Beberapa teman memberi saya buku. Sayangnya saya belum menyelesaikan membaca buku-buku tersebut. Saya memang kadang-kadang punya kebiasaan buruk, membaca, tapi tidak mampu menamatkannya alias baca separuh atau seperempat lalu tergoda denga buku lain atau ada hal lainnya yang membuat saya berpaling. Maka, akhir-akhir ini saya membuat jadwal buku-buku hasil pemberian teman mana saja yang harus saya baca. Membaca hingga selesai lalu syukur-syukur bisa membuat resensinya menjadi cara saya untuk menghargai pemberiannya.
Buku Narasi Gurunda menjadi salah satu buku yang harus saya baca sampai selesai. Buku ini diberikan seorang kenalan saat saya mewawancarainya untuk sebuah artikel di tahun 2022 lalu. Kebetulan, ia juga blogger yang sudah punya nama. Narasi Gurunda merupakan karyanya yang berisi kisah hidup KH. Ahmad Taufiq Kusuma yang tak lain ayahnya dari Jihan Mawaddah, sang penulis.
Jujur, sebagai orang yang terpaksa ‘nyemplung’ ke Muhammadiyah gara-gara menikah dengan kader Muhammadiyah, saya awam dengan nama KH. Ahmad Taufiq Kusuma. Dari cerita suami, akhirnya saya mengetahui sekilas tentang sosoknya. KH. Ahmad Taufiq Kusuma pernah menjabat Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang. Menurut suami juga, di antara kader-kader Muhammadiyah, beliau termasuk kader yang berhasil kmendidik anak-anaknya kader aktif di Muhammadiyah. Suatu hal yang tak banyak orang bisa melakukannya.
***
Jihan Mawaddah mencoba merekam perjalanan KH. Ahmad Taufiq Kusuma melalui buku ini. Jihan, panggilan akrabnya, memulai kisah hidup sang ayah, saat sang ayah masih berada di Jombang, Jawa Timur. Meskipun latar belakang keluarga dari pihak ayah cukup mentereng karena anak seorang lurah dan hidup berkecukupan, tetapi, Taufiq, begitu ia biasa dipanggil, menjalani kehidupan yang sangat sederhana.
Taufiq tidak lama tinggal di Jombang, bersama keluarganya, mereka kemudian pindah ke Mojokerto. Di kota baru ini, jarak dari rumah ke sekolah lebih dekat ketimbang sewaktu di Jombang (harus naik kereta api selama 2 jama untuk menuju ke sekolah). Kendati demikian, bukan berarti kehidupan orang tua Taufiq lebih baik ketimbang di Jombang. Rumah yang mereka tempati terbuat dari bambu (gedeg). Tak hanya itu saja, Taufiq juga harus membantu emaknya berjualan kue.
Sulitnya kondisi ekonomi keluarganya ketika itu juga turut membuat Taufiq harus mengubur keinginan untuk pergi rekreasi bersama teman-temannya. Meskipun masih sekolah, jiwa wirausaha Taufiq juga muncul dengan berjualan mainan. Sementara itu terkait pendidikan, Taufiq memiliki keinginan untuk berkuliah. Sebagaimana anak-anak sebaya di lingkungannya, Taufiq tak tergoda untuk bekerja di pabrik sepatu usai lulus sekolah.
Sesudah lulus SMU, Taufiq meneruskan pendidikan di Malang. Sebelum pergi, ayahnya berpesan agar tidak meninggalkan salat malam dan mengaji. Di Malang, sebagaimana anak yang nge-kost pada umumnya, Taufiq juga harus bersiasat agar uangnya tak cepat habis seperti patungan dengan teman sekamar untuk masak bareng.
Selama kuliah, Taufiq pernah menjadi guru mengaji untuk anak orang Arab kaya. Berkat menjadi guru ngaji inipula, Taufiq bisa makan enak. Uang dari hasil les privat ini ia gunakan untuk membayar uang SPP. Ia juga pernah menajdi guru ekstrakulikuler Pramuka di sebuah sekolah swasta. Walaupun sibuk dengan kegiatan di luar kampus, Taufiq juga aktif berorganisasi. Terkait ini, ia menganut filosofi Cina bahwa lebih baik menjadi kepala ayam daripada ekor sapi. Ia mengibaratkan kepala ayam seperti seorang pemimpin yang tentu saja tugasnya lebih berat. Intinya, lebih baik jadi pemimpin dan jangan puas hanya dengan menjadi ekor saja.
Di usia muda juga, Taufiq sudah diangkat menjadi sekretaris pimpinan cabang Muhammadiyah sekaligus ketua ranting. Taufiq juga tak lagi memberatkan orang tuanya terkait biaya kuliah karena mulai semester 2 ia tak lagi minta jatah bulanan dari emaknya. Selain menjadi guru privat dan ekstrakulikuler, Taufiq juga menjadi guru sekolah swasta dengan gaji yang tak tentu.
Rasanya tak lengkap membaca biografi seorang tanpa membahas kisah cinta yang bersangkutan. Kisah Taufiq bertemu dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya juga turut dibahas penulis. Bisa dibilang ia mengalami cinta pada pandangan pertama sewaktu melihat pertama kali sang istri di momen perlombaan qiroah di sebuah kampus. Ketika itu Sri Herawati menjadi peserta lomba qiroah. Lantunan ayat-ayat suci yang dibawakan Sri Herawati ternyata mampu ‘membius’ Taufiq. Tak disangka keduanya kemudian bertemu kembali di sekolah, tempat mengajar. Tanpa diduga Sri Herawati ternyata menjadi guru pengganti.
Taufiq yang sedari awal sudah memendam perasaan kepada Sri Herawati akhirnya memberanikan diri untuk melamar perempuan tersebut. Jalan menuju pelaminan bukan tanpa hambatan. Sri Herawati yang ibaratnya sebagai kembang desa juga turut diperebutkan laki-laki lain yang secara ekonomi jauh lebih mapan. Belum lagi sang ayah yang lebih mendukung laki-lain lain untuk menjadi anaknya. Dukungan agar menerima Taufiq justru datang dari kakek dan neneknya.
Seperti kebanyakan pasangan sesudah menikah lalu memiliki anak, kondisi perekonomian pasangan ini belum baik. Tekanan juga datang dari ayah Sri Herawati. Meskipun dalam kondisi sulit, tetapi Taufiq mengupayakan agar anak-anaknya mendapat gizi terbaik. Usai hamil anak pertama dan kedua, Sri Herawati lalu mengandung anak perempuan yang memang sangat dinantikan Taufiq, tak lain adalah Jihan Mawaddah. Kebahagian pasangan ini juga makin bertambah setelah keduanya diterima sebagai PNS.
Sebagaimana Rasulullah yang mengalami tahun kesedihan setelah kematian Siti Khadijah, begitu pula yang dialami Sri Herawati sewaktu ditinggal selamanya oleh sang ibu. Usai melahirkan anak ke empat, ia mengalami kedukaan berkepanjangan yang memengaruhi kondisi fisiknya hingga dokter memperkirakan kesempatan hidupnya hanya 20 persen saja. Namun, berkat pertolongan Yang Mahakuasa, ujian tersebut bisa dilalui. Kesedihan kembali menghampiri Sri Herawati begitu mendapati sang kakek juga meninggal dunia setelah itu.
Beberapa waktu kemudian, kesedihan juga menyelimuti Taufiq, bapaknya meninggal diikuti sang adik yang tiada saat melahirkn lalu kematian sang ibu.
***
Buku ini ditutup dengan epilog yang berkisah tentang fitnah besar yang pernah menimpa KH. Ahmad Taufiq Kusuma yang dituduh melakukan korupsi di organisasi yang ia pimpin yaitu Muhammadiyah. Usai menamatkan buku ini, saya merasa masih ada yang mengganjal. Ya, apalagi kalau bukan mengenai kiprah KH. Ahmad Taufiq Kusuma di organisasi tersebut. Penulis memang sempat membahas keterlibatan sang ayah. Namun, porsi yang disajikan menurut saya amat sedikit.
Padahal, sebelum menuntaskan Narasi Gurunda, saya berpikir buku ini tentu saja akan membahas kiprah beliau di Muhammadiyah mengingat jabatan yang pernah diembannya. Ya, saya sepakat dengan Wida Muhajir dalam testimoninya di halaman awal. Saya juga menunggu kelanjutan kisah berikutnya yang membahas secara khusus kiprah KH. Ahmad Taufiq Kusuma di Muhammadiyah. Apalagi dari cerita yang saya dapat dari suami, beliau menjabat selama 2 periode. Saya yakin, banyak sekali kisah inspiratif atau hikmah yang bisa diambil selama beliau berkecimpung di Muhammadiyah, mulai dari awal keterlibatan di organisasi hingga saat menjabat sebagai pemimpin pucuk.
Yang jelas, saya sangat mengapresiasi sekali keberadaan buku ini di tengah minimnya tulisan biografi tokoh-tokoh Muhammadiyah Kota Malang. Entah, apakah kurangnya minat literasi di kalangan warga Muhammadiyah sendiri terbilang rendah atau ada faktor lainnya sehingga kisah hidup mereka luput untuk diabadikan. Ya, semoga saja, di masa depan sepak terjang para tokoh Muhammadiyah Kota Malang bisa ditulis. Syukur-syukur yang menulis adalah anak atau cucu yang bersangkutan. Tentu saja, seandainya ada niat untuk menulis buku biografi sebaiknya mencari banyak referensi dengan cara membaca buku-buku biografi lainnya.
Sejujurnya, buku biografi merupakan salah satu jenis buku bacaan favorit saya. Membaca Narasi Gurunda, mengingatkan saya akan buku Ayah… yang ditulis Irfan Hamka. Buku Ayah… berkisah mengenai kehidupan Buya Hamka dari sudut pandang sang anak. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca seandainya ada kader Muhammadiyah yang hendak menulis biografi sang ayah. Ngomong-ngomong, beberapa bagian dari buku karya Jihan ini juga mengingatkan saya akan isi buku Ayah… karena kisahnya yang mirip yaitu baik Buya Hamka maupun KH Taufiq Kusuma, sama-sama pernah ‘diganggu’. Begitu juga dengan fitnah yang juga pernah menimpa Buya Hamka.
Catatan lain yang menjadi perhatian saya dari buku ini adalah penulisan dialog tag. Berhubung saya baru benar-benar serius belajar menulis fiksi di tahun 2020, saya sampai membuka-buka novel yang saya beli sebelum tahun 2019 (tahun buku ini terbit pertama kali) untuk melihat penulisan dialog tag.
Entah apa karena ketidaktahuan penulis atau editor yang ‘miss’ sehingga penulisan dialog tag dari awal sampai akhir mengalami kesalahan. Sebagai contoh, dialog tag di halaman 27, “Jadi kapan kita berangkat Mak?” Tanya Hud. Penulisan kata tanya seharusnya diawali dengan huruf kecil. Begitu pula dialog-dialog tag lain di halaman-halaman berikutnya. Bagi saya pribadi yang sedikit paham kaidah penulisan, kesalahan ini cukup menganggu kenyamanan sewaktu membaca.
Berikutnya, terkait pemilihan subjudul yaitu Rumah Bambu (hal 31), Celengan Ayam (hal 61), dan Ibu Kos yang Malang (hal 67). Setahu saya, dari pengalaman membaca terutama buku-buku biografi, pemilihan sub judul ini biasanya adalah penjelasan dari isi yang ada. Menurut saya pribadi, ketiga subjudul tidak mencerminkan kisah yang dibahas. Semisal pada Ibu Kos yang Malang, kisah ibu kos ini hanya muncul sebagai pembuka saja sementara kisah yang mendominasi berupa upaya Taufiq mencari penghasilan demi menyambung hidup sebagai anak kos serta membiayai kuliah. Begitu pula pada Rumah bambu yang lagi-lagi dibahas sekilas saja di paragraf pembuka.
Hal lain dari buku ini yang menarik perhatian saya adalah kesan mengenai KH. Ahmad Taufik Kusuma dari anak-anak serta mantu beliau. Membaca tulisan mereka, saya mengambil kesimpulan bahwa sosok KH. Ahmad Taufiq Kusuma sebagai ayah benar-benar hadir dalam kehidupan anak-anaknya. Ini juga bisa menjadi sudut pandang lainnya yang menarik untuk ditulis mengingat masalah fatherless kerap dijumpai. Secara fisik, ayah memang ada untuk anak-anak mereka, tetapi hati ayah belum tentu hadir di antara buah hati mereka.
Keterangan Buku
Judul : Narasi Gurunda
Penulis : Jihan Mawwadah
Penerbit : Wadah Baca Masyarakat Sanggar Caraka
Tahun terbit : 2020 (cetakan kedua)
Tebal : 161 halaman
ISBN : 978-623-92548-1-0
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply