Benarlah kata leluhurku, bahwa cinta anak Adam tidak pernah tulus. Jangankan kepada Tuhannya yang tak kasatmata, kepada orang yang telah melahirkannya saja, mereka mampu membalas cinta dengan tuba. Hati mereka dipenuhi oleh cinta-cinta lainnya. Jika tidak percaya perkataanku ini, maka dengarkan kisah yang kudapati dari sebuah kafe kemarin sore, dan kujamin kalian akan sependapat denganku.
“Seperti yang pernah kukatakan dulu, Mama memang harus segera dibawa ke panti jompo. Nanti kita patungan untuk biayanya, ya,” ucap Godi dengan entengnya. Lalu ia menyeruput segelas kopi.
Aku tersenyum mendengar kalimat si sulung barusan. Godi memang jenius, aku suka dengan ide bagusnya.
“Kalau Mas Godi tidak menjual rumah Mama, pastilah Mama sudah duduk manis di rumahnya, tidak muter-muter ke rumah kita. Paling-paling kita hanya bayar perawat untuk Mama,” tukas Gadi seketika.
“Kamu enggak usah nyalahin aku sekarang. Uang hasil jual rumah juga kamu menikmati. Sekarang giliran mau patungan kamu protes. Padahal membayar biaya ke panti jompo akan lebih murah ketimbang kita membayar perawat di rumah. Di panti jompo kita sudah terima bersih.” jawab Godi dengan yakin, seyakin dia menangkis argumen si anak tengah.
Gadi tidak mampu lagi menjawab. Meski ia kesal, tetapi pendapat kakaknya masuk akal juga. Biaya akan jauh lebih ekonomis jika Mamanya berada di panti jompo.
Ya, aku tahu untuk urusan uang, anak tengah yang padahal paling mampu di antara mereka, paling longgar karena belum berkeluarga, namun paling berat mengeluarkan uang. Aku juga menyukai orang seperti Gadi, dia sejatinya akan menjadi temanku yang kekal dan abadi.
Permasalahan mereka berawal ketika Papa meninggal, lalu warisan dibagi sesuai bagian masing-masing, termasuk Mama. Tetapi akhirnya timbul masalah ketika Mama meminta salah satu di antara mereka tinggal bersamanya. Tentu saja tidak ada satu pun yang mau tinggal bersama Mama yang suka mengatur juga susah diatur. Tetapi semakin lama, kondisi Mama semakin pikun, semakin tua dan banyak maunya. Kesimpulannya; Mama harus ditemani.
Godi akhirnya mengambil sikap bak pahlawan. Ia memutuskan menjual rumah Mama, dan membagi uang tersebut kepada saudaranya, kepada Mama, dan tentu saja untuknya. Godi lantas berjanji akan merawat Mama dan tinggal bersamanya. Namun yah, janji tinggal janji.
Mama memang tinggal bersamanya, tetapi tidak diperlakukan secara layak. Tidak Godi, tidak pula menantunya. Mama begitu mandiri di rumah Godi, bahkan untuk makan saja, Mama sering masak sendiri. Alasan Godi simpel saja; mereka berdua sibuk bekerja. Lambat laun Mama tidak betah tinggal bersama anak sulungnya.
Mama terlunta-lunta, ia nomaden dari rumah anak pertama hingga anak ketiga, dan semua anak sama-sama mengeluhkan keberadaan Mama; pikun, cerewet, dan menyusahkan.
Tetapi meski begitu, ada Gedi si bungsu yang memiliki istri murah hati. Istri Gedi dengan sabar dan telaten merawat mertuanya, tetapi sayang Mama membencinya.
Gedi mengetahui ini. Jika disuruh memilih, ia lebih memilih membela istrinya. Ia tidak tega melihat istrinya dibentak-bentak Mama setiap hari, bahkan menjadi babu di rumahnya sendiri. Perlakuan Mama kepada istrinya bagi Gedi sudah melampaui batas.
Sebenarnya usulan Godi untuk membawa Mama ke panti jompo adalah usulan menarik. Tetapi dari ketiganya, Gedi yang masih ragu dengan rencana itu.
“Mas, aku hanya khawatir dengan keputusan kita mengirim Mama ke panti jompo dapat membuatnya terluka. Kita bisa dianggap anak durhaka!” ujar Gedi dengan wajah gelisah.
“Emm, kupikir tidak apa. Kita mengirim Mama ke panti jompo agar ada yang merawatnya. Mama akan punya teman. Pokoknya apa yang kita lakukan juga demi kebaikan Mama,” jawab Godi tegas.
Hmmm, menarik sekali kata-kata Godi. Demi kebaikan Mama. Ringan sekali mulut Godi mengatasnamakan kebaikan. Nanti kita lihat, kebaikan macam apa yang akan ditawarkan Godi.
“Aku sepakat dengan Mas Godi. Dulu Mama juga santai saja menitipkan kita ke daycare karena dia sibuk bekerja, lantas setelah itu juga kita dimasukkan ke sekolah berasrama, kata Mama biar ada tenaga profesional yang mengurus kita. Nah, apa bedanya dengan sekarang? Kita memasukkan Mama ke panti jompo karena kita ingin ada tenaga profesional yang bisa mengurus Mama.” Gadi menimpali.
Ah, ya, tepat sekali! Aku suka dengan manusia-manusia seperti Godi dan Gadi. Aku semakin bersemangat agar rencana itu segera terlaksana.
“Jadi kamu sudah setuju dengan usulanku berikut biaya bulanan ke panti?”
“Ya, kupikir lebih ekonomis ketimbang membayar perawat di rumah.”
Godi tersenyum dengan jawaban logis adik keduanya. Tetapi sayangnya tinggal Gedi yang masih belum setuju dengan rencana itu. Maka pembicaraan di kafe itu berakhir dengan keputusan yang masih mengambang
Setelah sampai di rumah, Gedi menceritakan rencana kedua kakaknya kepada Sundari-istrinya. Sundari hanya diam, tetapi batinnya bergejolak.
Aku tahu, sebenarnya ada keinginan di dalam hati Sundari yang juga menyetujui rencana saudara-saudara suaminya. Dengan dimasukkannya Mama ke panti jompo, artinya ia akan terbebas dari tekanan mertuanya itu. Tetapi sayangnya ada bagian di dalam hati Sundari yang terusik dengan rencana Godi dan Gadi.
Kemudian aku membisikkan mantra kepada Sundari. Sayangnya Sundari mengabaikan bisikan mantraku.
“Mama baiknya di sini saja. Aku sanggup merawat Mama,” jawab Sundari akhirnya.
“Kamu yakin akan baik-baik saja jika Mama di sini?” tanya Gedi yang mengkhawatirkan kondisi Sundari.
“Ada hadiah besar yang akan diberikan Tuhan jika kita merawat Mama. Maka ambil saja kesempatan itu,” jawab Sundari dengan mantap.
Cih! Jawaban itu membuatku semakin kesal. Aku bersumpah, aku akan menggagalkan rencana bodoh Sundari! Ya, dia bodoh, mengharap balasan dari Tuhan, padahal ia tahu betapa akan menyakitkannya nanti. Aku bertaruh dia tidak akan mendapatkan hadiah apa pun dari Tuhan!
Setelah hari itu, Mama akhirnya berada di rumah Gedi. Aku pun bekerja lebih keras. Sesuai rencanaku, kubisikkan mantra ke telinga Mama sehingga membuatnya semakin berlaku brutal kepada Sundari.
Bentakan dan kalimat kasar kepada Sundari sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Meski Sundari telah berlaku santun kepada Mama, tetap tidak mengubah apa yang menjadi rasa tidak suka Mama kepadanya.
Kemudian seperti biasa, Sundari hanya mengalah dan menangis. Semakin hari, tubuh Sundari semakin habis. Ia sering menyendiri dengan tatapan kosong di halaman belakang. Bahkan terlintas dalam pikirannya penyesalan karena telah merawat Mama di rumahnya.
Aku tertawa terbahak-bahak, mantraku kepada Mama bekerja dengan sempurna. Lalu selanjutnya, aku pun bekerja lebih keras lagi.
Ketahuilah kalian anak manusia, seperti halnya cinta, kesabaran kalian juga akan selalu diuji. Di saat itulah aku kembali beraksi. Kubisikan mantra ke telinga Sundari. Sundari yang telah lelah lahir- batin akhirnya mau mendengarkan bisikan mantraku. Maka, mantra itulah yang akhirnya membuat rencana yang diusulkan Godi dan Gadi kembali disetujui oleh Gedi. Aku tersenyum puas.
Sleman, April 2025
Ibu dua orang anak, lulusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta yang terjebak di dunia sastra. Lalu memutuskan berhenti mengajar di sekolah formal. Saat ini masih aktif menulis di beberapa media dan komunitas menulis. Penulis dapat dihubungi di kontak surel: puputsekarkustanti@gmail.com.
Leave a Reply