Sekitar dua atau tiga tahun lalu, penulis historical fiction sekaligus mentor pertama menulis fiksi, Iksaka Banu, membuat status di facebook-nya. Saya lupa secara detail postingan tersebut membahas tentang apa. Namun, sepertinya postingannya mengenai peristiwa yang mengubah sejarah. Lalu, saya memberikan komentar, “seandainya Turki Utsmani tidak berhasil mengalahkan Byzantium dan menguasai Konstantinopel (Istanbul), apakah Belanda tidak akan menjajah nusantara (Indonesia)?” Lagi-lagi, saya lupa tanggapan Pak Banu.
Ya, bagaimana seandainya Konstantinopel di abad pertengahan yang saat itu menjadi penghubung antara dunia Timur dan Barat dalam hal perdagangan, gagal ditaklukkan alias Turki Utsmani di tahun 1453? Akankah Indonesia tetap dijajah Belanda? Dikuasainya ibukota Kekaisaran Byzantium tersebut oleh Turki Utsmani membuat pasokan rempah-rempah dari Dunia Timur ke Barat tersendat. Kerajaan-kerajaan di Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol, dan Portugis akhirnya melakukan penjelajahan samudra demi menemukan asal-muasal rempah-rempah yang kemudian berujung terjadinya kolonialisme. Takluknya Konstantinopel memang bukan menjadi satu-satunya faktor terjadinya penjelajahan samudra, tetapi peristiwa tersebut menjadi pemicu utama.
Dahulu kala, rempah-rempah nusantara menjadi primadona di Dunia Barat. Saking berharganya, nilainya bahkan setara emas atau lembu gemuk. Sayangnya masa kejayaan rempah-rempah sirna seiring nasib VOC yang bubar pada 1799. Belanda mengganti rempah-rempah dengan kopi, tebu dan tanaman komersil lainnya yang bisa diekspor mengingat permintaan dunia akan tanaman-tanaman tersebut meningkat yang kemudian berujung diadakannya tanam paksa.
Melalui buku, ini Penerbit Kompas sepertinya ingin mengajak pembaca bernostalgia untuk mengenang kembali rempah-rempah nusantara yang pernah merajai perdagangan dunia di masa lampau. Tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku ini sendiri merupakan hasil laporan jurnalistik yang pernah dimuat di Harian Kompas selama tahun 2017.
Andai saja tidak membaca buku ini, bisa jadi saya tak akan tahu bahwa dahulu, jalur perdagangan rempah-rempah juga terdapat di Sumatera Selatan melalui sungai-sungai yang ada di provinsi tersebut. Bahkan jalur sungai ini sudah sejak masa Sriwijaya. Melalui beberapa sungai inilah, lada, jintan, beras ,d an kunyit diangkut dari pedalaman ke pasar-pasar. Sayangnya, pamor sungai yang menjadi jalur perdagangan sekaligus penghubung antar daerah meredup saat Belanda menimbun sungai-sungai untuk dijadikan jalan serta membangun jaringan kereta api.
Kemudian, bergeser ke seberang, Bangka Belitung yang terkenal sebagai daerah penghasil lada (piper nigrum) dengan merek Muntok White Pepper. Ya, dibalik timah dan sawit, petani lada di daerah ini harus bertarung dengan keberadaan perkebunan sawit maupun tambang. Padahal, lada dari wilayah ini sudah menjadi incaran pasar dunia sebelum Perang Dunia II karena aroma dan cita rasanya yang khas. Hal ini tak lepas dari karakteristik iklim dan tanah di Bangka Belitung yang berbeda dari wilayah lain.
Jejak keberadaan lada yang dijuluki sebagai raja rempah (king of spices) ini juga terlacak di Banten. Meskipun berasal dari India, tetapi tanaman ini bisa tumbuh dengan baik di provinsi paling Barat di Pulau Jawa ini. Di abad pertengahan, Banten dikenal sebagai daerah penghasil lada. Bahkan lada juga digunakan Kesultanan Banten sebagai alat diplomasi dengan dunia internasional. Bekas kejayaan lada di Banten ini bisa dibuktikan dengan keberadaan bonggol-bonggol tua di Pandeglang yang sudah berusia ratusan tahun. Tingginya permintaan lada saat itu juga membuat Kesultanan Banten memerintahkan daerah-derah bawahannya seperti Lampung dan Sumatera Selatan untuk menanam lada.
Selain lada, rempah nusantara lainnya yang menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa adalah pala dan cengkeh. Kembali, andai saja tidak membaca buku ini, saya tentu akan lupa mengapa orang-orang Barat ketika itu bertaruh nyawa demi mencari sumber rempah di nusantara. Mengapa nusantara, tidak daerah lain? Karena cengkeh dan pala hanya tumbuh di nusantara. Dua tanaman ini asli nusantara dan hanya tumbuh di Kepulauan Maluku. Berbicara pala dan cengkeh, tentu saja, mau tak mau menyebut Kepulauan Banda.
Saking pentingnya kepulauan ini, bangsa-bangsa asing pun berduyun-duyun berusaha menguasainya dan mengontrol jalur perdagangan di wilayah ini melalui keberadaan Benteng Belgica, Nassau, dan Hollandia. Demi rempah pula, Belanda rela menukar Manhattan (New York) dengan Pulau Run yang dikuasai Inggris lewat Perjanjian Breda. Rempah-rempah juga yang membuat Belanda melakukan genosida terhadap orang-orang Banda pada 1621.
Kisah kejayaan Banda sebagai penghasil pala dan cengkeh di masa kini seolah tak berbekas. Sama seperti di Banten kejayaan daerah ini sebagai sumber rempah bisa disaksikan melalui pohon-pohon tua berukuran raksasa. Baik pemda maupun masyarakat setempat pun berusaha mengangkat kembali pamor alam Banda dalam bentuk wisata alam (diving) dan wisata tur rempah. Keterikatan akan rempah-rempah pula yang membuat sejumlah orang seperti dua bersaudara Claay dan Ray Paays jauh-jauh datang dari Belanda ke Banda untuk menelusuri jejak nenek moyang mereka sebagai parkenier (pemilik perkebunan) pala dan Mita Alwi (cucu sejarawan Maluku, Des Alwi) yang bergerak di bidang pendidikan anak-anak.
Lewat buku ini juga, pembaca akan mengetahui bahwa tak hanya Maluku saja sebagai penghasil pala dan cengkeh. Di Sulawesi Utara, tepatnya di Minahasa dan Pulau Siau yang juga menghasilkan cengkeh dan pala. Bahkan pala Siau yang berjenis Myristica fragrans Houtt yang mendominasi perdagangan pala duni serta sudah mengantongi sertifikat Indikasi Geografis (IG). Namun, sama seperti daerah-daerah penghasil rempah lainnya di Indonesia, sejumlah kendala masih menjadi hambatan termasuk penanganan pasca panen.
Buku Rempah Nusantara rasanya sangat cocok untuk dibaca terutama bagi pemula yang tertarik akan sejarah rempah-rempah. Dengan bentuk artikel populer, tulisan-tulisan di buku ini bisa menjadi referensi awal sebelum membaca lebih lanjut buku-buku sejarah rempah lebih mendalam seperti Petualangan Pedagang Rempah (Giles Milton), Rempah-rempah (Roger Crowley), Genosida Banda (Marjolein van Pagee), dan Persaingan Eropa & Asia Di Nusantara: Sejarah Perniagaan 1500-1630 (M.A.P. Meilink-Roelofsz).
Keterangan Buku
Judul : Rempah Nusantara
Penulis : Tim jurnalistik Kompas
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : 2021
Tebal : 122 halaman
ISBN : 978-623-241-473-0
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply