya dengan setengah sadar. Aku mengangguk.

“Bagus, jangan sampai rongsokanmu mengalihkan sajadahmu. Setidaknya kalau tak sukses di dunia, sukseslah di akhirat sana,”

Ucapannya semakin membuatku penasaran, apa yang sebenarnya terjadi dengan kau, bujang? Telah tersandung batu seratus kalikah kau hari ini?

***

Matahari sedang menggagahi bumi, memancarkan panas atas pelepasaannya, membuat semua orang menghindar tak ingin tersentuh gairahnya. Suara kipas angin tersendat-sendat menghibur siangku, melepas panas yang mendera sekujur tubuh, kali ini aku memperbaiki mesin cuci milik Mpok Sutri, pemilik warung makan langganan tukang ojek kemarin. Suara dentingan gelas mengalihkan atensiku, pria jangkung itu menatapku dengan senyuman aneh.

“Es teh untukmu.”

Terima kasih, tak sengaja pandanganku tertuju pada kalung salib perak yang menggantung di leher kurusnya. Pria itu merebahkan tubuhnya di sebelahku, menatap plafon penuh jamur dengan wajah mendamba kesenangan.

Kau ingin menceritakan sesuatu?

Dia tersenyum kecil, bersiap berbicara, “Menurutku, negara ini terlalu membanggakan ribuan adat kolot yang sudah tak sesuai perkembangan zaman, melarang hal yang tidak masuk akal,” dia mengubah posisinya menjadi tengkurap.

“Aku ingin menikah dengan seorang wanita cantik nan baik, namun…bapakku menolak tegas, dia bilang aku harus menikah dengan wanita satu suku denganku. Sialan, menyusahkan saja!” Dia mengubah posisinya menjadi duduk bersila, kemudian menyesap es teh sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.

“Aku akan membangkang bapak, kali ini dengan cara yang lebih tepat. Kau tahu? Tak seharusnya aku kemari, anak bungsu sepertiku seharusnya tak boleh merantau. Aku harus mengorbankan seluruh hidup pada keluarga, menetap disana dan menjadi anak mama papa.”

Mata hitam itu menatap karpet yang ia duduki, dengan pelan aku menyentuh lengannya, mengalihkan atensinya. Lalu apa yang akan kau lakukan? Dia tersenyum lebar. Suara guntur mengejutkanku, ah aku merasa langit sedang mendung, aku belum mengangkat jemuran.

“Aku akan pulang sebentar, menyelesaikan ini dengan berbagai cara, agar oran tua kolot itu tahu adatnya sudah tak cocok di zaman ini. Tak seharusnya dia terlalu menutup diri. Aku akan pergi sebentar dan kembali dengan membawa restu.”

Perutku geli mendengar ucapannya. Orang ini seperti burung hantu yang tak bisa disangkar, dan seperti anjing kecil yang melindungi majikannya. Aku iri dengan pria ini, bagaimanakah rasanya mendebat sesuatu dengan lantang, memaki jika kesal, dan pulang ke rumah jika kesepian.

“Kau pendengar yang baik kawan,” ucapnya sambil tersenyum lebar, menyadarkanku atas sesuatu.

Apa kau tidak merasa kita terlalu berbeda?

“Aku merasa, namun apalah artinya, setiap manusia dilahirkan berbeda agar tidak salah panggil nama, “

Sialan orang ini, pintar sekali membuat kelakar, membuatku tertawa sangat lepas. Darinya aku tahu bahwa dunia ini penuh perbedaan. Keberagaman yang berdampingan membuatnya menjadi indah, dan keberagaman yang saling menonjolkan akan menjadi kesengsaraan. Aku berharap pria ini akan kembali setelah tersandung batu ratusan kali, dan aku bisa tetap hidup dalam kesunyian yang Tuhan ciptakan, menunggu seekor merpati masuk ke rumahku sembari berkicau tanpa henti.

Sumber: https://www.detik.com/pop/culture/d-7755929/pria-jangkung-yang-kerap-tersandung.

  • jaringshafa

    JaringShafa adalah portal berita online yang menghadirkan informasi aktual, terpercaya, dan berimbang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *