Mengumpulkan Buih

  • Za'idatul Uyun Akrami
14 Mei 2025 - 03:38 WIB 2 Comments 194
Ilustrasi Mengumpulkan Buih. (Sumber: Dall-E)
Ilustrasi Mengumpulkan Buih. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

DI antara berbagai rupa manusia, Sanggurdi berjalan dengan bangga. Dia percaya diri mengingat apa yang sudah dikerjakannya di masa lalu. Sesekali laki-laki itu tersenyum melihat orang lain kepayahan, bersyukur karena dia tak terlalu lelah seperti mereka. Dia mengira-ngira bagaimana mereka bisa kepayahan, mungkin saja banyak hal buruk yang sudah dilakukan di masa lalu. Seharusnya, mereka mengumpulkan amal baik di dunia, ujarnya dalam hati.

Perlahan tapi pasti, layar besar penghakiman sudah terlihat dari kejauhan. Entah sudah berapa lama Sanggurdi berjalan bersama orang lain di sekitarnya, tinggal menunggu giliran dipanggil. Satu per satu manusia disebut namanya, barisan Sanggurdi semakin merangsek ke depan. Sanggurdi dengan takzim menonton bagaimana orang-orang diberikan perhitungan. Seseorang yang sedang diadili di depan sana meringis-ringis di hadapan para malaikat. Laki-laki itu berdalih tak mengingat pernah melakukan apa yang dituduhkan. Lagi-lagi Sanggurdi tersenyum, dia merasa beruntung karena di dunia dia selalu mencatat kegiatan yang dia lakukan di sebuah jurnal. Wajar lupa dan alpa di dunia, kalau di sini seharusnya tidak, ujarnya lagi dalam hati.

“Nurdin bin Karim!”

Sanggurdi tidak asing dengan nama itu. Nurdin adalah driver ojek online yang tinggal di ujung gang perumahan tempatnya tinggal. Sanggurdi penasaran dengan catatan amal Nurdin, karena berdasarkan ingatannya, Nurdin adalah orang yang biasa-biasa saja di perumahan itu. Tidak kaya, tapi juga tidak melarat. Sanggurdi tidak pernah melihat Nurdin ikut salat berjamaah di masjid karena selalu keluar sampai malam. Dia pernah mendengar dari para tetangga kalau Nurdin kadang kesusahan uang sehingga Sanggurdi pernah ingin membantu, tetapi Nurdin menolak dengan halus. Lebih banyak yang lebih membutuhkan, kata Nurdin.

Layar besar menyorot wajah Nurdin. Laki-laki yang meninggal di usia muda ketika akan pulang ke rumah itu tampak pasrah. Timbangan amal naik-turun antara kebaikan dan keburukan. Semakin sedikit sisa amal yang akan dihitung, semakin jelas kekhawatiran di wajah Nurdin.

Di dalam rekaman terakhir yang diputar, terlihat Nurdin menangis di trotoar karena pesanan fiktif yang diterimanya. Padahal, dia sudah menghabiskan hasil mengojeknya hari itu untuk membayar pizza yang telah dipesan. Malam sudah mulai larut, Nurdin bingung. Dia memutuskan untuk membawa pesanan itu pulang untuk diberikan kepada anaknya. Namun, di tengah jalan, dia melihat para gelandangan yang tidur di emperan toko dan memutuskan untuk memberikan mereka saja. Setelah pergi dari tempat itulah Nurdin meninggal. Baru diketahui ternyata gelandangan yang diberikan pizza oleh Nurdin belum makan seharian. Amal itu membuat pahalanya melonjak tinggi hingga membebaskannya dari ancaman neraka.

Sanggurdi tersenyum melihat kejadian itu. Amal baiknya lebih banyak dari Nurdin, ia pasti bisa melenggang dengan leluasa.

“Sanggurdi bin Naim!”

Sanggurdi maju dengan membusungkan dada. Sudah saatnya dia menuai kebaikan-kebaikan yang dilakukannya di dunia, pikirnya.

Namun, alangkah terkejutnya laki-laki itu ketika malaikat mengatakan bahwa dia hanya punya sedikit amal kebaikan.

“Tidak mungkin, Tuan Malaikat! Anda pasti salah hitung,” sanggah Sanggurdi.

“Tidak ada kesalahan sekecil apa pun di hari perhitungan,” balas seorang malaikat yang berwajah kasar. Mendengar ucapan itu, bayangan api neraka yang akan menjilati tubuhnya menyergap Sanggurdi, dia harus memperjuangkan haknya di hadapan Tuhan. Bagaimana mungkin kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukannya di dunia tidak tercatat sama sekali. Pasti ada kesalahan, pikirnya.

“Saya sudah mencatatnya, untuk jaga-jaga kalau-kalau ada yang terlewat. Izinkan saya menunjukkan catatan saya.”

Sanggurdi membuka buku jurnalnya.

“Di hari ini tahun segini, saya memberi makan anak kucing telantar.”

Malaikat memutar rekaman perbuatan yang dimaksud. Sanggurdi yang sedang berjalan sepulang dari sekolah melihat seekor kucing yang kotor dan kerdil. Kucing itu sangat kurus. Di dekat tempat itu, ada sebuah toserba. Sanggurdi merogoh saku celananya, hanya ada uang dua puluh ribu di sana.

“Tunggu di sini, ya, kucing manis,” ucap Sanggurdi muda.

Di dalam toserba, dia menemukan makanan untuk kucing di bawah usia satu tahun. Ketika Sanggurdi melihat harga per bungkusnya setengah dari uang yang dimilikinya, dia ragu sejenak. Namun, ditepis keraguan itu karena pernah mendengar sebuah kisah tentang pelacur yang dimasukkan surga karena memberi minum seekor anjing.

“Ya, itu memang masuk amal kebaikanmu,” kata malaikat memecah konsentrasi Sanggurdi yang menatap puas pada dirinya sendiri di video itu.

“Ada lagi bahan sanggahanmu?” tanya malaikat.

Sanggurdi menyebut satu per satu kegiatan yang sudah dituliskannya di jurnal itu. Malaikat yang melakukan tugas perhitungan selalu menjawab, “Ya, itu memang masuk amal kebaikanmu.”

Sanggurdi semakin semangat. Ada titik terang untuk protes yang dilakukannya. Kalau sudah begitu, dia yakin timbangan amal kebaikannya justru akan berbalik lebih berat dari amal keburukannya.

“Hari ini, bulan ini, tahun ini, saya menyumbangkan paket sembako di kampung kumuh pengepul sampah,” ucap Sanggurdi bangga.

“Itu tidak masuk amal kebaikanmu.” Malaikat yang sedang ada di depannya tidak pernah mengubah ekspresi bengisnya. Karena mendengar hal itu, Sanggurdi terlonjak kaget. Padahal, itu adalah kali pertama dia menyumbang dalam jumlah besar dalam hidupnya.

“Bagaimana bisa?” sanggah Sanggurdi.

“Bukankah itu hanya konten?” balas malaikat.

Sanggurdi terdiam sejenak. Dia ingat sumbangan itu adalah sumbangan yang dilakukan untuk merayakan sepuluh ribu pengikutnya di kanal YouTube. Dia berpikir apa yang harus dikatakannya untuk membalas sang malaikat. Karena, sedekah-sedekah lain setelahnya juga selalu diunggah di media sosial yang dimilikinya.

“Tapi, saya ikhlas melakukannya. Sungguh.”

“Jangan berharap mengelabui kami perkara keikhlasan di sini. Kamu bilang dulu kamu ikhlas padahal setelah bersedekah kamu merasa bangga. Berarti kamu ditipu hatimu sendiri.”

“Tapi, bukankah saya harus mendapat balasan dari apa yang saya perbuat?”

“Bukankah subscriber-mu bertambah? Dan, adsense-mu meningkat? Kau sudah mendapat semua balasannya di dunia.”

Mulut Sanggurdi seketika terkunci. Namun, dia tidak boleh menyerah. Dia mau mencari sejuta cara untuk tidak masuk neraka.

“Tapi, bukankah ini tidak adil? Saya menyebarkan video kegiatan sedekah saya agar orang lain terinspirasi.”

Seketika, sang malaikat memutar video pemberian sumbangan yang disebutkan oleh Sanggurdi. Saat itu, Sanggurdi mendapat informasi bahwa banyak para pemulung di kampung kumuh yang terancam tidak bisa merayakan hari raya karena tidak memiliki biaya. Akhirnya, dia membuat paket-paket sembako. Mengajak kameramennya untuk merekam kegiatannya untuk kemudian disebarkan kepada khalayak.

Dia mewawancarai salah seorang laki-laki yang diberikan sumbangan. Laki-laki itu justru terlihat sedih. Dia merasa malu karena wajahnya terekam oleh kamera. Namun, dia tepis sejenak rasa malu itu demi anak-istrinya yang harus makan.

Pandangan itu luput dari Sanggurdi ketika di dunia.

“Kamu sudah menjual kisah sedih orang untuk keuntungan pribadi.”

“Apakah ini berarti saya kehilangan amal-amal yang sudah saya kumpulkan?”

“Apakah kamu tidak tahu riya itu seperti mengumpulkan buih?”

Setelah itu, Sanggurdi masih coba berkompromi. Dia terus menyebut amal kebaikan yang sudah tertulis di jurnalnya.

Seteluk, 19 Juni 2023

TOPIK:
  • Za'idatul Uyun Akrami

    Lahir di Lombok dan sekarang berdomisili di Sumbawa Barat. Ia menulis sebagai hobi dan penghiburan. Uyun bisa dihubungi melalui instagram di @_zuuuua_.

2 responses to “Mengumpulkan Buih”

  1. dewi sartika

    keren

  2. Idang

    Sangat luar biasa diantara orang yang berebut kebaikan hanya sekedar konten. Cerita yang menarik adek cantik. Lanjutkan dan selalu menginspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *