Saat Wingko Kembali Menjadi Buah Tangan

  • Dewi Sartika
28 April 2025 - 02:30 WIB 0 Comments 122
Makanan khas Lamongan, Wingko Babat. (Foto: Dokpri)
Makanan khas Lamongan, Wingko Babat. (Foto: Dokpri)

Ukuran Font
Kecil Besar

“Mbak, aku takut sama Edy.”

Kira-kira, begitulah ucap adik tingkat saya di kampus suatu ketika. Lelaki yang ditakutinya bernama lengkap Edy Priyanto. Ia juga adik tingkat saya di fakultas. Dua tahun di bawah saya, beda jurusan. Hanya saja kami satu organisasi di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) kerohanian. Sebenarnya, perawakan Edy ini biasa saja. Hanya saja jenggot panjang plus celana cingkrang di atas mata kaki, membuatnya terlihat lebih mencolok.

Lalu, apakah memang Edy menakutkan? Tentu saja tidak. Bagi yang tidak mengenalnya dan melihat dari luar saja, ia mungkin agak menakutkan dan terlihat sangat kaku. Namun, berhubung saya memiliki kesempatan berinteraksi dengannya, kesan tersebut tentu saja tak berlaku. Bagi saya, Edy adalah teman yang bisa diandalkan saat saya membutuhkan pertolongan. Ia ringan tangan.

Suatu waktu, saya kembali ke Malang usai pulang kampung. Salah satu buah tangan yang saya bawa berupa wingko. Saya kemudian memberikan Edy beberapa potong wingko sebagai tanda terima atas kebaikannya selama ini. Tanpa diduga, ia mengaku sangat menyukainya. Maka, tiap kali balik ke Malang, saya pun tak keberatan membawa wingko sebagai oleh-oleh untuknya.

Saking sukanya Edy dengan wingko, saya pun bercanda kalau ia menikah nanti, saya akan memberinya wingko sebagai kado. Kebiasaan saya membawa wingko ke Malang lalu berhenti saat ia menikahi teman seangkatan saya kemudian pindah ke Probolinggo. “Ritual” membawa wingko sebagai buah tangan dari Lamongan kemudian saya lanjutkan sesudah menikah. Kali ini, saya membawanya untuk suami dan keluarganya.

Berbeda dengan Edy, suami ternyata tak suka wingko. Alasannya, terlalu manis. Saya mengamininya. Pun begitu keluarga mertua saya di Malang, kurang begitu suka wingko. Terhentilah kebiasaan membawa wingko sebagai buah tangan khas Lamongan. Meskipun satu atau dua kali saya membawanya dalam delapan tahun terakhir, itu pun saya berikan kepada orang lain.

Suatu saat di grup WA, seorang teman suami yang usianya terpaut cukup jauh dengan setengah bercanda bilang ia hendak menitip wingko (Babat) kepada suami begitu tahu suami sedang mudik ke Lamongan. Suami tak menyanggupinya, mengingat rumah saya memang jauh dari Babat. Seorang teman lainnya menyarankan agar mencari wingko di Paciran. Mengetahuinya, saya mengernyitkan dahi mengingat selama ini memang tak mengetahui di Paciran sebelah mana semisal mau membeli wingko.

Kendati suami tak menjanjikan, begitu tahu yang ingin memesan adalah orang yang hampir tiap hari saya temui sewaktu menjemput anak sekolah, saya pun mengusahakannya. Iya, teman suami ini bekerja di tempat anak saya bersekolah. Namanya Edi juga.

Berhubung sudah lama tak membeli wingko, saya lalu menghubungi adik sepupu saya untuk bertanya, di mana tempat membeli wingko mengingat tempat yang biasa saya datangi dulu saat mau membeli wingko sudah tak jualan lagi.

Adik sepupu kemudian mengarahkan saya menuju sebuah rumah dekat pasar desa. Kami memasuki bagian belakang sebuah rumah. Halamannya sangat luas. Usai mengetuk pintu beberapa kali, saya pun mengutarakan keinginan untuk membeli wingko kepada tuan rumah. Berhubung membelinya mendadak, hanya beberapa buah wingko saja yang tersedia.

“Ini cuma ada tujuh, Mbak, yang lain sudah pesanan. Buat kapan, sih, Mbak?” tanya seorang perempuan kepada saya.

“InsyaAllah untuk besok, Bu. Mau dibawa ke Malang.”

“Gini saja, Mbak. Ini wingkonya Mbak bawa dulu. Dibayar besok juga. InsyaAllah besok pagi setelah subuh, wingkonya sudah ada.”

Saya mengangguk. Kali ini saya memesan wingko dengan jumlah agak banyak dan berjanji akan datang esok pagi sebelum balik ke Malang.

Mungkin saking lamanya saya dan suami tidak makan wingko, kami berdua agak bersemangat untuk mencicipi wingko yang ada. Berbeda dengan wingko yang dulu saya beli, wingko yang saat itu berada di tangan saya berukuran lebih kecil. Biasanya, wingko yang dijual di desa berukuran bulat besar, sementara kali ini mungkin lima kali lebih kecil dari biasanya.

“Kok enak, ya? Enggak kemanisan.”

Suami saya dengan lahap memakan wingko diikuti anggukan saya. Sore itu, kami berdua pun melahap habis wingko yang kami beli hingga tersisa lima saja. Itu pun keesokan harinya, kami memakannya lagi.

Maka, ketika balik ke Malang, saya pun membawa wingko sebagai buah tangan untuk Pak Edi, mertua, dan tentu saja untuk kami berdua. Tak banyak jumlah wingko yang kami bawa, mengingat barang bawaan dari mudik sudah cukup merepotkan kami. Selain itu, menggunakan transportasi umum juga masih menjadi andalan kami.

Begitulah, setelah cukup lama tak membawa wingko ke Malang sebagai oleh-oleh, saya membawanya kembali. Tak hanya itu saja, ternyata tante yang tinggal se-kota dengan saya juga tak luput membawa wingko. Ngomong-ngomong, biasanya wingko juga sering dipakai sebagai bagian dari seserahan saat ada pernikahan.

TOPIK:

  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *