Jalan raya sudah mulai ramai. Matahari sudah mulai menyengat. Tapi Kodrat masih mondar-mandir di depan warung sembako milik Jamin. Ia sengaja datang pagi-pagi sekali sebelum warung itu buka agar tidak didahului orang lain. Tetapi tetap saja, seorang laki-laki yang melintas ketika Jamin sedang sibuk membuka pintu warung, mampir membeli beras. Laki-laki itu dan Jamin terlibat dalam perbincangan yang serius. Sayup-sayup telinga Kodrat menangkap isi obrolan mereka tentang harga sembako yang terus melejit. Laki-laki itu bicara dengan semangat, dan Jamin mengangguk-angguk.
Laki-laki itu kemudian pergi setelah puas memaki harga sembako. Kodrat bangkit dari jongkoknya yang sudah lama dan membuat kakinya keram. Ketika kakinya hendak melangkah mendekati warung Jamin, seorang perempuan tergopoh-gopoh datang. Ia membeli sebungkus garam dan seliter minyak goreng. Cakap-cakap perempuan itu dengan Jamin tidak kalah sengit dengan laki-laki sebelumnya. Pembicaraan perempuan itu melompat ke sana kemari, dari harga sembako, biaya sekolah anak-anaknya, sampai membicarakan persoalan hidup orang lain. Setiap kali perempuan itu hendak pergi, ia memulai ocehan baru, seakan-akan ia selalu menemukan sesuatu untuk dibicarakan dengan Jamin. Jamin sendiri tampak sudah tidak betah dengan perempuan itu, senyumnya sangat dipaksakan, dan sering mengalihkan matanya ke tempat lain.
Kodrat merasa heran, perempuan tadi yang kelihatan terburu-buru, kenapa jadi membuang waktu untuk bicara panjang lebar? Bukankah seharusnya dia segera berada di dapur untuk memasak?
Perempuan itu pergi, setelah ngobrol kurang lebih satu jam dalam hitungan Kodrat. Kodrat memunggungi perempuan itu dan berusaha untuk tidak terlihat. Perempuan itu tetangga Kodrat, ia memang cerewet dan suka mengomentari hal-hal yang bukan urusannya. Kodrat takut jika keberadaannya di sekitar warung Jamin akan tumbuh subur di mulut perempuan itu.
Akhirnya warung Jamin sepi. Kodrat pelan-pelan mendatangi warung itu. Ketika mengucap salam, Jamin langsung menoleh dan menjawab. Kodrat tersenyum lantas menganggukkan kepalanya.
“Sibuk, Bang?” Sebuah basa-basi melompat dari mulut Kodrat.
“Seperti biasa, Drat. Nungguin dagangan.”
“Begini, Bang….”
Ucapan Kodrat terputus oleh teriakan istri Jamin dari dalam. Perempuan itu mengomel karena ada sapi yang merusak tanaman sayur di pekarangan belakang rumahnya. Jamin sigap berlari. Kodrat berdiri seperti patung sesaat, kemudian ikut berlari menyusul Jamin.
Ada sekawanan sapi yang mengacak-acak kebun sayur Jamin. Jamin kewalahan menghalau sapi-sapi itu. Sapi-sapi itu enggan beranjak sekalipun Jamin sudah menakuti mereka dengan sebilah bambu. Melihat usaha jamin tidak membuahkan hasil, Kodrat ikut turun tangan membantu. Setelah beberapa waktu, akhirnya sapi-sapi itu pergi juga. Jamin dan Kodrat bercucuran keringat.
“Makasih, Drat. Kalau sendirian, saya pasti kewalahan,” ucap Jamin.
Kodrat tidak menjawab. Hanya menyunggingkan senyum tanggung dan mengangguk. Jamin kemudian mengajak Kodrat duduk di balai-balai bambu di teras belakang rumahnya. Sembari menyuguhkan segelas kopi tubruk dan sepiring pisang goreng, Jamin kembali mengucapkan terima kasih.
“Oh, ya. Tadi kamu mau belanja apa? Saya sampai lupa.”
Kodrat berpikir sejenak, dan ketika akan bicara, Jamin malah memotong. “Gak buru-buru, kan? Minum saja kopinya dulu,” kata Jamin mendekatkan gelas kopi.
Kodrat menarik napas. Sebenarnya dia sedang terburu-buru sejak pagi tadi. Tetapi, ia tidak enak menolak suguhan Jamin.
“Gimana, sehat?”
“Alhamdulillah, Bang.” Kodrat menjawab dengan nada hambar. Pikirannya tidak berada di tempat itu atau dalam obrolan bersama Jamin. Matanya sering menatap matahari yang kian meninggi. Hari sudah berlalu separuh. Tetapi ia belum mengutarakan maksud kedatangannya saat itu.
Kopi milik Kodrat sudah tandas. Kopi itu mengalir begitu saja di tenggorokannya tanpa rasa nikmat. Bahkan pisang goreng hangat dikunyahnya dengan enggan.
“Begini, Bang.” Kodrat mencoba menyela jeda yang sunyi antara dirinya dan Jamin. Tetapi lagi-lagi jeda itu diserobot istri Jamin yang datang memanggil Jamin karena ada pembeli di warung. Jamin bergegas dan meminta maaf pada Kodrat karena harus melayani pembeli.
Kodrat mengangkat bokongnya dari balai-balai bambu dengan lesu. Mengayun langkahnya menuju warung Jamin yang sedang ramai. Ia sempat berpikir untuk pulang, tetapi gagasan itu ia timbang-timbang kembali. Mengambil duduk di bangku kayu di depan warung Jamin, Kodrat menunggu.
Warung kembali sepi. Suara kendaraan yang melintas menemani Kodrat yang duduk sendiri bersama punggung yang membungkuk. Matanya menatap ke arah lantai. Ujung sandalnya sibuk memainkan sebutir kerikil. Kodrat sedang berduaan dengan pikiran yang bermain-main di kepalanya.
Tanpa disadari Kodrat, Jamin telah duduk di sampingnya. Rupanya Jamin bisa menangkap gelagat Kodrat.
“Apa yang bikin kamu gelisah?”
Kodrat menggaruk kepalanya lalu mengusap wajahnya untuk mencari kata-kata yang tepat dan jitu. Kepalanya celingak-celinguk, memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka. Matanya menyorot ke dalam rumah, takut apabila istri Jamin datang tiba-tiba.
“Ada apa?” desak Jamin
“Anu, Bang. Begini….” Kodrat tidak meneruskan, justru menggaruk pipinya dengan telunjuk dan air mukanya menjadi canggung.
“Anu apa? Kamu seperti orang yang habis buat salah saja!”
“Sebetulnya, saya-“
“Bang Jamin! Bapak nyuruh ngambil rokok sebungkus, bayarnya entar sore.” Bocah usia delapan tahun tiba-tiba bicara setengah berteriak. Turun dari sepedanya dengan bau keringat bercampur bau matahari yang sengit.
“Duh, rokoknya gak bisa diutangin, Dul.” Mendekatkan mulut ke telinga bocah itu, Jamin berbisik, “Bang Jamin takut, istri Bang Jamin gak suka ada yang ngutang lagi.”
Bisik-bisik Jamin yang teramat hati-hati, sampai di kuping Kodrat. Lagi-lagi Kodrat menggaruk kepala, sedikit menancapkan ujung jari-jari di kulit kepalanya yang terasa seperti sebuah pijatan.
Bocah itu pergi, susah payah mengayuh sepedanya yang lebih tinggi dari tinggi badannya sendiri. Kodrat menatap bocah itu, matanya tidak berkedip.
“Tadi mau ngomong apa, Drat?” Jamin sudah kembali duduk di sampingnya.
“Oh itu, Bang. Mau pinjam martil sama sekop. Kebetulan punya saya lagi rusak.”
“Kodrat… kodrat, hanya mau pinjam barang segitu kok, lama banget ngomongnya. Kirain mau ngutang seperti si Dul. Kamu pernah denger ini kan, Drat. Nagasaki hancur karena bom, dan warung hancur karena bon.” Jamin terkekeh setelah ucapannya, namun ia terlihat sangat lega. Jamin lantas menyambung, “Ada panggilan kerja lagi? Bangunan apa?”
Kelakar Jamin disambut kikuk oleh Kodrat. “Di sana, Bang. Kecamatan sebelah.” Jamin berhenti sebentar dari ucapannya. Bola matanya ia naikkan ke atas untuk mencari-cari sebuah alasan di udara. Membuat sebuah kebohongan terasa sulit untuk Kodrat. Ia butuh waktu nyaris satu menit untuk menemukan alasan itu. “Renovasi rumah, Bang. ”
“Lumayan, tuh. Jadi buruh bangunan memang gak selalu ada panggilan kerja. Jadi, kalau ada, kita mesti pandai menyimpan uang.” Sebuah nasihat tua datang dari mulut Jamin, seperti yang selalu ditembakkan mertuanya. Suara-suara itu memekakkan, bukan hanya telinga tapi juga hati Kodrat. Padahal Kodrat sudah melakukan hal lebih dari yang mereka anggap harus dan patut itu.
Kodrat menelan ludah. Menghirup udara dari hidung dan menahannya beberapa saat dalam rongga dada. Jamin berlalu, dan datang kembali dengan sebuah martil dan sekop.
Menyambut martil dan sekop itu, Kodrat tersenyum tawar. Tidak ada ekspresi puas atau senang yang bertengger di wajahnya. Justru kelesuan yang bergelayut di kedua pundak yang membuat pundak itu membungkuk dalam.
“Kok lemes, Drat. Semangat, dong. Jadi buruh memang mesti siap capek.”
Kodrat mengangguk paham. Tahu apa Jamin soal matahari yang membakar punggung? Tahu apa Jamin bagaimana rasanya jatuh dari lantai dua sebuah bangunan? Kodrat mengguncang kepalanya untuk mengusir pertanyaan yang membuatnya terasa menjadi pesakitan. Ia tidak ingin melanjutkan, karena apabila terus-menerus seperti itu, justru membuatnya membandingkan diri dengan hidup orang lain, dan menuduh orang lain sok tahu.
Setelah mengucapkan terima kasih dan sedikit membungkuk, Kodrat pamit sembari memikul sekop di pundak kanannya—memikul sebuah kebohongan untuk menyelamatkan diri dari malu.
Di perjalanan pulang, dalam benak Kodrat, ia berpikir keras, bagaimana menjelaskan pada istrinya bahwa, ia tidak bisa membawa pulang lima liter beras dan sekotak susu yang sudah ia janjikan untuk bayi mereka. Dan bagaimana ia akan membela harga diri di depan kedua mertuanya yang sejak ia menikahi anak perempuan mereka, selalu sangsi bahwa Kodrat sanggup menghidupi anak-istrinya.
Akan tetapi, apabila ia mengutarakan maksudnya untuk berutang pada Jamin, tentu Jamin akan menolak keras, sebagaimana bocah laki-laki itu ditolak. Saat itu, ia akan digempur rasa malu di hadapan Jamin dan juga pada dirinya sendiri. Sebab mengutang, diladeni atau ditolak, kedua-duanya sama-sama memalukan bagi Kodrat.
Saat itu, ia mungkin bisa selamat dari malu pada Jamin, tetapi tidak ada sekop yang bisa menggali lubang lebih dalam untuk mengubur malu di hadapan istri dan mertuanya.
Makassar, 4 Mei 2025
Lahir di Kolonodale, Sulawesi Tengah. Saat ini tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa puisi dan cerita pendeknya telah dimuat di berbagai media, baik lokal maupun nasional.
Leave a Reply