Majalengka – Jika diksi derai biasa digunakan untuk menggambarkan jatuhnya air hujan atau air mata, maka saat membaca buku berisi tulisan buruh-buruh di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat puisi dan esai di dalamnya adalah derai itu sendiri. Perlu sedikit ketegaran untuk membacanya supaya tidak menangis.
Buruh-buruh pabrik itu menulis puisi dan esai sebagai produk hasil pelatihan menulis khusus para buruh yang digelar oleh Pedepokan Kirik Nguyuh pada 15 dan 22 September 2024 di Majalengka.
Mentor pada pelatihan ini bukan kaleng-kaleng, yaitu Hikmat Gumelar, penyair dan wartawan kebudayaan; Yoffie Cahya, penyair dan cerpenis; Nundang Rundagi, seniman dan pegiat literasi.
Sebanyak 50 buruh mengikuti pelatihan itu dan tulisan yang mereka hasilkan diterbitkan dalam buku berjudul “Mimpi yang Terjahit Diantara Kain dan Benang”.
Buku ini diterbitkan Padepokan Kirik Nguyuh bekerja sama dengan Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra (Pusbanglin) Kemendikbud RI.
Jika sejauh ini buruh selalu diasosiasikan sebagai kelompok yang ‘mekanis’, yaitu menyerupai mesin dengan kegiatan pergi pagi pulang petang, pergi siang pulang malam, dan pergi malam pulang pagi sesuai shift, maka buku berisi tulisan para buruh itu membuktikan kebalikannya.
Ternyata, para buruh juga punya perasaan, punya pikiran, punya harapan, punya keinginan merubah kehidupan mereka menjadi lebih layak, sebab mereka juga menjadi buruh karena tidak ada banyak pilihan.
Kutipan Sejumlah Puisi
Buku “Mimpi yang Terjahit Diantara Kain dan Benang” memuat 50 puisi dan esai dari setiap buruh yang menjadi peserta pelatihan menulis. Puisi-puisinya jujur. Kata-katanya seperti sedang menelanjangi kehidupan yang angkuh. Berikut di bawah ini kutipan sejumlah puisi yang termuat:
1. Nasib Buruh
(Puisi Rina Darina, buruh PT Leetex Garment Indonesia)
Buruh
Hanya sebatas pesuruh
Tak boleh mengeluh
Walau hari-hari bersimbah peluh
Berangkat pagi pulang petang
Masalah ada menantang
Halang rintang menghadang
Demi bisa bayar hutang
Beban berat di pundak
Dengan upah tak layak
Harus berdiri tegak
Di bawah selalu diinjak-injak
Hidup pun kian sulit
Biaya semakin menghimpit
Diri ini pun kian terjepit
Diantara raksasa-raksasa pelit
Wahai penguasa
Yang duduk empuk di singgasana
Dengarah kami yang bersuara serak
Kami hanya ingin hidup layak.
2. Aku Seorang Buruh Tani
(Puisi Titi Sulastri, buruh Bumdes Mukti Jaya)
Aku seorang buruh tani
Hanya itu pekerjaan yang mampu kulampaui
Setiap hari pantang menyerah
Bercocok tanam demi padi yang melimpah
Mimpi dan harapan aku bumbungkan tinggi
Karna menjadi buruh tani aku tak mati
Karna menjadi buruh tani aku mendapat rizki
Karna menjadi buruh tani aku menulis puisi
3. Buruh?
(Puisi Giari Rahman Hanafi, buruh PT Miracle Adhitama Kosmetika)
Kamu tahu buruh?
Ya, itu aku
Yang kadang dipandang tak seberapa
Hanya karena beda tempat dengan yang katanya ‘pegawai’
Ataukah dari penampilan kami?
Ku rasa tidak, sebagus apapun penampilan kami
Tetap saja kau sebut kami buruh
Tak pantaskah kami untuk dipandang lebih?
Tak adakah kata yang lebih indah untuk kami?
Padahal ada kata yang lebih merdu untuk didengar
Esai Para Buruh Majalengka
Di bagian setelah puisi-puisi pada buku itu, ada bagian yang memuat esai. Ini pun tulisan para buruh. Mereka bercerita banyak hal mulai dari cita-cita usaha hingga cerita tentang kesengsaraan yang diakibatkan oleh pinjaman online alias pinjol.
Esai yang ditulis Noviani R. Suherdi misalnya yang bercerita tentang pinjaman online, bahwa pinjaman online termasuk di dalamnya tawaran-tawaran cicilan yang diberikan penyedia jualan online (market place) telah menciptakan budaya konsumtif yang merugikan para buruh.
Dampak jangka panjangnya, pengelolaan keuangan menjadi buruk dan keluarga menjadi korban dari tindakan-tindakan budaya ngutang online ini.
Sumber: https://www.detik.com/jabar/budaya/d-7623279/derai-puisi-buruh-majalengka-kisah-haru-di-balik-kain-dan-benang.