Mengenang Kembali Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

  • Dewi Sartika
28 Oktober 2025 - 09:53 WIB 0 Comments 38
Kapal Van der Wijck (Foto: UniversiteitLeiden)
Kapal Van der Wijck (Foto: UniversiteitLeiden)

Ukuran Font
Kecil Besar

Mengenang Kembali Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Saat melewati Jalan Daendels yang berada di Brondong, usahakan kendaraan anda masuk ke area kompleks Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong. Tidak, saya tidak bermaksud mengajak anda untuk melihat-lihat kesibukan di tempat tersebut yang tentu saja dipenuhi aroma amis yang menguar. Begitu anda masuk area ini, arahkan kendaraan anda ke sisi kanan jalan kemudian matikan mesinnya. Lalu-lalang orang yang keluar-masuk TPI menjadi pemandangan utama.

Namun, jangan salah, arahkan lagi pandangan anda lurus ke timur. Sebuah bangunan yang hampir ambruk ditambah lagi terdapat  sebuah tugu yang sedang merana karena ilalang yang makin tumbuh subur. Demikianlah pemandangan yang saya saksikan di Bulan Juli lalu. Mendapati hal tersebut, tentu saja saya terhenyak karena sekitar satu tahun sebelumnya bangunan di hadapan saya masih berdiri tegak. Begitupula ilalang yang belum  tumbuh subur. Intinya dari kejauhan, tugu itu masih terlihat jelas.

Berdiri tegak selama puluhan tahun, bisa dikatakan tugu ini sangat tak mencolok. Jangan bayangkan tingginya  hingga puluhan meter. Saya tak tahu pasti berapa tinggi, hanya saja saya memperkirakan tak lebih dari 10 meter saja. Didominasi  warna putih dan abu-abu, keberadaan tugu ini seolah diabaikan alias tidak menarik perhatian. Padahal tugu ini merupakan peringatan sebuah peristiwa penting yang pernah terjadi di Hindia Belanda.

Tanda-Peringatan

Kepada penoeloeng-penoeloeng

Waktoe tenggelamnya Kapal “Van Der Wijck”

DDO. 19-20 October 1936.

Demikianlah tulisan yang tertera di salah satu bagian tugu. Mulanya, saya berpikir tulisan tersebut satu-satunya yang ada. Ternyata saya salah, maklum saja sewaktu melihat lebih dekat tugu ini saya hanya mengamatinya dari satu sisi saja. Sementara di bagian lain ada tulisan penghormatan yang ditujukan untuk Martinus Jacobus Uytermerk, operator radio Kapal Van Der Wijck, yang turut menjadi korban tenggelamnya kapal.

Peristiwa tenggelamnya Kapal Van Der Wijck inilah yang kemudian mengilhami salah satu novel Buya Hamka paling kesohor, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kisah mengenai  Zainudin dan Hayati yang tak dapat bersatu karena perbedaan kelas sosial lalu berakhir dengan kematian Hayati saat menaiki Kapal Van Der Wijck.

Nama kapal ini sendiri diambil dari salah satu Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Carel Herman Aart van der Wijck. Selain menjadi nama kapal, Van Der Wijck juga diabadikan menjadi nama benteng  di Kebumen (Jawa Tengah). Kapal ini sendiri milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dan dibuat Maatschappij Fijenoord. Dengan panjang 97,5 meter, lebar 13,4 meter dan tinggi 8,5 meter, kapal yang disebut-sebut sebagai Titanic-nya Hindia Belanda mampu mengangkut lebih dari ratusan orang.

Perjalanan kapal yang pernah mengangkut Bung Hatta sewaktu dibuang ke Boven Digul ini harus berakhir pada 20 Oktober 1936 di perairan Lamongan.  Van der Wick karam ketika hendak berlayar dari  menuju Semarang lalu Batavia kemudian berakhir di Palembang. Sebelumnya, kapal ini berangkat dari Makasar lalu berlabuh di Surabaya.

Tidak diketahui dengan pasti penyebab tenggelamnya Van Der Wijck. Yang jelas, Saat berada di Kemantren (Paciran) pada jam dua dini hari, kapal ini tiba-tiba miring kemudian hanya dalam waktu enam menit saja Van Der Wijck tenggelam. Upaya penyelamatan pun dilakukan pemerintah kolonial dengan mengirimkan 8 pesawat Dornierdan sejumlah kapal sipil lainnya. Dari total 270 penumpang saat itu, sekitar 70 orang dinyatakan hilang dan 153 orang selamat.

Proses penyelamatan tak hanya dilakukan pemerintah kolonial, tetapi juga para nelayan dari Brondong dan Paciran yang bahu-membahu menyelamatkan para penumpang Van Der Wijck. Langit masih pekat ketika pada Selasa subuh (20 Oktober), para nelayan yang sedang melaut, sayup-sayup mendengar teriakan minta tolong dari para penumpang kulit putih yang terapung. Nelayan-nelayan tersebut pun mengesampingkan pekerjaan mereka demi mengevakuasi korban.

Pertolongan yang dilakukan para nelayan ini mengundang simpati dari berbagai pihak termasuk pemerintah kolonial. Selain mendirikan tugu peringatan, pemerintah juga menghadiahi tiap nelayan dengan satu perahu untuk menangkap ikan. Tidak hanya itu saja, setiap 20 Oktober diadakan festival perahu dayung untuk nelayan Brondong dan Paciran dari lokasi tenggelamnya Van Der Wijck menuju pantai. Namun, semasa pendudukan Jepang, kegiatan ini ditiadakan.

Referensi

Tempo.co. (2020, 20 Oktober). Munculnya Kapal Van der Wijck. Diakses pada 27  Oktober 2025, dari hhtps://www.tempo.co/arsip/bagaimana-arkeolog-menemukan-kapal-van-der-wijck-844255

Netralnews.com. (2023, 31 Agustus). Monumen Tenggelamnya Kapal Van der Wijck: Kisah Heroik, Simpati, dan Tanda Terima Kasih. Diakses pada 27 Oktober 2025, dari hhtps://www.netralnews.com/monumen-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck-kisah-heroik-simpati-dan-tanda-terima-kasih/TIBVQmE1UjRoRDJIMXFPdVAwaWhnZz09

Tirto.id. (2018, 20 Januari). Tragedi Kapal Van der Wijck Tak Sekhayal Novel Hamka. Diakses pada 27 Oktober 2025, dari  https://tirto.id/tragedi-kapal-van-der-wijck-tak-sekhayal-novel-hamka-cCHK
 

TOPIK:
  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *