Ketertarikan saya terhadap Alexandria sebenarnya sudah berlangsung lama. Siapa sih yang enggak penasaran dengan kota yang punya nama lain Iskandariyah ini? Sebagai kota tua yang masih eksis hingga sekarang, menurut saya, sejarah Alexandria selalu menarik untuk diketahui.
Puncak keingintahuan saya terhadap kota ini terjadi usai menonton film Agora (2009) yang dibintangi Rachel Weisz. Meskipun penampakan lanskap Alexandria tidak begitu banyak di film ini, tetap saja hal tersebut menggugah rasa ingin tahu. Maka, sewaktu ada diskon besar-besaran yang diselenggarakan toko buku online di marketplace, saya pun memutuskan untuk membeli buku Alexandria: Jejak Sejarah dan Peradaban Kota Keajaiban Dunia Kuno.
Judul : Alexandria, Jejak Sejarah dan Peradaban Kota Keajaiban Kuno (diterjemahkan dari Alexandria: A History and A Guide)
Penulis : Edward Morgan Forster
Penerjemah : Adi Toha
Editor : Nadya Andwiani
Penerbit : PT Pustaka Alvabet
Tahun Terbit : 2022
Jumlah halaman : 360 halaman
Herodotus pernah menyebut Sungai Nil merupakan anugerah bagi Mesir. Hal ini pula yang membuat Edward Morgan Forster selaku penulis buku ini memulai kisah Alexandria dengan keberadaan sungai tersebut. Selanjutnya, penulis asal Inggris itu menyebut mengenai Rhakotis, sebuah kota di pesisir Mesir yang kelak menjadi Alexandria.
Lalu, berbicara mengenai Alexandria, tentu tak bisa dilepaskan dari nama Alexander Agung, Raja Makedonia sekaligus salah satu penakluk hebat yang sering disebut dalam sejarah. Usai menaklukkan Mesir dan sekitarnya, Alexander Agung kemudian mendirikan sebuah kota yang berada di tepi pantai yang diarsiteki Dinocrates. Kota baru ini dimaksudkan sebagai penghubung kerajaan barunya di Mesir dengan Makedonia. Sayangnya, sesudah memberikan perintah, Alexander Agung tak pernah melihat kota itu karena keburu meninggal dunia. Jenazahnya pun dimakamkan di pusat Alexandria.
Wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukkan Alexander Agung kemudian dibagi-bagi untuk para jenderalnya. Salah satunya, Ptolemaios I Soter yang memperoleh Alexandria. Kelak, Dinasti Ptolemaios ini yang menjadi penguasa di kota itu. Meskipun berada di Mesir, sesungguhnya Alexandria bukanlah bagian dari Mesir, mengingat penguasanya adalah orang Yunani serta lebih merupakan bagian dari Mediterania. Kendati begitu, para penguasa dari Dinasti Ptolemaois ini memainkan peran sebagai firaun untuk melegitimasi kekuasaannya, termasuk juga membangun kuil-kuil kuno.
Pembangunan Alexandria sebagai kota metropolitan di Mediterania setelah kematian Ptolemaois I Soter lalu dilanjutkan para penerusnya. Setidaknya, ada sejumlah bangunan penting di kota ini seperti mercusuar di Pulau Pharos, Mouseion (semacam institusi pendidikan), Kuil Serapis untuk memuja Dewa Serapis yang merupakan perpaduan dari Osiris dan Dewa Banteng, Apis, dan makam kerajaan. Selama itu pula, seni budaya dan keilmuan berkembang di Alexandria, terutama berkat keberadaan institusi pengetahuan, Mouseion (asal mula kata museum).
Usai kematian Ptolemaios III alias Euergetes di tahun 222 SM, dinasti ini mengalami kemunduran karena tak ada pemimpin yang cakap hingga muncul Cleopatra yang berhasil memikat dua lelaki Romawi, Julius Caesar dan Mark Antony. Sebagaimana yang tergambar dalam film Cleoptara (1963), kekuasaan Dinasti Ptolemaois di Alexandria berakhir usai kekalahan armada gabungan Mark Antony dan Cleopatra di Perang Actium. Cleopatra bunuh diri. Alexandria pun menjadi bagian dari provinsi Kekaisaran Romawi.
Kemudian, Forster juga membahas tentang periode Kekristenan di Alexandria. Diceritakan, agama ini diperkenalkan St. Markus. Karena menolak menyembah Kaisar Romawi, Kristen di Alexandria sempat mengalami penindasan mengakibatkan sejumlah orang menjadi martir. Di kota ini pula, terjadi perselisihan antara 2 tokoh Kristen, Arius dan Athanasius, mengenai sifat Kristus sehingga terjadi Konsili Nicea.
Usai Konsili Nicea yang lebih menerima pendapat Athanasius, Kekristenan di Alexandria diperintah golongan biarawan yang terbilang fanatik. Sebagaimana tergambar dalam film Agora, golongan ini menyerang kaum pagan. Puncaknya, pembunuhan terhadap Hypatia di tahun 415 M. Golongan biarawan ini anti-Yunani, kelak menjadi Koptik yang memiliki arti Mesir. Selain menjadi mercusuar pengetahuan, Alexandria juga dikenal sebagai kota spiritual dengan keberadaan ajaran Kristen, Yahudi, dan neo-platonisme.
Buku panduan melakukan perjalanan ke Kota Alexandria. Begitulah kesan saya usai menuntaskan buku ini. Terbagi menjadi dua bagian; Sejarah dan Peradaban, Forster mengajak pembaca terlebih dahulu menelusuri jejak sejarah Kota Alexandria.
Pembahasan mengenai ini cukup menarik. Saya menjadi lebih tahu detail mengenai sejarah kota ini termasuk asal-usul Dinasti Ptolemaios yang ternyata berasal dari Yunani (ya, walau sebenarnya sudah dibahas juga di film Alexander karya Oliver Stone). Pengaruh Yunani ini pula yang pada akhirnya memengaruhi kebudayaan masyarakat Alexandria (helenisme), sebagaimana yang tergambar pada bentuk Dewa Serapis yang disembah orang-orang Alexandria saat itu.
Tak luput juga, penulis menyisipkan bagaimana wajah Alexandria dalam kekuasaan Islam serta di era modern. Saat penaklukan Amr bin Ash terhadap Mesir, mau tak mau, Alexandria pun termasuk di dalamnya. Hanya saja, entah mengapa saya kurang sreg sewaktu Forster memulai kisah ini dengan kata-kata, “Sekarang kita mendekati bencana” sebagai pembukanya.
Semula, saya berpikir akan menemukan kerusakan-kerusakan yang tak terhingga sewaktu pasukan Islam menyerang kota ini. Namun, ketika membaca lebih lanjut bagian ini, bisa jadi kalimat pembuka tersebut muncul karena sejak dikuasai Islam, pamor Alexandria sebagai mercusuar peradaban makin meredup karena tidak memiliki pemahaman historis tentang kota tersebut.
Hal ini berbeda sewaktu Forster menulis bagian Cleopatra dengan pembahasan mengenai Pertempuran Alexandria yang melibatkan Julius Caesar serta mengakibatkan terbakarnya Perpustakaan Alexandria. Tak ada kalimat tendensius yang diungkapkan Forster.
Sejauh membaca bagian Sejarah ini, saya sangat terbantu untuk memahami bagaimana sejarah kota ini. Hanya saja, di sub bagian berjudul “Daratan dan Perairan”, saya kurang paham. Bisa jadi karena pengetahuan saya akan geografi Sungai Nil tidak banyak.
Setelah memberi penjelasan tentang Alexandria dari masa ke masa, Forster kemudian menjelaskan bagaimana keadaan kota tersebut melalui bagian Peradaban. Untuk bagian ini, saya lebih suka menyebutnya sebagai reportase Forster sewaktu mengunjungi Alexandria. Ya, buku yang terbit pada 1922 ini merupakan hasil kunjungan penulis saat bertugas di Alexandria di tahun 1915.
Pada bagian ini, saya memberikan acungan jempol karena Forster dengan detail mengulas setiap tempat yang ia kunjungi seperti alun-alun kota, Museum Yunani-Romawi, Istana Ras El Tin, Ramleh, dan beberapa tempat lainnya.
Dari sini juga, saya jadi lebih tahu tentang salah satu keajaiban dunia kuno, Mercusuar Alexandria yang dibangun Sosotratus dan berdiri di Pulau Pharos. Selama berabad-abad, mercusuar ini mampu bertahan. Pada masa periode kekuasaan Islam, bentuk mercusuar ini berubah drastis. Dalam bukunya, Forster menggambarkannya dalam 3 bagian, termasuk Benteng Kait Bey yang berdiri di bekas bangunan Mercusuar Alexandria.
Secara umum, membaca buku ini sangat membantu wawasan saya akan Alexandria. Hanya saja, karena tidak pernah ke kota ini, jadi penjelasan detail yang Forster tulis terkait tempat-tempat yang dikunjunginya belum mampu membangkitkan imajinasi saya. Hal lain yang menjadi kesimpulan usai membaca buku ini adalah Alexandria juga punya peran penting dalam sejarah Kekristenan dengan adanya situs-situs Kristen era lampau beserta para tokohnya.
Buku ini juga membuyarkan ekspektasi saya tentang kisah Hypatia lebih lanjut. Ketika membeli buku ini, saya membayangkan akan ada penjelasan panjang sosok Hypatia. Ternyata saya salah, karena porsi tentang Hyaptia sangat sedikit. Akhirnya, saya memakluminya. Di samping itu, walau Forster juga membahas sejarah Alexandria di masa modern, tetapi, percayalah, membaca sejarah awal kota ini lebih mengasyikkan.
Akhir kata, sebelum Anda berencana mengunjungi kota ini, saya sarankan untuk membaca buku ini.
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply