Laut dan Kenangan Masa Kecil

  • Dewi Sartika
18 Mei 2025 - 12:37 WIB 0 Comments 85
Pemandangan Laut Jawa di pesisir Lamongan. (Foto: Dokpri)
Pemandangan Laut Jawa di pesisir Lamongan. (Foto: Dokpri)

Ukuran Font
Kecil Besar

Usai menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari Pagelaran, Kabupaten Malang menuju Kota Malang disertai pegal dan kantuk yang tertahan, saya memutuskan memilih jalan yang biasanya jarang saya lewati sesudah pulang dari rumah mertua. Berharap cepat sampai rumah untuk melepas lelah.

Sampai di pertengahan, saya mengurangi kecepatan mengingat segerombolan anak bermain di tengah jalan. Mereka sedang bermain layangan. Sedikit mengherankan karena setahu saya, bermain layang-layang biasa dilakukan di tanah lapang semisal lapangan. Sebenarnya, pemandangan ini bukanlah pertama kali. Di kota besar, lahan makin sempit, berlomba dengan kebutuhan papan.

Saya membunyikan klakson. Tak sampai semenit, seorang anak setengah berteriak meminta saya berhenti. Saya lalu menoleh ke belakang, ada benang yang tersangkut di roda motor. Saya mendesah, berharap cepat sampai rumah tak kesampaian.

“Pakai gunting, Dik,” ucap saya kepada anak laki-laki yang saya perkirakan berumur kurang lebih delapan tahun.

Hati saya agak meradang mengingat anak kecil itu ngotot untuk memotong benang yang tersangkut dengan tangan. Gagal, kali ini mencoba menggigitnya. Ngeri saya melihatnya. Sekali lagi saya mengatakan hal yang sama untuk menggunakan gunting. Untung saja, anak tersebut menurut.

“Tunggu, ya,” ujarnya sebelum pergi. Saya mendengkus mendengarnya. ‘Hei, kenapa kamu enggak percaya sama saya,’ saya membatin.

Tak berselang lama, anak itu kembali. Tangannya memegang cutter. Lalu, saya kembali mengendarai motor menuju rumah. Sepanjang perjalanan yang memakan waktu tak sampai lima menit, saya teringat masa kecil. Semburat kenangan bermain di sewaktu SD berhamburan memenuhi benak saya. Saya tersenyum sendiri mengingat masa kecil di dekade ’90-an. Setidaknya, saya tidak perlu bingung mencari tanah luas untuk bermain layangan atau melakukan jenis permainan lainnya.

Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di wilayah pesisir Lamongan, kata “laut” pun menjadi akrab di telinga saya karena tempat ini menjadi salah satu tempat bermain saya dan teman-teman. Kendati tak tiap hari ke pantai, kami biasanya bermain di pantai dekat rumah. Hanya butuh kira-kira lima menit saya dengan jalan kaki untuk sampai. Kalaupun tidak bermain, adakalanya saya hanya duduk-duduk saja di papan kayu di bawah pohon waru sembari ditemani angin sepoi-sepoi.

Lain waktu, saya bersama teman-teman SD pergi ke laut yang sedang surut. Kami hendak menuju polo. Karena berada di pesisir, kebanyakan warga desa yang tinggal di bagian utara desa atau di tepi Laut Jawa bekerja sebagai nelayan. Mereka biasanya menambatkan perahu tak jauh dari pantai. Tidak mengherankan banyak dijumpai perahu-perahu milik warga yang “berserakan”.

Saat itu, secara acak, kami memilih sebuah perahu untyk dinaiki atau sekadar hanya duduk-duduk di atasnya. Kesenangan kami berada di perahu tak berlangsung lama, karena seorang teman sekelas kami (laki-laki) memergoki kami. Jarak perahu dari bibir pantai memang tidak jauh, masih bisa melihat jelas dengan mata telanjang. Ia lalu melapor kepada pemilik perahu.

Si pemilik perahu datang berniat menghampiri kami. Tak pernah terbayangkan oleh kami, si pemilik perahu melempar beberapa batu ke kami membuat kami semua turun dari perahu kemudian lari tunggang langgang. Sementara teman kami yang melaporkan hanya tertawa renyah menyaksikan tingkah kami.

Mundur ke belakang, tepatnya saat masih kelas 4, wali kelas mengajak kami ke laut yang sedang surut sewaktu  masih jam sekolah. Saya lupa, apakah ketika itu memang jam kosong sehabis ujian atau ada pelajaran, tetapi ditiadakan. Di laut, kami tak hanya jalan-jalan saja.

Ani, teman sekelas kami pintar mencari kerang. Ia pun beberapa kali mendapatkan kerang hingga terkumpul banyak. Saya lupa bagaimana caranya ia memperolehnya. Biasanya, orang menggunakan semacam tongkat. Tongkat ini lalu ditancap-tancapkan ke bawah. Saya mungkin pernah mencobanya. Namun, rasa-rasanya tidak seahli orang lain termasuk Ani.

Dulu, sebenarnya tak jauh dari bekas lapangan utama desa, dekat daratan, ada “sebidang” laut. Kenapa saya mengatakan sebidang? Karena memang bentuknya menyerupai lahan kosong yang ada pembatasnya berupa bebatuan.  Nah, di sinilah banyak terdapat kerang. Saya masih ingat bagaimana di tempat ini saya menemukan kerang-kerang jembut. Dinamakan demikian karena memang  bagian cangkangnya berambut.

Selain kerang, kadangkalanya saya dan teman-teman ke laut mencari jubah. Jangan dibayangkan jubah ini berupa gamis atau sejenisnya. Saya tidak tahu padanannya dalam bahasa Indonesia, karena memang selama ini menyebutnya demikian. Jubah ini bentuknya mirip siput laut. Hanya saja berwarna hitam, lonjong (ramping), dan berukuran kecil.

Setelah mengumpulkan jubah minimal satu kresek kecil, jubah dicuci terlebih dahulu lalu dimasak dicampur bumbu kuning. Jangan tanya saya apa bumbunya, karena saya bertugas memakannya saja. Cara makannya dengan cara diisap bagian jubah yang berlubang.

Bagaimana rasanya? Tentu saja enak. Jika tak enak, mana mungkin kuliner jenis ini biasa dijual di sekolah atau pasar. Itu dulu, ya. Sekarang, rasa-rasanya jarang sekali orang menjual jubah, baik di kedua tempat tersebut atau yang lainnya.

TOPIK:
  • Dewi Sartika

    Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *