Akhirnya, saya menamatkan buku ini juga. Usai membeli, sebenarnya saya sudah sempat membacanya hampir separuh dari total halaman. Hanya saja, kebiasaan jelek saya yang kadang-kadang tidak menamatkan sebuah buku, muncul lagi saat itu. Maka, saat hendak meresensinya, mau tak mau saya harus mengulang membaca dari awal meski saya masih samar-samar ingat jalan ceritanya.
Baiklah, sesudah membaca Splash in Seoul, pikiran saya melayang sewaktu masih di bangku SMU dan kuliah. Mengapa? Tumbangnya Orde Baru diikuti langkah Presiden Habibie membuka keran kebebasan pers, membuat media-media cetak tumbuh pesat. Salah satu di antaranya adalah media cetak bernapaskan Islam.
Perkenalan saya dengan kegiatan Islam di SMU, mau tak mau, membuat saya berkenalan dengan media-media tersebut, semisal Annida, sebuah majalah Islam remaja yang isinya lebih banyak didominasi fiksi. Beranjak kuliah, saya kemudian mengenal Karima, majalah remaja Islam lainnya. Secara langsung, kedua majalah ini dan majalah-majalah Islam lainnya memengaruhi pandangan saya di kemudian hari.
Lalu, seandainya ditanya, adakah bacaan fiksi yang pernah saya baca dulu membekas di ingatan? Jawabannya, ada. “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP), “Dan Malaikat pun Bersujud” (seingat saya), dan serial “Elang” di Karima, menjadi sederet kisah yang paling saya suka. Dua cerpen pertama, kalau tidak salah, ditulis penulis terkenal, Helvy Tiana Rosa, sementara serial “Elang” adalah karya Afifah Afra.
Di antara ketiganya atau bahkan fiksi-fiksi Islami, bisa jadi KMGP yang paling fenomenal. Isinya tentang Gita yang mendapat hidayah melalui kakaknya, Mas Gagah. Ya, hidayah, begitulah para aktivis Islam (kampus) kala itu menyebut seseorang yang sebelumnya tidak berjilbab hingga akhirnya berjilbab. Intinya, menjadi lebih baik lagi secara agama.
Dan, begitu pulalah kisah yang diangkat Puput Sekar melalui Splash in Seoul. Kisahnya sendiri mengenai Jingga, perempuan Indonesia yang berkesempatan belajar ke Korsel. Ia lalu berkenalan dengan Kim Young Han, anak konglomerat pemberontak yang memutuskan pergi dari keluarganya.
Dari kesan pertama yang tidak menyenangkan sewaktu bertemu, keduanya kemudian berteman. Kim Young Han yang sebelumnya tak ber-Tuhan sedikit demi sedikit tertarik dengan Islam melalui Jingga. Apalagi sebelumnya saat kuliah di Perancis, ia juga punya sahabat Muslim.
Baik Kim Young Han maupun Jingga saling suka, tetapi dipendam. Sementara itu, lelaki dari masa lalu Jingga bernama Prasetyo kembali hadir dalam kehidupannya. Kim Young Han lalu memutuskan menganut Islam dan menghilang sementara dari kehidupan Jingga yang membuat perempuan tersebut merasa kehilangan.
Berbeda dengan novel atau novela lainnya yang membuat saya butuh waktu agak lama untuk menuntaskannya. Waktu yang saya butuhkan membaca Splash in Seoul sekitar dua hari saja. Alasannya, isinya sangat ringan alias enggak perlu mikir.
Ketika membaca buku ini, saya lumayan sering senyum-senyum sendiri. Bagaimana tidak, karakter Kim Young Han ini mengingatkan saya akan Lee Min Ho yang bermain di Boys Before Flower dan The Heirs (mohon maaf, perbendaharaan K-Drama saya memang tidak banyak). Sosok laki-laki kaya, arogan, dan cuek yang akhirnya luluh kepada perempuan biasa-biasa saja.
Secara garis besar, kisah yang diangkat juga tidak menawarkan hal baru mengingat genrenya, romance religius. Dibanding fiksi-fiksi Islami yang pernah saya baca semisal KMGP, Splash in Seoul juga “tidak kaku” dalam memasukkan nilai-nilai Islam, seperti adegan saat Jingga dibonceng Kim Young Han.
Hal lain yang menjadi perhatian saya sejak membaca bagian awal novel ini terkait sosok Kim Jun Su, kakak Kim Young Han. Saya memang bukan penggemar drama Korea, tetapi sosok Kim Jun Su yang digambarkan sebagai seorang CEO serta konglomerat ini tentu saja mengingatkan saya akan sosok-sosok CEO yang pernah ada di drama Korea.
Pada awal cerita, dikisahkan Kim Jun Su menjemput Jingga di bandara, karena Jun Su adalah keponakan Profesor Lee yang tak lain penanggung jawab Jingga untuk urusan akademik selama di Korea. Pikiran saya, masak sih, sekelas CEO mau menjemput Jingga yang notabenenya bukan siapa-siapa Jun Su?
Saya sempat berharap akan ada penjelasan lebih lengkap mengapa Jun Su sampai rela pergi ke bandara demi Jingga atau seberapa dekat Jun Su dan Jingga. Namun, seingat saya, penulis tidak membahas hal ini lebih lanjut.
Berikutnya, yang menjadi catatan adalah sosok Prasetyo. Saya mengira, karakter ini akan mendapat porsi lebih di bagian-bagian berikutnya. Nyatanya, sosok Prasetyo “tiba-tiba” menghilang begitu saja. Saya bahkan sempat berpikir akan ada cinta segitiga antara Prasetyo, Jingga, dan Kim Youn Han. Nyatanya, tidak. Saya sampai menganggap Prasetyo ini hanyalah pelengkap atau pemanis cerita saja. Padahal latar belakangnya sudah dijabarkan cukup detail.
Selain kedua hal tersebut, hal lainnya yang cukup saya sayangkan tak ada dalam Splash in Seoul terkait sikap rasisme orang-orang Korsel terhadap warga asing, terutama yang berasal dari Asia Tenggara. Iya sih, memang enggak semua orang Korsel rasis, tetapi memasukkan hal ini bisa menjadi pelengkap bumbu cerita agar lebih menarik. Ngomong-ngomong, sebenarnya penulis pernah membahas hal ini kepada saya. Sayangnya, saya lupa karena sudah cukup lama.
Menurut saya, kisah Splash in Seoul ini kisah drama Korea pada umumnya dengan bumbu Islam. Seandainya kamu butuh bacaan ringan, buku ini bisa jadi pilihan, terutama untuk remaja atau yang sedang kuliah.
Judul : Splash in Seoul
Penulis : Puput Sekar
Penerbit : CV. Rumah Pustaka & Prudencia Publishing
Tahun : 2020
Tebal : 188 halaman
ISBN : 978-623-292-106-1
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply