Pulang kepada Kenang
Pulang kepada kenang
Ibu menyalakan kayu di tungku
Pulang kepada kenang
Bapak menyalakan lampu petromaks
Pulang kepada kenang
Menonton televisi hitam-putih
dari jendela rumah tetangga
Pulang kepada kenang
Mengayuh sepeda kumbang seperti milik guru Oemar Bakri
Pulang kepada kenang
Mengunyah singkong rebus, kacang rebus, dan mencuri seruput kopi tubruk Bapak
Pulang kepada kenang yang bikin senang
Ngaso sebentar dari carut-marut
silang kusut pikiran setengah tuaku.
Makassar, 28 Februari 2025
*Oemar Bakri tokoh dalam lagu Iwan Fals berjudul “Guru Oemar Bakri” (1981)
Ua Matao
Ua Matao, kusebut namanya di sini
Bukan nama sebetulnya
Ia laki-laki yang sepanjang hidup berdukalara dengan daun-daun nipa
Laki-laki penjahit atap
Yang dinding rumahnya koyak
Atap rumahnya bolong-bolong
Alangkah menggelikan, seperti penatu yang bajunya berdebu
Seperti darji yang bajunya carik
Seperti pengrajin sandal yang telanjang kaki
Ua Matao terus berdenyut, “Habis atap jadi beras. Biar panas biar hujan, asal perut tenteram.“
Makassar, 28 Februari 2025
Tamasya
Hari minggu yang libur
aku pergi tamasya ke tubuh puisi
untuk menyembuhkan penat
hidup yang dikejar dan mengejar
Hatiku merasa damai
Laksana menyaksikan ombak di pantai
dan menikmati sapuan angin yang merambati kulit
Laksana mendengar seruan camar ketika senja memijar
Puisi menjamuku dengan secawan kata-kata
yang menuntaskan dahaga
puisi memberiku tamasya yang asyik
sebab tak menagih uang tiket dan parkir
Hari minggu yang libur
aku tamasya ke tubuh puisi
yang cuma-cuma dan menenangkan
Makassar, 12 April 2025
Kutemui Engkau di Sebuah Halaman Buku
Kutemui engkau di sebuah halaman buku
Pada alamat yang abadi “Peringatan” ataupun “Bunga dan Tembok”
Di sana engkau sedang menyeru
Aku datang kepadamu bagaikan lebah kepada bunga
Ingin kupetik sari pati itu dan menitiskannya menjadi kata-kata
Kata-kata yang mengandung dirimu dan juga aku :
Kita yang kerdil dan tak didengar
Kita ini memang bisik
Tetapi bisik yang tahu
Ke mana angin harus berlalu
Makassar, 12 April 2025
Senandung Hujan
/Hujan di Ibu Kota
Hujan lebat di ibu kota
Air menelan jalan
Menenggelamkan rumah-rumah
Di hotel Raja mengungsi
Jelata bernaung di rumah ibadah
/Hujan di Desa
Turun di sawah sepanjang bulan
Padi menggigil
Walang sangit dan wereng pesta pora
Petani memandang jauh hamparan
Menanam doa di dadanya
/Hujan di Rumahku
Ting ting ting
Bukan bunyi hujan di atas genting
Itu bunyi hujan di dalam panci
Jatuh dari langit menerobos atap rumahku
Cendawan merayap di plafon
Semut-semut berbaris di dinding
Aku dan ampas kopi dihajar dingin
/Hujan di Mata Ibu
Asin
Laut yang mati
Sepanjang usia menampung letih
“Kita ini pengembara, yang suatu hari akan pulang.”
Makassar, Februari 2025
Lahir di Kolonodale, Sulawesi Tengah. Saat ini tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa puisi dan cerita pendeknya telah dimuat di berbagai media, baik lokal maupun nasional.
Leave a Reply