Hari Pohon Kelapa Tumbang di Batulesung

  • Diana Rustam
25 Mei 2025 - 12:53 WIB 0 Comments 152
Ilustrasi Hari Pohon Kelapa Tumbang di Batulesung. (Sumber: Dall-E)
Ilustrasi Hari Pohon Kelapa Tumbang di Batulesung. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Longko keluar dari rumahnya dalam keadaan tergesa-gesa. Matahari pagi sudah menyingkirkan embun yang mengecup dedaunan, dan ombak menepuk pasir pantai dengan lemah, suaranya serupa air yang melewati tenggorokan seseorang yang sedang haus. Pemandangan yang teduh, seperti hari-hari sebelumnya, cuaca yang cerah dan bersahabat di Desa Batulesung.

Namun, air muka Longko jauh dari kesan cerah dan bersahabat. Longko memendam kemarahan dengan sebilah parang yang terselip di pinggangnya. Langkahnya panjang dan cepat, seolah-olah sesuatu sedang mengejarnya dari belakang.

Mestinya, di waktu-waktu seperti itu, selepas menyesap segelas kopi dan sarapan, Longko sudah mengayuh sepeda kumbangnya pergi ke kebun. Tetapi, hari ini Longko mengurungkan diri, ada hal yang harus segera selesai, hal yang menyangkut kehormatan dan harga dirinya sebagai seorang Longko yang ditakuti warga desa.

Semua orang tahu siapa Longko di Batulesung. Bahkan sepak terjangnya menggema sampai ke desa-desa tetangga di kecamatan itu. Longko memiliki badan yang tinggi besar, suara yang menggelegar, dan sepasang mata yang selalu merah lantaran arak. Di kalangan tukang judi sambung ayam, Longko disegani.

Langkah Longko berhenti di lahan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa, di sana ada sebuah rumah kayu yang sudah tua. Rumah itu sudah condong ke kiri, tampak kepayahan menopang tubuhnya supaya tetap berdiri. Longko mendobrak pagar kayu yang sama renta dengan rumah itu, tidak sedikit pun di wajahnya kemarahan memudar.

“Keluar!”

Teriakan Longko mengusik seekor tupai yang sedang asyik mengunyah buah kelapa. Angin lembut yang meniup dari arah pantai, sedikit mengibarkan tepi sarung yang ia silangkan di pundak. “Keluar!” Sekali lagi Longko berteriak. Tangan kanannya sudah memegang gagang parang yang masih setia terselip di pinggangnya.

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki muda keluar dari rumah tua itu. Belum juga laki-laki itu berbicara satu patah kata, Longko langsung membentak, “Hei, Orang Pendatang, kamu tidak tahu siapa saya di sini!”

Laki-laki yang dibentak tersenyum kecil. “Mari masuk dulu, Pak.”

“Tidak perlu! Kamu memaksa Nek Sua jual tanahnya, kan?”

“Maaf, Pak. Saya tidak mengerti.”

“Jangan pura-pura! Nek Sua tidak mungkin jual tanah, tapi sekarang tanahnya dia jual sama kamu. Kamu paksa dia, kan?”

“Sepertinya Bapak salah paham. Nek Sua sendiri yang datang pada saya untuk menjual tanahnya.”

Air muka Longko menjadi canggung. Tetapi kegarangan tidak sedikit pun kendur dari gelagatnya. “Hei, Orang Pendatang, jangan banyak bicara. Ini bukan kampungmu!”

Laki-laki itu menyebut namanya, “Nama saya Zainuddin, bukan Orang Pendatang. Mari kita bicara baik-baik, sebenarnya apa masalah Bapak.”

“Nama Saya Longko!” Sembari menepuk dada Longko mengeja namanya lantang.

“Baik, Pak Longko. Apakah ada yang bisa saya bantu?”

“Bantu, kau bilang? Saya tidak butuh dibantu! Saya dengar kamu mau bangun rumah di sini, apa betul?”

“Betul. Karena rumah Nek Sua sudah tidak layak kami tempati, jadi kami segera akan membangun rumah baru di sini.”

Longko menggeser sedikit kaki kanannya, sehingga jarak antara kedua kakinya semakin lebar. “Kamu mau bangun rumah bukan urusan saya. Tapi, jangan kamu berani sentuh pohon-pohon kelapa itu.”

Longko menunjuk satu per satu dari sepuluh batang pohon kelapa yang tumbuh di sekitar rumah itu. “Ini semua pohon kelapa saya!”

Zainuddin mengerutkan dahi, matanya tertuju pada pohon-pohon kelapa yang ditunjuk Longko. Menurutnya, permintaan Longko itu sangat mustahil, karena untuk membangun rumah lebih besar, mau tidak mau, pohon-pohon kelapa itu harus ditebang.

Zainuddin seorang pedagang yang membuka usaha kelontong di pasar kecamatan Batulesung sejak dua tahun lalu. Selama ini, ia dan keluarganya mengontrak sebuah rumah di sekitar pasar tempatnya berdagang. Karena usahanya makin berkembang dan istri juga anak-anaknya menyukai desa tepi pantai itu, Zainuddin memutuskan untuk menetap kemudian mencari sebuah tanah untuk membangun rumah sekaligus sebuah toko. Kebetulan Nek Sua yang saat itu diajak anaknya untuk tinggal di kota, menawarkan tanahnya kepada Zainuddin. Rumah Nek Sua sangat strategis, terletak di pertigaan jalan desa. Rumah itu berjarak dua rumah dari rumah Longko.

“Maaf, Pak. Sepertinya, pohon-pohon kelapa itu harus saya tebang karena saya akan membangun rumah sekaligus toko.”

Longko mengacungkan parangnya tanpa ada basa-basi. “Berani kamu sentuh kelapaku, saya tebas kepalamu!”

Tampaknya ancaman Longko bukan gertakan semata, ia maju beberapa langkah sehingga jarak antara parang yang ia acungkan dan kepala Zainuddin hanya tiga jengkal.

Zainuddin menjaga jarak, mengatur mimik wajah agar tetap tenang, meskipun ia dihinggapi rasa takut. ia menyurutkan kakinya selangkah ke belakang. “Sabar, Pak Longko.”

“Kelapa itu saya yang tanam. Jadi, jangan kamu berani-berani tebang!” suara Longko semakin tinggi, kegarangannya menjadi. Suara Longko yang keras, menarik perhatian penduduk yang kebetulan lewat sehingga mereka berhenti dari mengayuh sepeda. Kendatipun mereka takut, tapi ternyata takut kalah dengan rasa ingin tahu. Tetangga menjulurkan leher mereka dari jendela dan pintu rumah, lalu mengintip, dan memasang kuping tajam-tajam. Mereka semua sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan Longko apabila keinginannya tidak dituruti.

“Tidak bisa! Saya sudah membeli tanah ini, itu berarti segala sesuatu yang ada di atas tanah ini adalah milik saya!”

Longko tidak menyangka bahwa Zainuddin bisa bersikap keras. Sikap Zainuddin itu membuat Longko merasa diremehkan.

“Kalau saya yang tanam, itu berarti punya saya!”

“Baik. Kalau begitu, silakan Pak Longko mencabut pohon kelapa itu dan pindahkan ke tanah Pak Longko sendiri, karena sekarang ini adalah tanah saya.”

“Kurang ajar! Dulu Nek Sua tidak pernah cari masalah dengan saya. Dia tidak protes saya tanam kelapa, dia diam saja sewaktu saya panen buah-buah kelapa itu. Kamu cuma pendatang, tapi gayamu sudah seperti orang asli di sini! Mau saya tebas lehermu?!” Mata Longko melotot.

“Saya kasih waktu Pak Longko dua hari untuk mencabut pohon kelapa itu, karena saya akan mendirikan fondasi rumah. Kalau Pak Longko tidak cabut, akan saya tebang.”

“Jangan sembarang tebang pohon kelapa orang. Kamu harus ganti rugi! Satu pohon satu juta!” ujar Longko.

Orang-orang yang menonton dari kejauhan, orang-orang yang mengintip dan menguping, semuanya gemetar. Mereka sudah sering melihat Longko mengamuk sebelumnya. Bahkan, satu nyawa sudah melayang di tangan Longko. Longko menyerang lawan judi sabung ayamnya karena tidak terima ayam jagonya mati di arena. Dalam keadaan mabuk, keduanya baku pukul sampai lawan Longko tewas di tangan Longko. Sejak saat itulah Longko ditakuti. Sampai-sampai Nek Sua memilih menjual tanahnya karena tidak betah bertetangga dengan Longko yang bersikap seenaknya. Anak-anak Nek Sua khawatir apabila Longko nekat dan menghabisi ibu mereka karena persoalan pohon kelapa dan Longko yang sesuka hati memakai tanah milik orang lain. Daripada memperbaiki rumah Nek Sua itu, anak-anak Nek Sua memutuskan memboyong Nek Sua ke kota bersama mereka.

Zainuddin merasa geli, ia tertawa. “Pak Longko ini lucu. Sudah tanam tanpa izin di tanah orang, sekarang minta ganti rugi.”

Longko kalap, merasa diinjak harga dirinya. Belum pernah ada warga Batulesung yang berani membantahnya. Parang di tangan Longko melayang hendak menebas kepala Zainuddin. Tetapi, Zainuddin sigap mundur ke belakang.

Suasana menjadi sangat tegang. Suara tangis istri dan anak-anak Zainuddin mulai pecah dari dalam rumah. Warga yang menonton, mengintip, dan yang menguping, ingin melakukan sesuatu tetapi takut. Mereka tahu Longko keliru, tetapi mereka tidak punya nyali untuk mengatakan itu keliru.

Angin melambaikan daun-daun kelapa, ombak memecah pantai dengan suaranya yang kalem, dua ekor tupai bersembunyi di dalam lubangnya. Dan dua orang sedang duel. Salah satunya akan jadi pemenang, dan seorang lagi akan menderita kekalahan.

Duel yang sengit terhenti ketika sebuah suara memecah ketegangan, “Berhenti, Longko!”

Seorang perempuan tua berdiri di sekitar mereka, dia perempuan yang tiba-tiba keluar dari sebuah rumah, perempuan yang semula mengintip dan dikabuti rasa takut. “Kamu bodoh, pemarah, dan tidak tahu diri!” Perempuan itu berkata sengit, seperti luapan air yang tersumbat bertahun-tahun. “Di kampung ini tidak ada yang suka sama kamu, semua orang membicarakan kejelekanmu. Kamu hanya mengandalkan parang dan badanmu yang besar. Suka menakuti orang. Kamu seperti anak kecil yang sok jagoan!” sambung perempuan itu, ia adalah salah satu tetangga Longko yang pekarangan belakang rumahnya ditanami kakao oleh Longko. Ia tidak pernah ikhlas, tetapi selama ini khawatir, jika berani protes akan menjadi sasaran kemarahan Longko.

Perhatian orang-orang teralih kepada perempuan tua yang berani itu, lalu satu per satu dari mereka muncul dari pintu, satu per satu mendekat. “Kamu memang suka seenaknya, Longko!”

“Kamu bodoh, pemarah, dan tak tahu diri!” Seruan itu serentak keluar dari mulut semua orang. Akhirnya, mereka bisa mengumpat Longko yang suka sewenang-wenang menutup saluran irigasi hanya untuk sawahnya sendiri. Longko yang menarik tarif air bersih dari sumber air umum, dan mendaulat diri sebagai penjaga sumur itu.

“Berani-beraninya melawan saya!” Longko menantang.

Tetapi, semakin Longko bersuara keras, semua orang semakin mendekat. Mereka memunguti apa saja: kayu, batu, bahkan parang mereka yang semula untuk menebas rumput di kebun sudah terhunus dari pinggang.

Longko terpaku. Parang jatuh dari tangannya, menancap tanah yang lembab. Ia tidak menyangka bahwa hari itu, semua mata akan menatapnya tanpa rasa takut, semua mata menyala seolah akan membakar dirinya hidup-hidup. Angin laut berembus kencang menampar wajah Longko. Runtuh kegarangan yang telah kokoh dalam dirinya bertahun-tahun. Perasaan malu menghinggapi, ia tidak sanggup mendengar semua sumpah serapah itu. Timbul ketakutan dalam diri Longko bahwa ia tidak lagi disegani warga.

Longko pergi dari kerumunan, berjalan ke arah selatan, melewati setapak yang dililit semak. Langkahnya berat, kepalanya menunduk, seperti memikul kesalahan yang tidak pernah ingin ia akui.

Sejak hari itu, tidak ada lagi yang melihat Longko di Batulesung. Rumahnya sepi disarangi tikus, pekarangannya ditumbuhi ilalang. Hari kepergian Longko disebut warga desa sebagai “Hari Pohon Kelapa Tumbang di Batulesung”.

Makassar, 1 Mei 2025

TOPIK:
  • Diana Rustam

    Lahir di Kolonodale, Sulawesi Tengah. Saat ini tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa puisi dan cerita pendeknya telah dimuat di berbagai media, baik lokal maupun nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *