Jam di ponsel sudah menunjukkan angka setengah lima sewaktu saya, suami, dan si bungsu meninggalkan rumah makan usai perjalanan dari Paciran. Si bungsu terus merengek bahwa kami harus menepati janji untuk pergi ke pantai. Sebelumnya, suami memang sudah berjanji mengajaknya ke pantai. Tiba di rumah, saya memutuskan tidak ikut karena harus bersih-bersih. Kali ini tak ada protes dari suami yang biasanya mendesak saya untuk turut serta tiap kali ia pergi bersama si bungsu.
Anak saya bersemangat sekali. Ia lekas mengambil beberapa mainan. Katanya sih, mau bikin istana nanti. Saya tersenyum kecil mengingat pantai yang akan ia datangi tak seperti pantai-pantai yang menjadi obyek wisata. Suami mengganti celana panjangnya dengan celana 7/8.
Delangu. Itulah sebutan pantai yang akan didatangi si bungsu dan suami. Letaknya berada di Dusun Wedung yang masuk wilayah Desa Sedayulawas. Jaraknya sendiri dari rumah saya sekitar sepuluh menit saja. Pantai ini seolah menjadi hidden gems. Mengapa demikian? Karena letaknya yang tersembunyi. Maklum saja, hanya kendaraan roda dua alias motor saja yang bisa masuk. Letaknya juga berada di pinggiran dusun. Untuk menuju ke sana, pengunjung akan melewati ladang-ladang garam maupun lahan yang pernah menjadi tambak.
Jenis tanaman yang biasanya tumbuh dekat pantai atau ladang garam turut menghiasi sepanjang jalan. Saya tak tahu nama tanamannya. Dulu, sewaktu masih kecil, ada tumbuhan dengan sebutan “iwak-iwakan”. Terakhir kali saya ke pantai ini sekitar tahun lalu, sempat membuat saya terperanjat dengan kehadiran sebuah booth yang menjual minuman. Sepertinya, si penjual ini menangkap peluang akan kehadiran banyak pengunjung ke pantai ini.
Yap, sekali lagi, meski akses jalan berukuran kecil dan letaknya tersembunyi, pantai ini senantiasa menjadi jujugan warga desa dan sekitarnya. Jangan bayangkan kondisi pantai layaknya seperti Pantai Parangtritis atau pantai-pantai terkenal lainnya. Garis Pantai Delangu bisa jadi hanya kurang lebih 50 meter saja. Belum lagi ditambah bebatuan yang ada.
Kalau air sedang pasang, jangan harap bisa bermain pasir di tepi sehingga perlu menunggu air surut. Pantai ini ramai dikunjungi saat masa libur sekolah atau libur Idul Fitri. Bisa jadi orang-orang yang datang adalah warga luar yang sedang mudik atau liburan. Entahlah, itu hanya perkiraan saya.
Keberadaan Delangu yang menjadi primadona karena menjadi satu-satunya pantai di Sedayulawas yang bisa dikunjungi, tentu berbanding terbalik dengan beberapa tahun silam. Itulah yang saya rasakan.
Dahulu, ketika masih SD, tak jauh dari rumah ada juga pantai. Garis pantainya kira-kira tak lebih dari 10 meter. Di sinilah biasanya saya main pasir atau sekadar menemukan cangkang kerang atau remis. Pantai ini juga salah satu “pintu masuk” seandainya ingin pergi ke laut saat air surut yang nantinya akan timbul daratan. Letaknya cukup jauh dari bibir pantai. Orang desa menyebut daratan ini dengan nama “polo”, mungkin berasal dari kata “pulau”. Biasanya, anak laki-laki juga bermain bola di sini.
Tiap pulang kampung, saya tidak memperhatikan apakah masih ada anak-anak yang main di pantai. Bisa jadi masih ada, hanya saja tak sebanyak dulu. Namun, yang pasti, pantai di Sedayulawas sepertinya sudah berubah, tak senyaman dulu sebagai tempat bermain.
Masih ingat, dahulu, saya bahkan sering melihat ubur-ubur yang terdampar di bibir pantai dan dibuat mainan oleh anak laki-laki atau begitu mudah mencari kerang saat air laut surut. Belum lagi cerita ibu, dulu pantai di desa masih banyak dijumpai teripang.
Saya pribadi sih, berharap, semoga saja Delangu atau pantai lainnya yang ada di desa tidak menghilang. Ya, bagaimana tidak, seiring waktu, beberapa pabrik sudah berdiri di desa. Salah satunya pabrik yang berdiri tak jauh dari pantai (dekat pelabuhan) tempat saya dan teman-teman bermain yang pernah menimbulkan bau tak sedap di malam hari.
Belum lagi, Pelabuhan Sedayulawas yang mengalami revitalisasi, sehingga tidak lagi bisa dijadikan “pintu masuk” menuju laut (polo). Intinya, jangan sampai warga pesisir tak lagi bisa menikmati pantai sebagaimana yang pernah saya lihat di media sosial (X atau Twitter), warga di Jawa Barat yang tak lagi bebas pergi ke pantai karena sudah diprivatisasi untuk kalangan tertentu saja.
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply