Petruk Jadi Ratu: Melik Nggendhong Lali dalam Lakon Kekuasaan

  • A. Fathoni
13 April 2025 - 02:08 WIB 2 Comments 495
Ilustrasi Petruk Jadi Ratu. (Sumber: Dall-E)
Ilustrasi Petruk Jadi Ratu. (Sumber: Dall-E)

Ukuran Font
Kecil Besar

Saya mengenal filosofi Jawa ini saat kuliah di Jogja. Kebetulan, waktu itu saya gemar mengonsumsi majalah budaya Basis. Entah edisi keberapa, dan tahun berapa diterbitkan, saya lupa. Yang pasti, sekira awal tahun 2000-an. Di sampul majalah itu, tertulis judul lumayan besar: “Melik Nggendhong Lali”.

Saya ingat, sampul majalah edisi itu dominan berwarna putih. Bergambar Petruk, punakawan dalam dunia pewayangan yang selama ini dikenal lugu, jujur, dan rendah hati. Gambarnya cukup besar.

Si Petruk ini duduk di singgasana emas, mengenakan mahkota gemerlap, tangan kirinya menggenggam kendi arak, dan di pangkuannya duduk seorang perempuan molek. Iya, Petruk, sang punakawan baik hati itu, tiba-tiba jadi ratu.

Saya tertarik untuk membaca isinya. Frasa melik nggendhong lali ini langsung membuat saya terpikat. Terlihat sederhana, hanya terdiri dari tiga kata, tapi saya merasakan ada daya magis yang luar biasa. Saya membatin, orang Jawa itu tidak suka bertele. Cukup tiga kata, tapi memendam makna yang sangat mendalam. Melik nggendhong lali menjadi wujud kedalaman dan kehalusan orang Jawa dalam memandang “kekuasaan”.

Melik berarti milik (memiliki/punya), nggendhong adalah membawa di punggung, dan lali adalah lupa. Jika digabungkan, maknanya menjadi alegori tajam: orang yang sudah “milik” (harta ataupun kuasa), kerap kali mudah dihinggapi lupa.

Simbol penggambarannya pun mudah. Petruk diambil sebagai ilustrasi. Sosok yang baik, jenaka, setia, dan penuh rasa welas asih, ketika menjadi raja, bisa dihinggapi lupa. Lupa bahwa dirinya punakawan, bukan keturunan dewa.

Konon, dalam ceritanya, karena kebetulan dan takdir aneh, Petruk diangkat menjadi raja Kerajaan Trajutrisna. Awalnya rakyat bersorak: akhirnya ada raja dari kalangan mereka, yang tahu rasanya lapar, tahu perihnya ditindas.

Tapi tak disangka, lambat laun, mahkota di kepala Petruk tumbuh menjadi beban kesombongan. Arak di tangan kirinya menjadi lambang pesta yang tak kunjung selesai; simbol kenikmatan duniawi yang memabukkan, bukan hanya karena kandungannya, tetapi karena kekuasaan itu sendiri pun bisa memabukkan. Wanita molek di pangkuannya bukan sekadar objek sensual, tetapi lambang dari rayuan kemewahan; simbol syahwat kekuasaan yang menggoda.

Petruk lupa. Ia lupa asal-usulnya, lupa akarnya.

Tentu saja, melik nggendhong lali bukanlah kutukan. Ia adalah peringatan. Filosofi ini tidak melarang orang untuk sukses, berkuasa, ataupun kaya. Tapi ia menanamkan kesadaran bahwa siapa pun yang naik, harus terus menoleh ke bawah, ke asal, ke akar.

Kokohnya sebuah pohon untuk bertahan bukanlah lantaran daunnya yang tinggi, tapi karena kedalaman akarnya menusuk bumi. Dan manusia, tak peduli seberapa jauh ia melangkah, tak akan pernah bisa benar-benar pergi dari dirinya sendiri.

Kisah Petruk jadi ratu bukan dongeng kosong. Ia hidup dalam ingatan kolektif orang Jawa sebagai bentuk satire sosial. Dalam teori psikologi sosial Erich Fromm, kekuasaan adalah ekstensi dari keinginan untuk “menjadi”. Tapi jika menjadi itu tanpa akar, maka hasilnya adalah alienasi. Petruk, dalam lakon ini, menjadi simbol manusia yang tercerabut dari akarnya, karena “milik” yang membuat lupa.

Maka, semestinya, Petruk boleh saja jadi ratu, tapi ia tak boleh lupa bahwa ia hanyalah rakyat biasa, yang tahu rasanya menjadi manusia.

Dalam jagad pemikiran Jawa, lupa bukan sekadar kelalaian memori, melainkan pengkhianatan terhadap tatanan kosmis. Orang Jawa percaya bahwa hidup mesti seimbang: antara kuasa dan welas asih, antara kepemilikan dan kepasrahan. Ketika keseimbangan ini terganggu, maka dunia bisa oleng. Seperti Petruk yang mabuk arak kekuasaan, tak lagi peduli siapa yang pernah membentuknya menjadi “ia”.

Namun, dalam setiap lupa, selalu ada jeda untuk sadar, untuk eling lan waspodo. Ini yang diingatkan pujangga besar Jawa dari Kasunanan Surakarta, Raden Ngabehi Ronggo Warsito (1802-1873). Sabegja-begjaning wong kang lali, luwih begja kang eling klawan waspodo.

Kesadaran untuk eling lan waspodo inilah yang harus kuat kita lekatkan di diri kita. Setiap “milik” (harta ataupun kuasa) harus selalu membawa kita kepada kebermanfaatan. Itulah memang tugas kita diturunkan ke muka bumi, sebagai khalifatullah fil ardh: khalifah Allah di muka bumi; membawa kebermanfaatan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bumi. Bukan sebaliknya.

Apa yang diajarkan dari lakon “Petruk Jadi Ratu” bukanlah penolakan atas perubahan nasib, bukan pula kecemburuan terhadap mereka yang berhasil. Tapi ia adalah pengingat: bahwa setiap milik, setiap jabatan, setiap kuasa, membawa potensi lupa. Jangan sampai keberhasilan membuat kita lupa pada perjuangan, dan jangan biarkan kekuasaan membuat kita mabuk, lupa dari mana kita berasal.

Karena pada akhirnya, dalam dunia yang fana ini, setiap raja hanya punya satu tugas: kembali menjadi manusia.

TOPIK:
  • A. Fathoni

    Mantan editor senior di beberapa penerbit ternama di Jakarta, di antaranya: Mizan dan Pustaka Alvabet. Sekarang Anggota Fraksi Golkar DPRD Lamongan.

2 responses to “Petruk Jadi Ratu: Melik Nggendhong Lali dalam Lakon Kekuasaan”

  1. Widiya periangki

    Keren sekali pesan kalimat terakhir, pada akhirnya kita harus kembali menjadi manusia

  2. Puput Sekar
    Puput Sekar

    Kalimat terakhirnya, menancap! Terima kasih sudah membuat tulisan bagus ini, Pak. 🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *