Jakarta – Sophia. Kubisikkan pelan nama itu sewaktu mobil yang kutumpangi melintasi aspal memanjang di Desa Pengulon sementara sekawanan monyet masih saja asyik bermain, acuh tak acuh pada mobil-mobil yang melintas begitu dekat dengan mereka. Keluar dari dermaga Gilimanuk yang tak ubahnya lautan manusia, Pengulon seperti menarikku masuk dalam koleksi potret Sophia yang sering ia tunjukkan kepadaku ketika gadis itu menceritakan khayalannya tentang masa depan kami berdua.
Pohon-pohon rimbun yang berjajar menaungi jalan, keheningan yang begitu damai, ritme hidup yang pelan, dan sinar matahari yang meneduh dari balik dedaunan membuatku bisa merasakan jiwa kebijaksanaan Bali lama, seperti juga jiwa tua Sophia yang sunyi namun hangat. Benar kata Sophia. Gadis itu selalu mengatakan Buleleng sangat berbeda dibandingkan Denpasar seolah keduanya tidak berada di satu pulau yang sama.
Denpasar adalah kota komersial modern yang tak pernah membuat Sophia betah kecuali hanya memberi dia gelisah, sementara Bulelang akan tetap menjadi tanah magis walau Bumi yang kacau ini berhenti berputar, begitu kata gadis itu selalu. Buleleng adalah rumah, tempat cita-cita Sophia bermukim untuk menghabiskan seluruh hidupnya bersamaku dengan sebuah toko buku yang menurut dia akan kami kelola berdua. Sebuah mimpi yang ternyata tak pernah hadir hingga Sophia kemudian memutuskan menghilang sendirian bersama serakan mimpi itu.
Ah, di mana kau sekarang ini, Sophia? Bagaimana hidupmu tanpa diriku? Apakah kau masih di Jogja dengan segala tawa dan tangismu di sana? Bagaimana kabar kota kita itu, Soph? Apakah kau sekarang sudah menjadi ibu rumah tangga manis dengan anak-anak kecil di sekelilingmu yang selalu berbinar ketika mendengar kisah-kisahmu? Anak-anak yang selalu membuatmu jatuh cinta dan begitu pun mereka ketika melihatmu.
Pantai Lovina mulai terlihat dan aku tahu perjalanan ini akan segera berakhir di hotel tempatku menginap. Di hotel itu aku juga akan memberikan pelatihan sumber daya manusia untuk para pejabat pemerintah di kota ini. Sophia…. Kutarik napas panjang sekali lagi saat benar-benar menyadari bahwa aku memang sedang berada di Buleleng.
Tujuh belas tahun setelah perjalanan kami di sini, aku tiba-tiba harus melihat tanah impian gadis bermata indahku itu lagi. Tak kusangka kenangan pada dirinya masih saja membuat leherku tercekik dan dadaku membatu tiba-tiba.
“Dulu ibu hendak menamaiku Nayanika, Bas. Tapi kata ibu, Sophia lebih cocok untukku. Ibu berdoa supaya aku menjadi orang yang bijaksana, orang yang kuat, orang yang tidak lemah seperti dirinya.” Rasanya aku bisa mendengar Sophia berbicara.
Dari jendela mobil, rumah-rumah yang terlihat berjajar di pinggir jalan membuat ingatanku pada Sophia menebal. Seharusnya kami berdua ada di salah satu rumah itu dengan sebuah toko buku kecil yang Sophia kelola, yang akan menjaganya ketika dia menulis kisah-kisah fiksi kontemplasinya, esai-esai, maupun puisi-puisinya, sementara aku terus saja berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain untuk memberikan pelatihan.
Sophia berkukuh toko buku akan selalu bisa menjaga kami berdua.
“Karena aku dan toko buku kita akan selalu menjadi rasi bintangmu, Baskara. Kau tak perlu khawatir sebab kami akan selalu memberimu petunjuk untuk kembali. Tak perlu cemas tersesat selama kami masih ada. Itulah hidup yang aku impikan.”
Sophia lalu tertawa riang dan kemudian memelukku erat sekali yang segera saja membuatku luluh.
“Oh Tuhan, aku mencintaimu, Baskara Mahendra. Teramat sangat. Terima kasih sudah menemaniku hari ini.” Suara Sophia terdengar lagi ketika pikiranku tiba-tiba melompat pada suatu malam di sebuah angkringan di pinggiran Jogja. Sophia sedang menikmati teh kental hangat manis kesukaannya, sementara aku meneguk kopi pahit panasku seperti biasa.
Malam itu aku menemani Sophia yang baru saja menjadi pembicara di sebuah acara yang digelar NGO di bidang perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Gadisku itu, dengan wajahnya yang lembut sekaligus tangguh, berbicara dengan sangat jernih perihal pentingnya perlindungan anak-anak dari kekerasan, terutama kekerasan seksual.
Aku menatap tajam pada wajah cantik Sophia dari kursi peserta (Tuhan pasti sedang bersenandung merdu ketika menciptakan gadis itu, begitulah isi lamunan sesaatku), mengiriminya pesan menenangkan melalui sorot mataku dan pada akhirnya kudapatkan sebuah senyum kepercayaan diri di wajahnya. Lesung pipi terima kasih yang selalu membuatku ingin memeluknya muncul tak lama kemudian.
Sekelebat cerita Sophia ketika ia masih kecil, sewaktu dirinya bersembunyi di bawah lemari pakaian ibunya untuk menghindari pamannya, seorang jaksa yang pedofilia, memenuhi memoriku. Serbuk kayu yang membuat matanya pedih dan kolong sempit lemari yang membuat dadanya sesak di dalam rumah yang sudah ia kunci rapat adalah cerita berulang yang kudengar setiap kali gadis itu tiba-tiba bangun pada tengah malam atau dini hari sambil mengigau dan menangis tersedu-sedu.
Tubuhku merinding tiba-tiba. Kutatap wajah gadisku itu sekali lagi, merasa khawatir dia tak bisa mengendalikan diri seperti ketika ia mendapat mimpi buruk. Namun, Sophia justru tertawa keras, keras sekali di hadapanku. Gadis itu gemas ketika melihat wajahku yang bingung di angkringan malam itu sebelum kemudian dia memelukku tiba-tiba hingga menyebabkan kopiku tumpah dan akhirnya t-shirt putihku menjadi kotor. Aku melotot dengan wajah tersenyum pasrah padanya.
“Oh, maafkan kecanggunganku, Baskara. Tapi, terima kasih sudah mencemaskanku tadi. Yang penting aku bisa melewati semuanya dengan baik kan? Dan ngomong-ngomong, Baskara, tidakkah kau bangga padaku?”
Kutarik hidung Sophia yang panjang itu yang sebenarnya ingin kugigit saja. Sophia pasti tahu sekali kalau aku jelas-jelas dan selalu sungguh-sungguh bangga pada dirinya. Aku yakin dia akan menjadi psikolog hebat pada suatu hari nanti. Dan oh, tentu saja istriku yang paling luar biasa.
“Juga pemilik toko buku yang bahagia, Baskara. Jangan lupa itu. Aku dan kau adalah pemilik Toko Buku Bahagia,” ujarnya sambil tertawa.
Demi melihat wajah Sophia yang begitu bersinar malam itu, aku tak bisa menahan tawaku untuk tak ikut tertawa bahagia bersamanya. Sophia begitu cantik malam itu.
“Tentu saja Soph, toko buku kita berdua, namanya Toko Bahagia,” gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar cita-cita kukuhnya itu yang tak kusangka membuat sopir mobil yang kutumpangi mendadak memelankan mobilnya.
“Bapak menyebut Toko Bahagia?”
Sopirku itu lantas melirikku dari kaca mobil sambil bertanya apakah aku hendak mampir ke Toko Bahagia. Bibirnya melengkungkan senyuman kebanggaan seolah itu tempat yang sangat berarti untuknya. Sebuah pertanyaan yang membuatku segera mengerutkan kening kebingungan.
Apakah aku mengalami disorientasi spasial dan waktu? Kenapa lamunanku menjadi semakin absurd? Apakah aku sudah gila?
Tidak. Aku belum gila.
“Toko Bahagia?” ulangku pada sopir di depanku. Pertanyaan sopirku itu berhasil menghentikan lamunan panjangku tentang Sophia.
Aku menelan ludah sekarang sementara sopir di depanku menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu mengatakan Toko Bahagia hanya berjarak 400 meter lagi di depan kami dan 1,5 kilometer dari tempatku menginap. Dia kemudian menceritakan betapa tempat itu menjadi tempat favorit banyak warga Buleleng sejak beberapa tahun terakhir. Kelas-kelas parenting gratis, ribuan koleksi buku anak, film-film pendek yang bisa ditonton bareng keluarga, diskusi bersama, tempat bermain anak dan orangtua. Semua gratis. Masih kurang apa lagi?
Sopirku mengucapkan kalimat tersebut sambil lalu, namun lebih dari cukup untuk membuat jantungku serasa segera berhenti berdetak.
Toko Bahagia. Sophia. Ada desiran aneh di dadaku. Kenapa semuanya tiba-tiba menjadi serba kebetulan.
“Tolong antarkan saya ke sana sekarang.”
Kudengar suaraku bergetar saat sopir di depanku menganggukkan kepalanya lagi.
***
Dinding rumah kuning kunir, warna favorit Sophia, segera saja menyapa mataku. Sebuah neon box hitam dengan font Segoe Print berwarna putih bertuliskan ‘Toko Bahagia’ membuat jantungku semakin keras bekerja. Semua yang ada di hadapanku terlampau mirip dengan ucapan Sophia belasan tahun lalu. Aku merasa perjalanan ucapan-ucapan gadis itu telah menemukan rumah yang tepat.
Mengamati rumah kuning itu membuatku merasa rentang jarak dan waktu menjadi hal yang tidak mungkin sekaligus mungkin dalam satu waktu yang sama. Perasaan paradoks sekali lagi menyerangku dengan sangat kuat.
Sopirku memarkir mobil agak jauh dari Toko Bahagia. “Agar tak mengganggu motor-motor yang biasa diparkir di depan, Pak.” Begitu kata laki-laki itu kepadaku yang tak kutanggapi lagi karena kakiku segera melangkah jauh lebih cepat dibandingkan otakku sekarang.
***
Dua remaja, aku menaksir usia mereka sekitar akhir SMA atau mungkin juga mahasiswa, sedang duduk mengobrol di salah satu gazebo sewaktu aku melangkah masuk ke halaman rumah berdinding kuning itu. Entah apa yang mereka bicarakan dengan sangat seru, namun keduanya…. Oh, sebuah foto yang tergantung di dinding gazebo tersebut membuatku merasa tiba-tiba ada pengaduk besar di dalam perutku.
Foto Stasiun Tugu tampak dari depan dengan jalan masuk panjangnya yang bergoyang pelan terkena angin siang kering membuatku serasa membeku. Aku menatap foto tersebut dengan perasaan tak menentu. Salah satu remaja itu pada akhirnya memandangku keheranan karena bermenit-menit lamanya aku hanya berdiri mematung di dekat mereka sambil memandangi beberapa foto sudut Kota Jogja yang bertebaran di tempat tersebut.
Baru kali ini aku kebingungan saat ditanya hendak bertemu siapa dan apa kepentinganku di situ. Aku melihat beberapa ibu yang sedang bermain dengan anak-anak mereka juga memandangku keheranan dari balik ruang berkaca yang berserakan mainan dan buku-buku.
“Pemilik rumah ini. Apakah saya bisa bertemu dengannya?” Aku mendengar suaraku yang sarat ragu-ragu menjawab pertanyaan salah satu remaja itu yang kemudian berbalas senyum darinya. Remaja itu mengangguk, menghilang ke dalam rumah dan segera keluar tak sampai semenit kemudian, diikuti gadis remaja yang menenteng helm dan sebuah kunci motor warna hitam di tangan kanannya.
Aku bergegas berdiri saat melihat gadis itu yang kupikir Sophia. Namun, kekecewaanku datang karena yang kuhadapi ternyata bukan Sophia.
Gadis remaja itu menatapku sambil tersenyum. Tubuh mungilnya, rambut hitam panjangnya, matanya berkilauannya, dan lesung pipinya, benar-benar milik Sophia. Kegelisahan lain tiba-tiba kembali menyapaku. Aku menatap terus wajah gadis itu dan baru kusadari bahwa dagu terbelah, bibir tipis, dan cara dia tersenyum. Aku pasti sudah jatuh apabila tak memegang kayu gazebo ini. Ketiganya adalah milikku….
Di belakang gadis itu, seorang wanita yang amat kurindukan memandangku dengan mata terbelalak. “Baskara?” Perempuan amat cantik di usia 47 tahun itu mendekap mulutnya ketika melihat kehadiranku, sementara aku sungguh salah tingkah saat memandangnya. Mataku sungguh kebingungan ketika pada waktu yang sama harus melihat Sophia dan gadis remaja di depannya berganti-gantian.
“Pergilah sebentar, Naya. Mama tetap mengajar, tapi sepertinya agak terlambat.” Sophia berbicara pada gadis remaja itu yang diikuti anggukan kepalanya. Nayanika, aku langsung tahu itulah nama gadis yang bergegas meninggalkan kami berdua dan kemudian berbaur dengan remaja yang menyapaku tadi.
“Ternyata sekarang saatnya.” Aku mendengar Sophia mendesah sebelum kemudian memandangku lekat. “Aku tahu pasti kau akan ke sini, Baskara Mahendra, entah kapan itu, tapi aku tahu itu pasti terjadi. Tidak kusangka ternyata sekarang waktunya.”
“Soph. Kau akhirnya tinggal di Toko Bahagia.” Aku menatap perempuan itu takjub dengan perasaan campur aduk.
Sophia tersenyum lagi padaku sambil mengangkat bahunya. “Begitulah, Bas.” Dia menjawab itu sambil melihat sekelilingnya. Hanya konsepnya agak meluas, kudengar ia melanjutkan. Bukan lagi toko buku, namun Toko Bahagia adalah toko yang memberikan kebahagiaan dan keamanan untuk anak dan perempuan. Tidak ada buku yang dijual di tempat ini, begitu kata Sophia lagi, melainkan buku yang bisa dibaca di tempat, buku yang kebanyakan untuk anak-anak meski ada juga buku parenting, novel, dan filsafat (ini jenis buku kesukaan Sophia). Ada diskusi buku dan diskusi parenting juga kadang-kadang untuk warga. Semua itu diurus Sophia dan Nayanika.
“Dan nanti malam ada layar tancap film pendek karya mahasiswaku di sini. Filmnya masih seputar pencegahan kekerasan seksual pada anak. Kau bisa datang nanti malam Baskara kalau kau longgar. Pasti kau ke Buleleng karena ada pelatihan kan?”
Perempuan itu menyeringai padaku sembari meminta maaf karena harus meninggalkanku untuk mengajar. Aku menganggukkan kepalaku nyaris tanpa berpikir.
“Tentu saja aku akan datang nanti malam, Soph.”
“Ah, Baskara…Banyak yang harus kita bicarakan nanti malam. Sampai nanti ya. Aku benar-benar sudah terlambat.” Sophia menarik napas panjang sebelum kemudian ia memelukku erat. Air matanya yang membasahi pundakku ia seka cepat-cepat saat bergegas menghampiri Nayanika.
Na-ya-ni-ka. Sebuah memori di sudut otakku terusik. Entah kenapa aku merasa gadis remaja itu adalah bagian dari diriku.
Dan, kini rasanya seperti de javu. Sekali lagi, aku menatap tanpa daya pada punggung Sophia yang menjauh dariku. Sosoknya yang mulai menghilang membuatku merasa seperti mengulang hari yang sama dengan sebuah malam di Jakarta tatkala Sophia memutuskan berpisah dariku tanpa keraguan sedikit pun. Takdir, begitu kata Sophia mengawali ucapannya kala itu. “Ada yang harus dipertahankan dan ada pula yang harus ditinggalkan. Aku ambil pilihan kedua karena aku tidak ingin semakin merusak pernikahanmu, Baskara.” Begitu kata gadis itu sambil menatap tajam mataku.
Tangan Sophia yang dingin dan gemetaran lalu menggenggam erat tanganku, mencium pipiku, memelukku lama, dan kemudian melangkah pergi. Hanya air mata yang ia biarkan tertinggal di kemejaku. Kemeja flanel cokelat hadiah ulang tahun darinya yang kupakai hari ini.
Sumber: https://www.detik.com/pop/culture/d-7528290/toko-bahagia.