Dengan menaiki kereta kuda, Percy Shelly dan pasangannya, Mary, serta adik tiri Mary, Claire Clairmont, tiba di sebuah vila yang berada di Swiss. Ketiganya disambut hangat sang tuan rumah yang tak lain kekasih Claire, Lord Byron, beserta dokter pribadinya, John William Polidori.
Karena hujan deras terus-menerus selama seminggu di tahun 1816, kelima orang tersebut terpaksa menghabiskan waktu di dalam rumah. Bermaksud mengusir kebosanan yang menyelimuti para tamunya, Lord Byron kemudian menantang para tamunya untuk menulis sebuah cerita horor. Lalu, terciptalah salah satu kisah bernuansa gotik paling terkenal, “Frankenstein; or, The Modern Prometheus”.
Itulah penggalan adegan dalam film Mary Shelley (2017). Dibintangi Dakota Fanning dan Douglash Booth yang bermain sebagai pasangan Shelley, film ini menyajikan fragmen kehidupan salah satu novelis Inggris, Marry Shelley.
1816. Tahun ini lebih dikenal dengan nama year without a summer. Kala itu, dunia diselubungi kegelapan yang menyebabkan penderitaan umat manusia di berbagai belahan dunia. Tak sedikit pula yang berpikir bahwa kiamat akan datang. Nyatanya, kelaparan, wabah kolera, dan kerusuhan yang terjadi di berbagai belahan dunia lain disebabkan letusan Gunung Tambora pada 1815.
Mengambil judul 200 Tahun Tambora, buku yang diterbitkan berdasarkan laporan jurnalistik Tempo ini memotret salah satu bencana terbesar yang pernah terjadi di muka bumi. Laporan ini sendiri merupakan liputan khusus Tempo pada 5 April 2015 lalu.
Meletusnya Gunung Tambora sendiri dipercayai berkaitan dengan orang Arab dan anjing. Ada tiga versi yang beredar di masyarakat. Salah satunya, kemarahan orang Arab tersebut yang diberi hidangan daging anjing tanpa sepengetahuannya, sehingga ia berdoa kepada Allah agar menimpakan bencana kepada masyarakat setempat.
Tambora yang semula memiliki ketinggian 4.300 meter kemudian hanya menyisakan 2.851 meter saja usai gunung tersebut meletus pada Senin, 10 April 1815. Sebelum terjadi letusan mahadahsyat, Tambora mulai “batuk-batuk” pada 5 April. Stamford Raffles yang saat itu menjabat Gubernur Jenderal Inggris di Jawa bahkan mengira suara letusan Tambora yang terdengar hingga Batavia sebagai tembakan meriam-meriam musuh di laut.
Kepastian mengenai letusan Tambora sendiri diperoleh dari Owen Phillips, perwira tinggi kapal milik Inggris di Makassar yang berlayar menuju Nusa Tenggara Barat. Ia lalu bertemu Raja Sanggar (La Lisang Daeng Jai), kerajaan yang berada di lereng Gunung Tambora.
Dari sinilah, ia memperoleh kronologis peristiwa meletusnya Tambora yang kemudian diteruskan kepada Raffles. Beberapa bulan kemudian, Raffles mempresentasikan letusan Tambora di forum ilmiah Masyarakat Ilmu dan Seni di Batavia, yang selanjutnya menyebar ke mancanegara.
Selain Kerajaan Sanggar yang hancur, letusan Tambora turut memusnahkan kerajaan lain yang berada di lereng gunung itu, yaitu Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora. Di antara ketiga kerajaan tersebut, bisa dibilang Kerajaan Tambora paling terkenal. Setidaknya, Tambora tercatat di Nagarakretagama dan menjadi pusat perdagangan. Kerajaan ini sempat menjadi taklukan Kerajaan Gowa Tallo pasca runtuhnya Majapahit.
Sementara di masa VOC, Tambora melakukan perlawanan sengit saat VOC mendatangi wilayah mereka, hingga berhasil ditaklukkan melalui politik adu domba. Sementara Kerajaan Sanggar kembali hidup karena rajanya berhasil menyelamatkan diri. Bersama Kerajaan Sanggar, Tambora mempunyai bahasa sendiri yang disebut dengan Bahasa Kore, yang mirip dengan bahasa Mon-Khmer di Indocina.
Letusan mahadahsyat Tambora yang yang disebut-sebut beberapa kali lipat dari letusan Krakatau (1883) tak hanya menimbulkan cuaca buruk yang melanda dunia sebagaimana dalam film Mary Shelley, tetapi juga memengaruhi atau menjadi penyebab sejumlah peristiwa penting. Yang pasti, amuk Tambora menyebabkan wabah kolera di Benggala menyebar hingga Eropa.
Andai saja Tambora tak meletus, bisa jadi Keluarga Joseph Smith dari Vermont (Amerika) tak akan pindah ke New York sehingga tidak akan lahir Gereja Mormon. Abu letusan Tambora juga disebut-sebut sebagai penyebab kekalahan Napoleon Bonaparte dalam Perang Waterloo.
Tak hanya bencana dan kesengsaraan saja yang ditimbulkan, letusan Tambora juga menjadi inspirasi bagi sejumlah pelukis untuk menggambarkan suasana Eropa yang muram karena minimnya sinar matahari di kanvas. Cuaca tak menentu yang terjadi di Eropa karena dampak letusan Tambora membuat banyak orang kelaparan, sehingga terpaksa menyembelih kuda yang saat itu menjadi moda transportasi utama. Hal ini pula yang mengilhami Karl von Drais menciptakan laufmaschine yang menjadi cikal bakal sepeda. Migrasi penduduk pesisir timur Amerika ke wilayah barat karena gagal panen sehingga melahirkan negara-negara bagian baru juga dipercaya karena dampak letusan Tambora.
Namun, di antara dampak-dampak yang disebutkan di atas, ada satu fakta menarik. Hal ini berkaitan dengan isu pemanasan global bahwa letusan Tambora ternyata mampu menurunkan suhu bumi hingga mencapai 3 derajat Celcius. Para ahli pun seolah berlomba-lomba melakukan penelitian cuaca bagaimana cara Tambora bisa menurunkan suhu bumi walau tentu saja hasilnya tak bisa menyamai letusan Tambora.
Keterangan Buku
Judul : 200 Tahun Tambora
Penulis : Tim Liputan Khusus Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit : 2015
Tebal : 89 Halaman
Isbn : 978-979-91-0866-1
Penulis kelahiran pesisir utara Lamongan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (jurnalistik) yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, dan film. Anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi. Penulis dapat dihubungi melalui email: dewisartika.naura@gmail.com
Leave a Reply