Menikmati Kuliner di Warung Pinggir Jalan

  • Dewi Sartika
21 April 2025 - 08:50 WIB 0 Comments 153
Sebuah warung yang menjual kuliner khas pesisir Lamongan di Jalan Sendang. (Foto: Dokpri)
Sebuah warung yang menjual kuliner khas pesisir Lamongan di Jalan Sendang. (Foto: Dokpri)

Ukuran Font
Kecil Besar

Usai mengunjungi Kompleks Makam Sunan Sendang Duwur, saya, suami, dan si bungsu dengan menaiki sepeda motor, berencana pulang ke rumah. Kali ini kami mengambil jalan berbeda atas inisiatif suami. Kami melewati Desa Sendang.

Makam Sunan Sendang Duwur yang berada di atas bukit otomatis membuat kami harus melalui jalan yang menurun. Tenang saja, rutenya tidak ekstrem. Selain itu, jalannya sudah beraspal alias mulus. Kami melalui permukiman padat penduduk.

“Orang-orang sini cara dapat airnya gimana, ya? Ini kan letaknya di atas bukit. Pasti sulit untuk mengakses air. Suami berucap sambil mengendarai motor sewaktu kami melewati permukiman.

Kembali saya terdiam, karena memang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Baru saya ketahui sesudahnya bahwa tak jauh dari kompleks makam ada Sumur Giling peninggalan Sunan Sendang Duwur yang masih dimanfaatkan warga sekitar. Saya pun teringat saat ke kompleks makam, terdapat semacam sumber air yang diyakini pengunjung membawa berkah. Air ini lalu dimasukkan ke botol-botol plastik, kemudian pengunjung membayar seikhlasnya.

Sambil duduk di belakang, selama perjalanan, saya mengamati bangunan-bangunan di tepi jalan yang kami lalui. Sebuah kebiasaan yang saya lakukan seandainya melewati tempat yang jarang atau tak pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya tak tahu nama jalan yang kami lewati. Namun, berdasarkan google maps, jalan ini bernama Jalan Sendang. Nantinya jalan ini bersambung ke Jalan Daendels di Paciran.

Sesudah disuguhi pemandangan rumah-rumah penduduk, selanjutnya, mata kami disuguhi dengan ladang-ladang yang menghampar di kanan-kiri jalan. Pemandangan yang agak kontras dibandingkan jalan saat kami menuju Makam Sunan Sendang Duwur. Orang-orang setempat lebih suka menyebut tegal ketimbang ladang. Pohon siwalan atau lontar lebih banyak menghiasi kedua sisi jalan. Tanamannya menjulang tinggi.

“Aku dulu pernah diajak teman minum dawet di sekitar sini, tapi aku lupa tempatnya di mana. Dawetnya enak,” ujar suami.

Rimbun hijau turut menghiasi sepanjang rute kami pulang di sela pohon-pohon siwalan yang tumbuh. Di antara itu, mata saya juga menangkap warung-warung yang berjejer. Jarak antarwarung tak terlalu jauh. Warung-warung ini serupa dengan yang ada di kanan-kiri Jalan Daendels menuju Paciran. Kami melewati sejumlah warung, hingga ucapan suami cukup mengagetkan saya.

“Itu… itu tadi kayake warung yang dulu aku pernah diajak.” Sambil berkata, ia mengerem mendadak membuat tubuh saya terdorong ke depan. Saya menepuk bahunya sebagai tanda protes. Ia hanya terkekeh kecil sambil meminta maaf.

Suami memutar balik. Untung saja, jaraknya tak terlalu jauh. Tibalah kami di sebuah warung. Berbeda dengan warung kebanyakan, tempat ini terbuka. Beberapa tiang kayu menjadi penyangga atap genteng. Sementara dindingnya dari galvalum biru.

“Bu, dawet tiga, nggih, diminum sini,” kata saya kepada penjual.

Suasana warung cukup ramai oleh beberapa pembeli. Mereka duduk-duduk sembari menikmati gorengan atau makanan lainnya yang tersaji di meja di hadapan mereka. Pemandangan ini tentu amat kontras. Tak jauh dari warung ini, ada pula penjual lainnya sedang menanti pengunjung.

Meja kayu panjang hampir tak menyisakan tempat karena berbagai penganan tersaji di atas. Selain gorengan, ada juga gula jawa merah yang setahu saya menjadi produk andalan Paciran. Kata ibu saya, gula jawa Paciran memang yang terbaik. Di samping dawet, pembeli biasanya memesan rujak ulek.

Saya memutuskan untuk tidak memakan gorengan, tak seperti suami saya yang begitu lahap memakannya atau makanan lain. Tak menunggu lama, penjual mengantar dawet pesanan kami. Sesudah meminumnya sedikit, saya agak kecewa karena isi dawet yang biasanya murni siwalan, kali ini bercampur dengan agar-agar putih yang dipotong-potong kotak menyerupai siwalan.

“Berapa ini, Mbak, jumbregnya?” Seorang perempuan berkerudung yang baru saja turun dari motor langsung menuju jumbreg yang dipajang di bangku duduk. Tangannya lalu mengambil jumbreg yang dibungkus plastik bening.

“Kalau yang besar 40 ribu, Mbak,” jawab salah seorang penjual yang menghampiri perempuan tersebut.

Jumbreg, kuliner khas Paciran. (Foto: Dokpri)

Wah, cukup mahal juga, ya. Saya membatin dalam hati begitu mengetahui harga jumbreg. Maklum saja, saya sudah lama tak membelinya. Selesai menghabiskan dawet, saya menuju penjual untuk membayar. Kembali, saya terperangah lagi mendapati harga dawet 9 ribu rupiah per gelas. Saya kembali membatin mengetahui harganya. Selanjutnya, kami meneruskan perjalanan pulang.

Selesai menghabiskan dawet, saya menuju penjual untuk membayar. Kembali, saya terperangah lagi mendapati harga dawet 9 ribu rupiah per gelas. Lumayan juga ya, harganya. Saya kembali membatin. Selanjutnya, kami meneruskan perjalanan pulang.

Keluar dari Paciran, kami hendak memasuki Desa Kandangsemangkon. Kanan-kiri jalan berdiri warung-warung serupa yang ada di Jalan Sendang. Biasanya, para pengendara dari arah Tuban atau Gresik yang melalui Jalan Daendels menyempatkan diri untuk singgah. Setidaknya itulah yang saya lihat dari kendaraan-kendaraan roda empat maupun dua yang berhenti dekat warung.

TOPIK:

  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *