Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, Lebaran tahun ini saya melewatinya dengan gundah. Bagaimana tidak, H-2, sakit gigi saya kambuh lagi. Saya pun berupaya mendatangi sebuah klinik di desa tetangga. Sayangnya, dokter gigi sudah libur.
Hasilnya, hari pertama Lebaran, lebih banyak saya habiskan di kamar dan tidak bertemu banyak orang termasuk anggota keluarga besar. Memang benar adanya, lebih baik sakit hati daripada sakit gigi.
“Keluar, yuk? Bosan di rumah terus,” ucap suami saya dua hari setelah Lebaran. Awalnya saya enggan karena masih sakit gigi.
“Ke Makam Sunan Sendang Duwur, ya?” celetuk saya.
Suami saya mengangguk. Sungguh, sebuah jawaban yang sempat membuat saya membeku beberapa detik, mengingat ia termasuk jenis manusia yang tidak suka mendatangi tempat-tempat bersejarah. Masih ingat dalam benak saya bagaimana bete-nya ia sewaktu saya mengajaknya ikut tur heritage dua tahun lalu.
Usai minum obat pereda nyeri, berangkatlah kami bersama si bungsu dengan mengendarai motor. Kami menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari Sedayulawas. Sesuai nama tempat tujuan, kami menuju Desa Sendang Duwur yang berada di Kecamatan Paciran.
Mendekati Pantai Lorena, saya mengarahkan suami untuk belok ke kanan. Ini adalah jalur tercepat menuju Sendang Duwur. Melewati jalan ini, kami disuguhi pemandangan gunung kapur yang bolong separuh karena ditambang plus pohon-pohon siwalan di tepi jalan.
Tak berselang lama, kami tiba di kompleks Makam Sunan Sendang Duwur. Suasana kompleks cukup ramai dibandingkan saat saya ke sini beberapa waktu lalu. Sebuah pick-up terparkir tepat di gerbang masuk makam. Dua penjual setia menjajakan dagangannya. Seorang lelaki dengan kulit pekat duduk dengan tangan kiri memegang tongkat, sementara telapak tangan kanannya terbuka membuka belas kasihan dari pengunjung.
Karena sudah pernah ke sini, reaksi saya biasa saja begitu memasuki kompleks makam. Tentu saja, hal ini berbeda jauh ketika saya pertama kali mendatangi tempat ini di penghujung 2023 lalu. Kendati saya sudah tahu makam ini sejak pertengahan dekade 90-an, tetapi hasrat mengunjungi tempat ini baru hadir di tahun tersebut.
Pertama kali tiba, saya berdecak kagum dengan arsitektur kompleks makam yang sangat dipengaruhi unsur Hindu ini. Sepasang gapura dengan anak tangga di tengah menjadi bagian pertama yang harus dilalui begitu memasuki kompleks makam. Makin masuk ke dalam, saya makin tercengang dengan ornamen-ornamen yang menghiasi kompleks makam maupun di batu nisan.
Paling spektakuler, tentu saja, gapura bersayap yang menjadi jalur menuju makam Sunan Sendang Duwur. Tak henti-hentinya saya berdecak kagum memandangi setiap ornamen pada bagian sembari bertanya-tanya bagaimana orang zaman dulu membuatnya. Belum lagi ukiran-ukiran rumit yang terpahat di batu nisan serta bentuknya sendiri yang bagi saya bernilai seni tinggi.
Setidaknya dua kali datang ke sini sebelumnya, saya tak pernah bosan untuk mengamati makam-makam yang ada di Kompleks Makam Sunan Sendang Duwur. Sayangnya, ketika kunjungan ketiga bersama suami, hanya sedikit waktu yang saya miliki. Bisa jadi tak ada 30 menit kami berada di tempat ini. Bagaimana tidak, suami sudah mengajak pulang, belum lagi sinar matahari yang sedang terik-teriknya.
Sebelum kembali, saya menyempatkan diri untuk melihat makam Sunan Sendang Duwur. Ada banyak anak tangga yang harus dilalui, karena makam ini berada di tempat tertinggi dibanding makam lain. Makam ini berada di sebuah bangunan menyerupai mushala. Saya mendapati seorang laki-laki dan perempuan sedang melantunkan bacaan bahasa Arab. Terlihat pula anak laki-laki di dekat mereka.
Saya lalu mengajak suami untuk melihat-lihat masjid Sunan Sendang Duwur yang berada tepat di samping kompleks makam dengan harapan suami tertarik. Harapan saya pupus begitu suami enggan untuk sekadar masuk ke dalam, ia menunggu di luar, tepatnya di bawah anak tangga. Ah, saya makin sadar, minat kami memang sangat berbeda.
Hanya sebentar saya di masjid, itu pun hanya di luar pintu. Saya kemudian menuju tempat parkir. Saya menghela napas panjang. Tiap kali berkunjung ke sini, rasa tak puas senantiasa muncul mengingat keterbatasan saya akan sejarah Sunan Sendang Duwur.
Iya, sih, bisa saja saya mencari tahu di internet. Hanya saja terkadang saya membayangkan ada pemandu di tempat ini tentu saja akan lebih mengasyikkan. Namun, dipikir-pikir lagi, kebanyakan pengunjung datang ke tempat ini lebih banyak untuk berdoa ketimbang tertarik mengetahui sejarah tempat ini, makanya tak ada pemandu.
Dalam perjalanan pulang, suami mengajukan sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak pernah terlintas di benak saya.
“Di sini ada beberapa makam sunan, tapi mengapa Muhammadiyah lebih berkembang dibanding NU, ya?” tanyanya dengan pandangan tetap lurus ke depan.
Sejenak, saya terdiam. Memikirkan hal yang sama. Memang, saya tak mengetahui pasti berapa jumlah warga Muhammadiyah maupun NU di pesisir Lamongan ini. Namun, seandainya banyaknya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang kerap kami jumpai di pesisir Lamongan menjadi patokan, bisa jadi organisasi tersebut memang lebih mengakar di masyarakat pesisir.
Sepertinya, pertanyaan yang diajukan suami patut didiskusikan lebih lanjut untuk menemukan jawabannya, entah dengan siapa.
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply